RADAR TASIKMALAYA – Konsep “pendidikan bangsawan” dan “pendidikan pribumi” bisa bervariasi tergantung pada konteks sejarah, budaya, dan politik dari suatu negara atau wilayah tertentu. Dalam banyak kasus, istilah “bangsawan” merujuk pada kelas sosial yang memiliki kekayaan dan kekuasaan politik yang tinggi, sementara “pribumi” mengacu pada orang-orang yang berasal dari kelompok etnis atau budaya asli suatu wilayah.
Pada awalnya, pendidikan yang diberikan oleh Belanda hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pegawai Belanda dan keluarga mereka yang memerlukan pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan umum dan khusus tentang Indonesia (Sumarsono 1996: 11). Ini menunjukkan bahwa pendidikan Barat hanya dapat diakses oleh Belanda, yang kemudian membuat kebijakan untuk orang Eropa yang sama. Ketika tahun 1900 memasuki, pendidikan di Indonesia mengalami fase baru yang lebih progresif. Selama Van Deventer menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dia menerapkan kebijakan yang disebut Politik Etis. dengan motto “de Eereschuld”, yang berarti hutang kehormatan, dan slogan “Educatie, Irrigate, Emigrate”, yang berarti pendidikan, irigasi, dan emigrasi. Namun, program politik etis ini akhirnya merugikan rakyat karena pendidikan yang diberikan diharapkan akan mengurangi dasar pendidikan nasional negara.
Sistem pendidikan di Belanda memiliki prosedur yang ketat untuk diikuti. Untuk setiap golongan sosial stratifikasi, pendidikan berbeda. Pemerintah Hindia Belanda memberikan pendidikan yang lebih baik kepada bangsawan, yang dipersamakan dengan orang Eropa. Pemerintah Belanda bergantung pada penghasilan untuk menentukan posisi seseorang dalam masyarakat kolonial (Niel, 1997:34).
Seiring dengan kebijakan politik etis, periode 1900–1940 menunjukkan pergeseran dari pendidikan elit ke pendidikan yang lebih populis. Pemerintah Belanda memperluas jumlah sekolah secara signifikan karena kebijakan pendidikan berfokus pada memberi rakyat jajahan kesempatan untuk bersekolah. Setelah sekolah dibuka, peluang lain muncul untuk mendirikan sekolah guru karena ketersediaan guru (Sumarsono, 1996: 60). Pemerintah kolonial Belanda membuat landasan pendidikan yang menekankan bahwa anak-anak harus dapat mencari pekerjaan untuk kepentingan kolonial di kemudian hari dan tidak memihak agama atau lingkungan. Ada perbedaan lapisan sosial dalam masyarakat pribumi yang membentuk sistem persekolahan.
Pendidikan biasanya diukur dan dimaksudkan untuk membentuk golongan elit sosial agar dapat digunakan sebagai alat untuk kepentingan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Indonesia. Sekolah pribumi dibuka hanya sesuai dengan kebutuhan nyata pemerintah Belanda. Selain itu, sistem pendidikan yang diterapkan bersifat dualistis, dengan batas yang jelas yang membedakan sistem sekolah pribumi dari sistem sekolah Eropa (Sumarsono 1996:93).
Dalam menyusun sistem pendidikan dan pengajaran, pemerintah kolonial tidak hanya menghadapi masalah pengajaran umum dan kejuruan, tetapi juga masalah pendidikan elitis dan kerakyatan. Pendidikan elitis pada hakikatnya merupakan konsekuensi logis dari suatu politik yang berpegangan pada prinsip dualisme. Sistem pendidikan yang dualistis membuat garis pemisah tajam antara sekolah Eropa dan sekolah pribumi. Lebih lanjut, (Ricklefs, 2005: 329) gagasan pendidikan elitis untuk rakyat dibentuk dengan tujuan agar rakyat dapat bekerja sama dan tahu terima kasih kepada pemerintah kolonial. Sedangkan, gagasan pendidikan kerakyatan murni dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Supardan (2008:99) mengatakan bahwa pendidikan elitis yang diharapkan menghasilkan pemimpin di zaman pencerahan.
Dalam konteks kolonialisme, sering kali terdapat perbedaan perlakuan dalam pendidikan antara bangsawan (atau keturunan kolonialis) dan penduduk asli (pribumi). Pendidikan untuk bangsawan atau keturunan kolonialis mungkin lebih terfokus pada pendidikan elit yang memberikan akses ke pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan mereka. Sementara itu, pendidikan untuk penduduk asli mungkin lebih terbatas dan berorientasi pada mempertahankan struktur sosial dan ekonomi yang ada, sering kali dengan fokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan manual atau pekerjaan rendah lainnya.
Pada masa kolonial Belanda di Indonesia, terdapat perbedaan signifikan dalam pendidikan antara penduduk pribumi dan orang-orang Eropa atau keturunan Eropa. Pendidikan untuk orang-orang Belanda atau keturunan Eropa sering kali lebih canggih dan mendapat dana yang lebih besar dibandingkan dengan pendidikan untuk penduduk pribumi. Orang Eropa dan keturunannya diberikan akses ke pendidikan formal yang lebih baik, termasuk akses ke sekolah-sekolah yang lebih baik dan peluang pendidikan tinggi di Belanda.
Di sisi lain, penduduk pribumi Indonesia sering kali mendapat pendidikan yang lebih terbatas, dengan kurikulum yang difokuskan pada pelatihan keterampilan yang dianggap berguna untuk pekerjaan manual atau pekerjaan rendah lainnya. Pendidikan untuk penduduk pribumi juga sering kali lebih terkait dengan upaya kolonial untuk mempertahankan struktur sosial dan ekonomi yang ada, daripada untuk meningkatkan kemandirian atau pemberdayaan masyarakat pribumi.
Selama abad ke-20, terutama setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan merata bagi semua warga negara. Meskipun masih ada tantangan besar dalam mencapai tujuan ini, upaya telah dilakukan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang etnis atau sosial mereka.
Namun, penting untuk dicatat bahwa topik ini harus didekati dengan sensitivitas terhadap kompleksitas sejarah dan konteks politiknya. Kritik terhadap kebijakan pendidikan kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi telah menjadi subjek penelitian dan diskusi yang luas di kalangan sejarawan dan ahli pendidikan. Sementara itu, pembahasan tentang pengaruh dan dampaknya terhadap pendidikan modern di Indonesia terus berlanjut di berbagai forum akademis dan masyarakat. (Rifqi Salsa Fauzi)
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Siliwangi