RADAR TASIKMALAYA – Harian Radar Tasikmalaya menurunkan liputan khusus menyentak nurani: sebanyak 301.958 orang di wilayah Priangan Timur kini berstatus penganggur terbuka.
Angka itu tidak hanya bicara soal ekonomi, tetapi juga soal harga diri manusia dan kegagalan pemerintahan.
Sebab, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bukanlah sekadar keinginan, melainkan hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Ketika ratusan ribu orang tidak memiliki pekerjaan, maka yang gagal bukan hanya pasar tenaga kerja, melainkan juga negara dalam bentuknya yang paling dekat dengan rakyat — pemerintah daerah.
Kegagalan ini tidak bisa disederhanakan sebagai kurangnya investasi atau turunnya daya beli, karena di baliknya tersimpan masalah tata kelola pemerintahan yang jauh lebih dalam.
Sebagian bentuk kegagalan pemerintah sebenarnya bersifat melekat dan otomatis. Pemerintah daerah, betapa pun niatnya baik, sering terjebak dalam situasi yang membuatnya sulit bekerja secara sederhana dan efisien. Keterbatasan informasi, aturan yang tumpang tindih, dan kompleksitas masalah sosial membuat kebijakan publik tak pernah berjalan sesuai rencana.
Pemerintah sering tidak memiliki peta tenaga kerja yang akurat. Berapa jumlah penganggur sebenarnya, di sektor mana potensi kerja terbuka, dan keterampilan apa yang paling dibutuhkan—semua itu jarang diketahui secara pasti. Akibatnya, kebijakan ketenagakerjaan lebih banyak disusun berdasarkan asumsi, bukan bukti. Pelatihan kerja dilakukan, tetapi peserta tidak terserap. Program wirausaha digelar, tetapi tanpa dukungan modal dan pasar.
Masalahnya bukan karena pemerintah tidak peduli, tetapi karena sistemnya memang tidak mampu bekerja secara cepat dan tepat. Dalam kondisi seperti ini, kegagalan bukan lahir dari niat buruk, tetapi dari batas kemampuan yang melekat pada birokrasi itu sendiri. Keterbatasan struktur, data, dan kapasitas membuat banyak kebijakan berputar di atas kertas tanpa menjejak di lapangan.
Namun, sebagian kegagalan bukan bersumber dari keterbatasan, melainkan dari politik yang tidak berpihak. Banyak intervensi pemerintah sebenarnya sangat mungkin dilakukan dan secara konsepsional masuk akal, tetapi rintangan politik di tingkat pelaksanaan membuatnya mustahil tercapai.
Kebijakan publik yang mestinya pro-rakyat sering tersandera oleh kompromi politik, kepentingan elite, dan agenda kekuasaan jangka pendek. Kita bisa melihatnya dalam arah anggaran daerah. Sebagian besar APBD masih habis untuk belanja pegawai dan proyek fisik yang bersifat seremonial, sementara program penciptaan lapangan kerja, dukungan UMKM, dan pengembangan industri kecil sering kali dikesampingkan. Orientasi politik lokal lebih sering diarahkan pada citra dan popularitas, bukan pada keberlanjutan ekonomi.
Inilah bentuk kegagalan politik, ketika pemerintah daerah tidak mampu menjembatani aspirasi rakyat ke dalam kebijakan konkret. Proses politik yang seharusnya menjadi sarana menyalurkan kepentingan publik justru berubah menjadi arena kepentingan kelompok. Tujuan pembangunan ekonomi yang seharusnya berpihak pada rakyat miskin berubah arah mengikuti logika kekuasaan.
Hasilnya bisa kita lihat dengan jelas: proyek banyak, kegiatan ramai, laporan tebal, tetapi lapangan kerja baru hampir tak bertambah. Pemerintah daerah sibuk berpolitik dalam ruang rapat dan seremonial, sementara rakyat berjuang sendiri di pasar yang semakin sesak dan kompetitif.
KEGAGALAN BIROKRASI
Kegagalan lain yang tak kalah mendasar adalah kegagalan birokrasi. Birokrasi pemerintah daerah kerap tidak memiliki kemampuan administratif dan kelembagaan untuk menerjemahkan kebijakan menjadi tindakan nyata. Organisasi pemerintahan di tingkat daerah masih bekerja berdasarkan logika prosedur, bukan hasil.
Pegawai negeri lebih diukur dari seberapa lengkap laporan dan penyerapan anggaran, bukan dari seberapa besar dampak yang dihasilkan. Setiap tahun, program penanggulangan pengangguran digelar, tetapi hasilnya tidak pernah menjadi indikator kinerja yang serius. Birokrasi kehilangan semangat inovasi dan adaptasi karena terjebak dalam kenyamanan rutinitas.
Selain itu, koordinasi antar instansi masih lemah. Masalah ketenagakerjaan tidak hanya tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja, tetapi juga berkaitan dengan pendidikan, industri, koperasi, dan perdagangan. Namun, dinas-dinas ini sering bekerja sendiri-sendiri, seolah masalahnya terpisah. Padahal, tanpa integrasi, kebijakan apa pun hanya akan menambah tumpukan dokumen, bukan membuka peluang kerja baru.
Kegagalan birokrasi ini memperlihatkan bahwa pemerintahan daerah bukan sekadar kekurangan sumber daya, tetapi kehilangan kemampuan manajerial untuk menggerakkan potensi yang sebenarnya ada. Di sinilah letak keprihatinan mendalam: pemerintah daerah tidak gagal karena tidak punya kuasa, tetapi karena tidak mampu menggunakan kuasa itu dengan cerdas dan produktif.
Mengatasi pengangguran bukan sekadar soal membuka lapangan kerja baru, melainkan soal mengubah cara berpikir pemerintahan. Pemerintah daerah harus berhenti melihat pengangguran sebagai angka statistik, dan mulai melihatnya sebagai cermin kinerja pemerintahan. Jika ratusan ribu warga tidak bekerja, berarti ada yang salah dalam cara daerah mengelola sumber dayanya.
Pemerintah daerah seharusnya menjadikan penurunan pengangguran sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Kebijakan harus didasarkan pada data riil tenaga kerja, disertai upaya serius membangun sinergi dengan dunia usaha lokal. Sekolah dan lembaga pelatihan perlu diarahkan agar sesuai dengan kebutuhan industri.
APBD harus lebih berpihak pada sektor produktif dan kegiatan yang mendorong ekonomi rakyat. Lebih dari itu, diperlukan perubahan paradigma: dari birokrasi administratif menjadi birokrasi penggerak. Setiap perangkat daerah harus menyadari bahwa tanggung jawab mereka bukan hanya melaksanakan prosedur, tetapi juga menghasilkan hasil nyata yang bisa dirasakan masyarakat.
Pada akhirnya, meningkatnya pengangguran terbuka adalah cermin kegagalan pemerintah daerah dalam tiga dimensi sekaligus: ada kegagalan yang melekat secara sistemik (inherent impossibilites), ada kegagalan politik yang melemahkan arah kebijakan, dan ada kegagalan birokrasi yang menghambat pelaksanaan di lapangan.
Semua itu berpadu menjadi satu kenyataan pahit: daerah kehilangan kemampuan untuk menjawab hak dasar rakyatnya. Namun, kegagalan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menyerah. Ia justru harus dibaca sebagai panggilan untuk memperbaiki diri, membangun sistem pemerintahan yang lebih adaptif, terbuka, dan berpihak. Karena sesungguhnya, ukuran keberhasilan pemerintah bukan pada banyaknya proyek atau megahnya gedung yang dibangun, tetapi seberapa banyak warganya yang bisa bekerja dengan layak, hidup dengan martabat, dan merasa tidak ditinggalkan oleh negaranya. (Dadih Abdulhadi)
Penulis merupakan Dosen FH Universitas Mayasari Bakti











