Peluang Bordir di Era Digital

Ekonomi252 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Digital berasal dari kata digitus, dalam bahasa Yunani berarti jari jemari. Apabila kita hitung jari jemari kita, maka berjumlah sepuluh.

Abad 21 adalah abad digital di mana semua akses berhubungan dengan smartphone yang terhubung dengan jaringan internet.

Pasar digital atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan e-commerce adalah media atau cara dan usaha untuk memperkenalkan suatu barang, jasa atau merek tertentu dengan menggunakan media digital dan biasanya dilakukan dengan bantuan jaringan internet. (sumber: Geogle)

Hampir setiap kebutuhan manusia di abad ini terkoneksi dengan kanal internet. Lewat berbagai piranti dahsyat, memanjakan kebutuhan manusia. Kebudayaan, sosial, hukum, ekonomi, dsb, kian bergantung pada media tersebut dan mulai meninggalkan yang manual konvensional. Tidak sekadar dominasi orang kota. Kini di perkampungan dan pelosok terpencil pun orang mudah melejit ke permukaan, untuk tampil eksis menunjukkan kemampuaanya lewat internet.

Apapun ditawarkan lewat kanal internet. Di Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, marketplace, TikTok, YouTube, dll. Dari mulai sembako, fashion hingga mobil dan rumah mewah, ditawarkan. Dan pasarnya teramat luas nyaris tak berbatas.

Keadaan ini menjadi sangat terbuka bagi siapa pun untuk mendapatkan akses kepada siapa pun dan ke mana pun, untuk melepas hasrat meraih impiannya. Tidak mengenal usia, pendidikan dan keahlian untuk meraihnya. Semua orang sama, punya kesempatan. Syaratnya satu. Keinginan mengenal dan mempelajari hingga mampu mengusai piranti digital dengan beragam kerumitannya.

Sejauh mana peluang bordir; mukena, kebaya, jilbab, hijab, bergo, baju ghamis, dsb untuk tampil di pasar online. Seperti komodoti lain, bordir pun punya peluang sama, tak jauh beda. Dan yang paling punya kesempatan adalah mereka yang keras berjuang menaklukkan sedikit kerumitan pada piranti mutakhir ini. Peluang ada di kelompok anak muda. Abad digital identik dengan kepintaran anak muda. Hal ini tidak menjadi parameter mutlak. Tapi kecenderungan fakta di lapangan, seperti itu. Bahwa orang tua, kalah dan tertinggal.

Dulu sebelum revolusi internet menggilas kehidupan masyarakat, yang serba manual, produsen bordir dan pedagangnya harus pergi ke pasar, dengan cara yang lumrah dilakukan, berjualan. Dan bagi para pedagang bordir Tasikmalaya pergi ke pasar-pasar mengikuti pendahulunya. Pasar Tanah Abang terbilang pasar paling awal bagi para pedagang bordir. Mereka yang dikenal para perintis bordir Tasikmalaya, dari Kampung Tanjung dan Saguling Panjang. H Oni, H Aos, H Odo, H Tohdul, H Ade Nandang (Tanjung). H.Ujer, H Muslim, H Komar ( Saguling Panjang ).

Sekitar tahun 1974 setiap malam Senin dan malam Sabtu, para pedagang berangkat ke Tanah Abang. Bordir masih sangat terbatas model dan jenis kainnya. Dengan bordir mesin kejek Merk Singer, Standard dan Buterflay mendominasi piranti bordir waktu itu. Jenis komoditi yang diproduksi, mukena terusan (tetoron), kain panjang perempuan (tetoron) taplak meja, seprai dll, kebaya kerancang (shifon). Ada beberapa mobil angkutan menjadi langganan para pedagang mengangkut mereka ke pasar. 2 unit Mini Bis (Colt) milik H Ade Rusman dari Jln. Cagak Gobras. Dari Saguling ada Mobil (Colt) milik Eme orang Gunung Subang.

Dari perjalanan perdagangan bordir ini, hampir sepanjang tahun, produsen bordirlah yang mendatangi pasar untuk menjual barangnya. Agak jarang bahkan hampir tidak pernah para pemilik toko di Tanah Abang berbelanja ke Tasikmalaya untuk belanja bordir. Hanya sesekali, saat menjelang Lebaran, ketika para pemilik toko kebanjiran pesanan, mereka turun ke Tasikmalaya. Setelah para produsen makin bertumbuh di Tasikmalaya, hal semacam itu hampir tidak ada. Apa lagi konsumen yang datang langsung . Kecuali konsumen yang datang belanja ke boutique Ibu Hj Haryati, di Jalan Air Tanjung, Kelurahan Talagasari.

Selain pasar Tanah Abang, Jakarta. Pasar Turi Surabaya, Pasar Klewer di Solo, Pasar Johar di Semarang dan Pasar Tegal Gubug Cirebon, adalah pasar-pasar yang diburu oleh para pedagang bordir Tasikmlaya. Apalagi pasca terjadi peningkatan teknologi, dari sebelumnya mesin kejek, ke mesin bordir listrik; Merk Juki, Brother, Sunstar, dan Unicorn pada awal tahun 1980. Terjadi lompatan produksi cukup signifikan, hampir setiap produsen mudah dan cepat mengejar omset yang diharapkan. Kian cepat pula memenuhi permintaan pasar.

Sebelum teknologi mesin bordir beralih ke sistem komputer, lonjakan produsen bordir Tasikmalaya mengalami peningkatan mencengangkan ditandai makin bertambahnya pedagang yang berjualan di Pasar Tanah Abang. Ini terjadi 1998 sebelum Presiden Suharto lengser diturunkan rakyat. Loncatan itu diawali dengan cara berdagang sebelumnya, yang menawarkan barang dari toko ke toko, kemudian berganti dengan menggelar dagangan di Tempat Parkir, Bestmen, Blok A, di sela-sela mobil yang diparkir. Pelopor berdagang seperti ini, Hj Nani dari Cipawela dan Hj Eti dari Tambakbaya.

Cara berdagang seperti ini memancing orang Tasikmalaya lainnya, untuk mencoba keberuntungan, banyak produsen dadakan. Yang tadinya buruh bordir atau cengkaw, beralih jadi produsen dan berdagang. Maka hal ini mengubah peta kekuatan pedagang bordir Tasikmalaya, tidak lagi terpusat di Kecamatan Kawalu (Tanjung dan Saguling Panjang), produsen dan pedagang bordir bertambah dan melebar ke daerah Kabupaten Tasikmalaya, terutama yang paling mencolok berada di Kecamatan Cikatomas (Sukarame), Karangnunggal (Cibatu Ireng, Cipari dan Ciranji), Kecamatan Sukaraja terutama di Kampung Cimawate. Pola berdagang di Pasar Tanah Abang pun, berubah. Dari cara menjual barang ke toko, lantas beralih, para pembeli mendatangi para pedagang Tasikmalaya di lapak-lapak dan mobil di tempat parkir Blok F.

Perubahan peta dagang ini, sempat pula mendatangkan protes dari pemilik toko di Tanah Abang dan sebagian kecil para pedagang asal Tasikmalaya. Tapi itu tidak menjadi masalah serius. Kebijakan pengurus pasar mampu menuntaskan secara baik dan pasar kembali normal. Pola perubahan berdagang ini pun, menjadi cikal bakal terbentuknya Asosiasi Pedagang Bordir Tasikmalaya, GAPEBTA yang dipimpin Ir H Asep Ridwan, dan melahirkan KOPERAS GAPEBTA pada tahun 2000, puncak keberhasilannya mampu memfasilitasi para pedagang bordir memiliki toko di lantai 5, Blok F2. Pasar Tanah Abang. Khusus untuk para pedagang Tasikmalaya.

Tapi pedagang bordir Tasikmalaya tidak sedikit. Tidak semua bisa ditampung di Lantai 5. Untuk tetap bisa berdagang pedagang Tasikmalaya terpecah di beberapa tempat. Ada ratusan pedagang yang berjualan di atas mobil, di depan Stasiun Tanah Abang, di Waduk Melati (JCC,) di jalan Jati Baru, tapi masih ada juga di tempat parkir Blok F, berdagang di atas mobil.

Dengan semakin bertambahnya pedagang bordir Tasikmalaya, bordir melimpah banjir, maka kian ketatlah persaingan di pasar. Hukum permintaan dan penawaran berlaku. Berjualan kian tidak sehat. Karena ini peluang bagi pembeli dan mampu dimanfaatkan. Tidak hanya harga yang mulai kurang bagus, bahkan cara pembayaran pun kian diatur semena-mena oleh pembeli. Pembayaran dengan menggunakan bilyet giro dengan jatuh tempo yang hampir sulit diterima akal sehat. Menghadapi kondisi ini banyak pedagang bordir kelimpungan dan akhirnya satu persatu gugur, gulung tikar. Yang mampu bertahan, mereka yang modalnya kuat.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa pedagang bordirlah yang ke luar dari sarangnya, dari Tasikmlaya mendatangi pasar-pasar yang jauh di luar kampungnya mendatangi pembelinya. Bahkan banyak orang Tasikmalaya yang tinggal di daerah untuk menyalurkan bordir, dengan mengontrak rumah. Ada Welli Tarli dari Cikedewul di Makasar. H Usep Safe’i Tanjung di Solo. Euis Cs. Tanjung di Surabaya. Melihat fakta ini, sejarah perjalanan bordir ini, mestinya dijadikan bahan kontemplasi atau pemikiran matang, terutama oleh mereka yang berwacana membangun Pasar Bordir di Tasikmalaya.

Gagasan membangun Pasar Bordir Tasikmalaya di kota Tasikmalaya, kian absurd. Ketika para produsen bordir sebagian beralih dan melebarkan pemasaranya lewat pasar online. Sementara para pembeli pun, kian termanjakan dan kian jarang turun ke pasar konvensional.

”Dampak dari bermunculannya toko online beberapa tahun belakangan ini bagi sebagian kalangan dianggap menjadi ancaman bagi toko offline. Berbagai pusat perbelanjaan dirasakan cukup sepi, sehingga banyak pedagang berpendapat sepinya penjualan disebabkan oleh banyaknya konsumen yang memilih untuk melakukan belanja secara online”. (Bambang Pratama/Binus University)

Hampir di setiap pelosok wilayah penghasil bordir, sebagian sudah sejak hampir 7 tahun memanen hasilnya dari kanal internet. Seperti H Alan Kelurahan Tanjung, melalui putranya H Peri telah melejit meninggalkan pasar offline. Itcu Lucky (lucky Store), Hj Iyam Ridna Galery, H Oded Abdul Hanan lewat marketingnya Fhizar Imani (Fortun dan Fhima) H Robbi penerus H Iyos Mubarok (Cibeuti). Ini mengindikasikan, bahwa perdagangan sudah mulai bergeser dari konvensional tradisional ke konsep digital. (Yusran Nurlan)

Yusran Nurlan adalah penyair, jurnalis dan penulis esai. Tinggal di Jalan Air Tanjung Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *