Merdeka Namun Merundung, Kontradiksi Dalam Kebebasan

Sosial104 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Tahun 2025 ini Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta memperingati hari kemerdekaan yang ke delapan puluh. Jika digambarkan sebagai seorang sosok manusia yang berusia itu maka figur yang terilustrasi adalah pribadi yang tergurat pengalaman dan kekokohan daya asah tahap-tahap berpikir yang sudah melampaui masa delapan dekade revolusi kehidupannya.

Revolusi yang seperti lonjakan-lonjakan tahap pertumbuhan dan perkembangan dinamis hingga mungkin akhirnya statis dalam titik kebijaksanaan berpikir dan bertindak.

Kemerdekaan, dalam persepsi penulis, adalah kondisi tanpa penindasan. Sebagai manusia Indonesia yang merdeka ia adalah sosok yang mampu memaknai anugerah kemerdekaan itu seperti apa, apalagi jika ia merasa menjadi bagian dari orang berpendidikan mulia. Tentunya akan selalu memperhatikan bagaimana memberi manfaat kepada lingkungan sekitar dengan niat sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka.

Mereka harusnya mampu menyadari betapa dalamnya makna kata-kata yang tertera dalam sila-sila Pancasila untuk menjadi landasan bagaimana menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup NKRI.

Namun, di tengah perayaan kemerdekaan, kita tidak bisa mengabaikan fenomena perundungan yang semakin marak. Yah mungkin mendengarnya saja serasa itu lagi-itu lagi, tetapi memang tetap saja terjadi karena mungkin di antaranya adanya pemaknaan kemerdekaan dengan rasa bebas berbuat sekehendak hati, dan merasa bisa melakukan segalanya. Mereka yang menjadi perundung, mungkin memaknai kemerdekaan sebagai kebebasan untuk bertindak semau hati, mengadopsi perspektif hukum alam rimba: yang kuat menjadi penguasa.

Sebebas-bebasnya binatang, mereka tetap hidup dalam lingkaran pemangsa. Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan sejauh mana kita memahami makna kemerdekaan di tengah perilaku yang merugikan orang lain tersebut.

Ironisnya, pelaku perundungan sering kali merasa senang melihat korbannya terpuruk, seolah-olah kekuatan mereka didukung oleh keberadaan enabler di sekitar yang justru membiarkan tindakan tersebut. Pihak yang inferior, atau korban, sering kali terjebak dalam struktur komunikasi pasif, di mana mereka dikenai tindakan oleh pihak yang tidak terlihat.

Ketiadaan pelaku dalam konteks perundungan kadang disebabkan oleh peran enabler, yang membiarkan, dan tidak berbuat apa-apa ataupun bahkan mendukung tindakan perundungan, dan memperburuk tindakan perundungan dan framing bahwa korban layak dirundung.

Jika dianalogikan secara struktur berdasarkan pemaknaan fungsional, maka pihak inferior ini seperti subjek dalam kalimat pasif yang mana ia dikenai aksi tindakan subjektif dari objek yang mungkin tidak dinampakan dalam kalimat tersebut. Di sisi lain dia dimunculkan sebagai korban namun dilain pihak si pelakunya ditiadakan. Ketiadaan pelaku dalam konteks perundungan bisa saja terjadi karena peran seorang enabler yang berkontribusi untuk membiasakan aksi perundungan tersebut. Maka terbentanglah relasi kuasa superior sebagai penindas dan ada yang inferior sebagai korban yang menerima aksi perundungan tersebut.

Sekalipun menurut hemat penulis kemerdekaan seharusnya berarti kondisi tanpa penindasan, di mana relasi kuasa harus seimbang, atau proporsional berdaya, namun korban dibuat gamang karena di sekitar perundung ada koloni enabler yang sebelumnya diulas berperan. Mereka dapat berperan aktif melindungi pelaku ataupun hanya diam saja membiarkan perundungan terjadi dan dinormalisasi, sehingga bisa dianggap keberadaan enabler ini lebih berbahaya daripada Si Perundung itu sendiri. Mereka juga membudayakan untuk membuat wacana bahwa korban lah yang salah atau memang layak diperlakukan demikian buruknya, lalu membuat korban menjadi terasing di tempatnya sendiri.

Respons yang menyesakkan adalah ketika korban bersuara untuk menyampaikan pendapatnya, kebenaran akan menjadi samar abu-abu atau bahkan tersisih karena dianggap tidak berarti dan tidak diinginkan situasi. Hal ini karena korban diposisi minoritas di antara perundung dan koloni enabler yang memperkuat proses verifikasi seolah-olah kebenaran itu bukanlah benar tapi kekalutan yang penuh prasangka dan baper-nya Si Korban.

Khas sekali ungkapan Si Enabler ini. “Ah sudahlah,  kok gitu saja dianggap, dia kan hanya bercanda, dia kan biasa begitu”, atau begini “Kamu aja yang berlebihan, sudahlah”,  “ Aku gak mau terlibat, itukan karena kamu terlalu sensitif, sudah waktunya kayaknya untuk introspeksi diri”, dll.

Padahal secara makna, candaan atau bukan itu harus dieksekusi kesepakatannya oleh pihak penutur dan mitra tutur dalam konteks terkait. Referensi penutur dan inferensi mitra tutur harus seia sekata memaknai bahwa itu adalah humor atau candaan sejati. Jika tidak disepakati oleh mitra tutur maka penutur dipersepsikan telah melanggar maksim komunikasi yang tidak berkesuaian dengan yang dinginkan mitra tutur tersebut.

Dampaknya adalah merasa sakit hati, dipojokkan, dan yang lebih parahnya lagi adalah menjadi perundungan. Mereka menjadi enabler lah yang memperkuat budaya intimidasi dalam lingkungan ini.

Mungkin tidak banyak disadari bahwa perundungan itu bukan hanya kata-kata semata. Bersikap mengisolasi, pembiaran, ketidakpedulian, dan membudayakan perlakukan untuk mengekspose ketidakpatutan perlakukan kepada seseorang yang dirasa mengancam atau tidak diinginkan itu pun adalah perundungan, dan mungkin banyak lagi framing-framing gestural yang dianggap bukan merundung, misalnya tiba-tiba berubah senyap ketika sedang berdialog tatkala seseorang yang tidak diinginkan hadir, ataupun justru sebaliknya ketika ia hadir malah sengaja mengasyikan diri dengan sesama teman-teman lainnya dengan tujuan pengabaian dan membuat orang yang ditargetkan merasa tidak nyaman, dibuat terpuruk dan dipermalukan.

Dan banyak hal lagi yang bisa menjadi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tidak terbatas itu di circle keluarga, tempat kerja, atau pun lingkungan masyarakat yang lebih luas, sehingga lingkungan itu menjadi toksik untuk menjadi naungan interaksi sosial.

Demi menyambut kemerdekaan ini maka, marilah kita menjaga diri kita untuk tidak  berperilaku menjadi seorang perundung atau enabler. Milikilah empati dan menyadari bahwa kesehatan mental setiap orang adalah hal yang sangat diperlukan dan harus dijaga. Kedua upaya inilah yang dapat menjaga diri kita menjadi orang dengan label perundung dan enabler.

Negara pun diharapkan  hadir untuk merealisasikan tanggung jawab negara untuk melindungi individu dari perilaku merundung. Negara harus mampu mengajak individu dari semua lapisan untuk berani melawan perilaku merundung dan mendukung korban. Ini termasuk melaporkan tindakan merundung dan memberikan dukungan moral.

Untuk mencapai kebebasan sejati, kita perlu berani melawan perilaku merundung dan menghentikan siklus dukungan pasif terhadap tindakan tersebut. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, kita dapat memastikan bahwa kebebasan tidak hanya menjadi kata-kata, tetapi juga kenyataan bagi semua. Untuk para perundung di luar sana, ingatlah bahwa dunia ini bersiklus.

Siklus ini menjadi alamiah dan tidak bisa ada seorang pun yang menahannya untuk melaju. Hukum energi akan berlaku, perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan. Perbuatan tidak baik akan menghadirkan keburukan. Kebaikan dan keburukan tidak akan bercampur baur. Sekuat apa pun itu akan terpilah berdasarkan kekuatan energi-energi yang dimilikinya.

Berpikir sebelum bertindak karena bijaksana tidak akan hadir dari proses short cut. Kata yang terucap tidak akan tanpa cacat, selalu ada persepsi celah untuk multiinterpretasi. Dari situlah Tuhan memberikan anugerah otak luar biasa kepada kita sebagai manusia untuk berpikir dan mengendalikan rasa sehingga memiliki empati untuk berpihak pada situasi harmoni dan berintegrasi tanpa kontradiksi dan anarki. Merdeka! (Agis Andriani)

Penulis merupakan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *