Mengenal Lebih Jauh Pekerjaan Sosial

Sosial100 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami pesohor dan ramai diberitakan akhir-akhir berujung perdamaian. Sementara kasus ”pelecehan” seorang istri petinggi sedang disidangkan. Di Kota Tasikmalaya, sebagaimana diberitakan Harian Radar Tasikmalaya edisi Rabu, 26 November 2022 terdapat 17 kasus KDRT di Kota Tasikmalaya sepanjang tahun 2022. Kasus-kasus pelecehan dan KDRT ini bukan tidak mungkin akan memantik munculnya masalah lain.

KDRT terutama bagi keluarga yang telah memiliki anak, membawa dampak psikologis bagi korban langsung maupun tidak langsung. Para korban ini memerlukan pendampingan khusus agar pulih, bukan hanya penyelesaian kasus secara hukum, walaupun ada yang diselesaikan secara damai.

Para korban ini menjadi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang sekarang diganti istilahnya dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2019 menjadi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Siapa saja PPKS ini? Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 menguraikan PPKS ada dua puluh enam jenis meliputi: Anak dan balita terlantar; Anak yang berhadapan dengan hukum; Anak jalanan; Anak disabilitas; anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah; Anak yang memerlukan perlindungan khusus (berusia 6 sampai dengan tahun dalam situasi darurat, dari kelompok minoritas dan terisolasi, dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, diperdagangkan, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), korban penculikan, penjualan, perdagangan, korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, yang menyandang disabilitas, dan korban perlakuan salah dan penelantaran; Lanjut usia telantar; Penyandang disabilitas; Tuna Susila; Gelandangan;  Pengemis; Pemulung; Kelompok Minoritas; Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP); Orang dengan HIV/AIDS (ODHA); Korban Penyalahgunaan NAPZA; Korban trafficking; Korban tindak kekerasan; Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS); Korban bencana alam; Korban bencana sosial; Perempuan rawan sosial ekonomi; Fakir Miskin; Keluarga bermasalah sosial psikologis; dan, Komunitas Adat Terpencil.

Upaya rehabilitasi sosial dapat dilakukan dengan bantuan Potensi dan Sumber Kesejahteran Sosial (PSKS), baik secara terpisah maupun bersama-sama. PSKS terdiri dari Pekerja Sosial Profesional; Pekerja Sosial Masyarakat (PSM); Taruna Siaga Bencana; Lembaga Kesejahteraan Sosial; Karang Taruna; Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga selanjutnya disebut (LK3); Keluarga pioneer/panutan; Wahana Kesejahteraan Sosial Keluarga Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut (WKSBM); Wanita pemimpin kesejahteraan; Penyuluh Sosial; Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).

Sebagaimana para founding fathers kita mendefinisikan tujuan kemerdekaan, maka tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan warganya, terutama para PPKS. Kenapa PPKS harus diprioritaskan? Kita mengenal lapisan strata sosial ekonomi, dan PPKS ini termasuk kelompok yang paling rentan mengalami masalah. Untuk itu, PSKS bekerja sama membantu mengurangi beban atau menyelesaikan masalah yang dihadapi PPKS.

Memahami keterbatasan Pemerintah dalam menangani PPKS ini, Menteri Sosial mengeluarkan Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal yang mengatur standar pelayanan minimal yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kota/Kabupaten pada bidang Pendidikan; Kesehatan; Pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan, sosial.

Bidang Sosial, Pemerintah Provinsi setidaknya harus memenuhi kebutuhan rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di dalam panti; rehabilitasi sosial dasar anak telantar di dalam panti; rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di dalam panti; rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti; dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana provinsi.

Sementara Pelayanan Dasar Sosial Kabupaten/Kota harus memenuhi kebutuhan rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di luar panti; rehabilitasi sosial dasar anak telantar di luar panti; rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di luar panti; rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di luar panti; dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana kabupaten/kota.

Standar Pelayanan Minimal ini harus dilaporkan secara berkala kepada Menteri Sosial, bahkan jika belum menyampaikan laporan tertulis tahunan, Kementerian Sosial akan menagih kepada Kepala Daerah yang bersangkutan. Ini menunjukkan Kementerian Sosial menekankan mandat yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Kota/Kabupaten.

Lalu, bagaimana jika kita menemukan pemerlu layanan kesejahteraan sosial yang terlantar, ada di jalanan sebagai pengemis atau terlunta-lunta? Silakan hubungi Dinas Sosial atau minta bantuan aparat pemerintah/kepolisian.

Dinas Sosial akan menugaskan PSKS untuk melakukan assessment (penilaian) kepada PPKS. Di sinilah perbedaan pekerja sosial dengan jenis pekerjaan lain. Kembali ke kasus KDRT, Jika ditemui ada anak terlantar, misalnya, Pekerja sosial akan melakukan penilaian penyebab dan menganalisis akar masalah sekaligus menyusun rencana kerja membantunya. Setelah digali informasi, ternyata diketahui anak ini korban tidak langsung dari KDRT yang dilakukan ayah kepada ibunya. Maka, pekerja sosial dapat menyusun rencana kerja mulai dari advokasi hukum dengan menghubungkan korban dengan pengacara, memberikan tempat perlindungan korban yang aman dari pelaku, menghubungi psikiater/psikolog untuk rehabilitasi psikis, termasuk mencari akar masalah dari si pelaku mengenai latar belakang perlakuannya.

Dalam hal ini, Pekerja Sosial bersama-sama dengan elemen lain dapat melakukan rehabilitas secara micro, mezzo, atau makro sesuai kebutuhan. Ruang lingkup kerja Pekerja Sosial sangat luas dan dalam. Di sisi keterbatasan waktu dan biaya menjadi hambatan utama. Dinas Sosial juga mengalami keterbatasan sumber daya manusia.

Dengan memahami keterbatasan inilah, Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal hadir. Meskipun ini hanyalah aturan tentang pelayanan minimal, bukan tidak mungkin Pemerintah Provinsi dan/atau Kota/Kabupaten memberikan layanan lebih. Apalagi jika SPM-nya tidak terpenuhi. Bagaimana di Kabupaten/Kota tempat tinggal anda? (Mia Wastuti SSos MSc MEng)

Mia Wastuti SSos MSc MEng adalah Pekerja Sosial dan Direktur Galunggung Center for Research and Consultancy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *