RADAR TASIKMALAYA – Isu kesehatan mental siswa di sekolah kini semakin mendesak untuk mendapatkan perhatian serius. Fenomena peningkatan kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pasca-trauma di kalangan siswa semakin meluas. Tekanan akademik yang berat, perundungan, dan perubahan sosial pada masa remaja berkontribusi besar pada kondisi ini. Penelitian menunjukkan lebih dari 30% siswa di dunia mengalami gangguan kesehatan mental yang tidak terdeteksi, menurut laporan World Health Organization (WHO).
Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2022 menunjukkan peningkatan kasus depresi hingga 25% di kalangan remaja dibandingkan lima tahun sebelumnya, dengan pandemi Covid-19 sebagai faktor utama. Selain itu, perubahan sosial dan ekonomi global juga memperburuk ketidakstabilan mental di kalangan siswa, termasuk dampak isolasi sosial dan kesenjangan digital. Gangguan-gangguan ini sering kali berdampak negatif pada kemampuan belajar dan interaksi sosial siswa.
Tanpa dukungan yang memadai, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan serius yang menghambat perkembangan pribadi siswa. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berisiko menciptakan generasi yang tidak hanya gagal dalam pendidikan, tetapi juga kesulitan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam jangka panjang, gangguan kesehatan mental yang tidak ditangani dapat memengaruhi karier, hubungan sosial, dan kesejahteraan individu di masa depan.
Sebuah penelitian jangka panjang dari Duke University menunjukkan bahwa individu yang mengalami gangguan mental pada masa remaja memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menghadapi pengangguran, kesulitan membangun hubungan yang stabil, dan penurunan kualitas hidup. Studi ini juga menemukan bahwa intervensi dini secara signifikan dapat mengurangi risiko tersebut dan meningkatkan kualitas hidup di masa depan. Oleh karena itu, sudah saatnya kesehatan mental menjadi prioritas dalam sistem pendidikan dengan mengintegrasikan dukungan psikososial yang efektif dan berkelanjutan.
Dukungan psikososial mencakup berbagai bentuk bantuan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan emosional dan sosial siswa. Salah satu contohnya adalah program “KiVa” di Finlandia yang fokus pada pencegahan perundungan. Program ini berhasil menciptakan lingkungan sekolah yang lebih inklusif dan mendukung, mengurangi angka depresi pada siswa hingga 20% dalam tiga tahun pertama implementasinya.
Di Amerika Serikat, program Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS) berhasil meningkatkan keterlibatan siswa dan mengurangi perilaku bermasalah hingga 35%. Di sekolah, layanan dukungan psikososial bisa berupa konseling profesional, pelatihan keterampilan sosial seperti manajemen konflik dan komunikasi efektif, serta pendampingan sebaya yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang sehat. Ketika dukungan ini diberikan secara konsisten, siswa merasa lebih dihargai, diterima, dan mampu menghadapi berbagai tekanan dalam proses pendidikan.
Penelitian menunjukkan bahwa program dukungan psikososial dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengelola tekanan akademik dan masalah interpersonal. Sebagai contoh, di Finlandia, siswa yang mengikuti pelatihan keterampilan sosial mengalami penurunan kecemasan sebesar 35% dan peningkatan performa akademik hingga 25% dalam setahun.
Program terapi kelompok di Jepang juga berhasil meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar hingga 40%. Studi di Inggris menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti pelatihan keterampilan sosial selama enam bulan mengalami peningkatan rata-rata 20% dalam nilai akademik mereka, serta perubahan perilaku positif seperti peningkatan kepercayaan diri dan kemampuan bekerja sama.
Sebaliknya, siswa tanpa dukungan psikososial cenderung mengalami kecemasan kronis, penurunan motivasi belajar, dan kesulitan berinteraksi sosial. Dampak negatif ini diperburuk oleh perundungan, yang dapat menyebabkan risiko depresi klinis lebih dari 50% pada siswa yang tidak mendapat dukungan psikososial. Oleh karena itu, intervensi dini sangat penting untuk mencegah dampak jangka panjang yang merugikan.
Meskipun dukungan psikososial sangat penting, implementasinya di sekolah menghadapi berbagai tantangan. Keterbatasan dana dan sumber daya manusia menjadi hambatan utama, terutama di sekolah-sekolah di daerah pedesaan yang kekurangan konselor profesional. Salah satu solusi untuk mengatasi hal ini adalah pelatihan berbasis komunitas.
Guru dan anggota komunitas lokal dapat dilatih untuk menjadi fasilitator kesehatan mental melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga kesehatan mental. Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pendampingan kesehatan mental, juga dapat membantu menyediakan akses layanan konseling daring yang lebih terjangkau dan dapat diakses oleh siswa di wilayah terpencil.
Masalah lain yang sering muncul adalah stigma sosial terkait kesehatan mental, yang membuat banyak siswa dan orang tua enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau mendapat label negatif. Di samping itu, kurangnya pelatihan khusus bagi guru menyebabkan mereka sulit mengenali tanda-tanda gangguan mental pada siswa. Padahal, guru sering kali berada di posisi terbaik untuk mendeteksi masalah sejak dini dan merujuk siswa ke profesional yang tepat.
Tanpa dukungan psikososial yang memadai, kesehatan mental siswa akan terus memburuk. Data menunjukkan bahwa satu dari lima remaja mengalami gangguan mental serius, tetapi hanya 41% yang menerima bantuan. Situasi ini harus menjadi panggilan untuk seluruh pihak terkait agar meningkatkan kesadaran dan menyediakan solusi nyata. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah melibatkan komunitas dalam mendukung kesehatan mental siswa, misalnya melalui organisasi kesehatan mental, lembaga keagamaan, atau komunitas lokal yang dapat memberikan edukasi dan sumber daya tambahan.
Stres akademik menjadi salah satu penyebab utama gangguan kesehatan mental siswa. Tekanan untuk mencapai nilai tinggi, memenuhi ekspektasi orang tua, dan bersaing dengan teman sebaya sering kali membuat siswa merasa terisolasi dan kehilangan arah. Sebagai contoh, seorang siswa kelas 12, Aliya (bukan nama sebenarnya), mengalami kecemasan berat akibat persiapan ujian nasional. Aliya merasa tertekan oleh harapan tinggi dari keluarganya dan sekolah, sehingga ia kehilangan motivasi belajar dan mulai menarik diri dari teman-temannya. Melalui sesi konseling di sekolah, Aliya belajar teknik relaksasi dan manajemen waktu, yang membantunya tidak hanya menghadapi ujian, tetapi juga meningkatkan nilai rata-ratanya dari 70 ke 85 dalam tiga bulan terakhir. Kasus ini menunjukkan bahwa intervensi yang tepat waktu dan terarah dapat membawa perubahan signifikan dalam kehidupan siswa.
Untuk memastikan dukungan psikososial lebih efektif, diperlukan langkah-langkah strategis yang terintegrasi. Guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental dan memberikan intervensi awal. Pelatihan intensif dapat diberikan melalui workshop atau program sertifikasi yang dirancang khusus untuk kebutuhan sekolah. Pemerintah juga perlu mengalokasikan dana untuk merekrut konselor profesional di setiap sekolah, sehingga siswa dapat langsung mendapatkan bantuan dari tenaga ahli. Selain itu, evaluasi kesehatan mental secara rutin melalui survei atau wawancara tahunan dapat membantu mendeteksi masalah sejak dini dan merancang program intervensi yang tepat.
Kolaborasi dengan organisasi kesehatan mental juga sangat penting. Membangun kemitraan dengan lembaga kesehatan mental dapat menyediakan layanan tambahan, seperti terapi kelompok, seminar edukasi, atau lokakarya tentang pengelolaan stres. Keterlibatan orang tua dalam program-program sekolah juga dapat memperkuat dukungan yang diberikan kepada siswa di rumah. Ketika keluarga dan sekolah bekerja sama, hasil yang dicapai akan lebih optimal.
Dukungan psikososial di sekolah bukan hanya penting, tetapi juga mendesak untuk memastikan kesejahteraan mental siswa. Data dan penelitian menunjukkan bahwa layanan konseling, pelatihan keterampilan sosial, dan program pendampingan dapat membantu siswa mengelola tekanan akademik, meningkatkan prestasi, serta mencegah gangguan kesehatan mental lebih lanjut.
Namun, untuk mencapai hal ini, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Dengan strategi yang sistematis dan inklusif, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung, sehingga siswa dapat berkembang secara akademik dan emosional. Pada akhirnya, investasi dalam kesehatan mental siswa adalah investasi untuk masa depan bangsa yang lebih sehat dan produktif. (Nurlaela)
Penulis merupakan mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Siliwangi.