Meneguhkan Jati Diri Tasik Kota Santri (1): Dari Kriminalitas ke Krisis Karakter

Pendidikan34 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Julukan ”Kota Santri” sering digaungkan sebagai identitas utama Tasikmalaya. Namun, di balik label religius itu, situasi sosial-politik hari ini justru memperlihatkan sejumlah kontradiksi tajam—yang menyasar kualitas pemerintahan dan nilai publik di tingkat akar rumput. Alih-alih menjadi panutan, kehidupan sosial di Tasik kadang tampak seperti ironi dari warisan religius yang dijunjung tinggi.

Paradoks Kriminalitas

Data Polres Kabupaten Tasikmalaya terbaru mencatat penurunan kriminalitas sebesar 16% pada 2024—dari 421 kasus (2023) menjadi 355 kasus. Penurunan ini dihubungkan dengan strategi patroli dialogis dan pengawasan komunitas (Polres Kab. Tasikmalaya, Mei 2025). Namun kontras terjadi di Kota Tasikmalaya: DPRD melaporkan peningkatan tajam hingga 28% sepanjang 2023 (dari 974 ke 1.221 kasus) (DPRD Kota, April 2025).

Ketimpangan ini menunjukkan kompleksitas sosial perkotaan yang lebih dinamis. Dalam konteks sosiologi, Emile Durkheim menyebutkan bahwa ketidakterikatan sosial dan runtuhnya solidaritas kolektif akan melahirkan anomia—kehilangan pedoman moral dalam masyarakat (lihat Durkheim, The Division of Labor in Society, 1893). Fenomena ini kian relevan di kota-kota seperti Tasikmalaya, di mana simbol religius tidak selalu menjamin kestabilan sosial.

Kenakalan Remaja Mengusik

Fenomena “cabe-cabean” dan prostitusi remaja di Tasikmalaya menjadi peringatan keras. Dalam forum bersama Pemkot dan Polres (Februari 2025), terungkap bahwa remaja putri usia SMP–SMA terlibat dalam prostitusi berbasis taruhan balap liar. Sayangnya, seperti biasa, masyarakat lebih cepat menyalahkan korban ketimbang menggugat struktur yang memungkinkan hal itu terjadi.

Investigasi jurnalis Radar Tasikmalaya (Maret 2025) menyebut bahwa para pelaku dewasa justru berasal dari kalangan ekonomi mapan. Dalam kondisi ini, krisis moral tidak bisa hanya dibebankan pada individu muda, melainkan merupakan akibat dari lemahnya kontrol sosial dan hilangnya model keteladanan. Seperti yang ditegaskan oleh Thomas Lickona dalam Educating for Character (1991), degradasi nilai di kalangan remaja berbanding lurus dengan absennya integritas di lingkungan terdekat mereka—keluarga, guru, dan tokoh masyarakat. 

Infrastruktur Rusak, Moralitas Publik Terkikis

Bukan hanya sosial, tetapi juga fisik: jalan-jalan utama ke kampung dan pesantren di Kecamatan Salopa dan Manonjaya rusak parah. Banyak laporan menyebut proyek pembangunan infrastruktur molor karena keterlambatan tender dan minimnya pengawasan (laporan warga, Mei 2025). Beberapa bahkan menyindir, “jalan ke pesantren lebih sulit daripada ke tempat hiburan.”

Padahal, dalam konsep pembangunan berkeadaban seperti dikembangkan oleh Syed Naquib al-Attas (Islam and Secularism, 1978), pembangunan tidak boleh sekadar memenuhi sisi material, tetapi juga harus menguatkan nilai dan adab dalam kehidupan publik. Jika jalan ke pesantren rusak, tetapi jalan ke pusat perbelanjaan mulus, maka pembangunan kita sedang kehilangan arah nilai. 

Kemiskinan: Akar yang Membeku

Ketua Komisi D DPRD Kota Tasikmalaya menyebut kemiskinan sebagai pemicu utama meningkatnya kenakalan remaja dan kriminalitas (DPRD, Juni 2025). Sayangnya, tidak ada data kemiskinan terbaru yang bisa diakses publik. Program pengentasan kemiskinan yang dijalankan Pemda masih bersifat sektoral dan minim pendekatan kultural.

Dalam kajian Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian, kemiskinan bukan hanya soal uang, tetapi soal kehilangan pilihan dan martabat (lihat Yunus, Banker to the Poor, 2003). Maka, ketika pesantren—yang punya jejaring sosial dan modal kepercayaan tinggi—tidak dilibatkan secara strategis, upaya pemberdayaan hanya berjalan separuh jalan.

Kota Santri bukan sekadar label sejarah. Ia adalah tanggung jawab bersama untuk menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai fondasi etika pembangunan, integritas birokrasi, dan keluhuran moral publik. Tulisan ini ingin mengingatkan, bahwa di balik setiap jalan rusak dan remaja putus arah, terdapat pertanyaan yang harus dijawab: apakah kita masih menjaga ruh “santri” sebagai denyut hidup Tasikmalaya? (Budi Rahman Hakim, Ph.D)

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Alumnus Tilburg University, Belanda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *