RADAR TASIKMALAYA – Relasi antara Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Madrasah dirasa masih dalam ranah abu-abu, yakni dalam praktik kebijakan pendidikan. Cukup banyak Pemda yang berpandangan bahwa madrasah berada di luar tanggung jawabnya. Mereka beranggapan madrasah ada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Dengan dalih kewenangan ijin operasional pendirian madrasah diterbitkan oleh Kemenag termasuk untuk biaya operasional.
Memang benar, pendidikan agama dan entitas lembaga keagamaan -termasuk madrasah- terdaftar wilayah binaan Kemenag. Tetapi untuk soal pembiayaan -yang ditanggung oleh Kemenag- terbatas pada beberapa aspek tertentu, yakni terkait dengan operasional Madrasah Negeri (MIN, MTsN dan MAN) saja. Mulai dari pemenuhanan sarana prasaran dan penggajian pegawai PNS Adapun, untuk kegiatan operasional madrasah-madrasah swasta mulai perawatan sarana-prasarana, pembangunan fasilitas, hingga honor guru dan pegawai seluruhnya ditanggung oleh masyarakat melalui iuran, sumbangan, dan partisipasi aktif orang tua murid.
Keberadaan madrasah swasta ini lebih banyak daripada madrasah negeri, termasuk di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya saja lebih dari 85 persen adalah madrasah swasta. Namun demikian tidak ada larangan pula jika Pemda turut membantu, memeberikan hibah kepada Madrasah Negeri.
Selain itu, jika kita membaca dengan jernih Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jelas bahwa madrasah merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional yang juga menjadi tanggung jawab Pemda
Dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Sisdiknas tidak ada dikotomi antara sekolah umum dan madrasah. Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dasar terdiri atas Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), sedangkan Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa pendidikan menengah mencakup Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah atas (SMA), dan Madrasah Aliyah (MA). Dengan demikian, secara yuridis, madrasah memiliki kedudukan yang setara dengan sekolah umum lainnya.
Pasal 30 UU Sisdiknas, lebih jauh menempatkan pendidikan keagamaan—termasuk madrasah—sebagai bagian dari sistem pendidikan formal. Artinya, negara memandang madrasah sebagai lembaga pendidikan yang sah dan memiliki fungsi strategis dalam membentuk manusia Indonesia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dengan posisi seperti itu, tidak ada alasan bagi Pemda untuk mengesampingkan madrasah dari skema perhatian dan bantuan pendidikan daerah.
Termasuk dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, seperti tersebut di atas menegaskan bahwa pendidikan adalah urusan wajib Pemda yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Yakni pasal 12 ayat (1) huruf c, menyebutkan secara tegas bahwa daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam konteks ini, tanggung jawab tersebut mencakup semua satuan pendidikan di wilayahnya, tanpa membeda-bedakan status Kementerian/Lembaga yang menaunginya. Prinsip Otonomi Daerah menempatkan Pemda sebagai pelayan publik yang harus menjamin akses, mutu, dan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga tanpa kecuali dan diskriminasi.
Pengertianya bahwa, Pemda memiliki kewenangan untuk memberikan dukungan kepada madrasah. Baik dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi guru, maupun penguatan manajemen mutu. Lebih jauh Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan menegaskan bahwa Pemda dapat memberikan bantuan kepada penyelenggara pendidikan keagamaan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing. Dengan demikian, pemberian bantuan kepada Madrasah oleh Pemda bukanlah pelanggaran kewenangan, melainkan amanat hukum dan juga secara moral.
Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar madrasah, terutama madrasah swasta yang dikelola masyarakat, masih menghadapi keterbatasan fasilitas dan pendanaan. Cukup ironis, dalam banyak program pendidikan daerah madrasah sering tidak terdata atau tidak termasuk dalam daftar penerima bantuan.
Ketimpangan ini tidak hanya melanggar prinsip kesetaraan, tetapi juga menghambat upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bidang pendidikan. Padahal madrasah bagian integral, tak terpisahkan turut berkontribusi dalam mencerdaskan masyarakat lapisan bawah, terutama di pedesaan dan daerah pinggiran.
Keadilan pendidikan tidak bisa hanya diukur dari status dan catatan administratif lembaga saja oleh Pemda, tetapi perlu diakui dari fungsi sosial yang dijalankannya. Madrasah berperan penting tidak hanya dalam mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam menanamkan nilai moral, spiritual, dan kebangsaan. Walhasil manakala Pemda memperkuat madrasah, sejatinya mereka sedang memperkuat fondasi moral masyarakatnya sendiri.
Sekarang ini sudah saatnya Pemda melihat madrasah bukan sebagai “urusan vertikal” Kementerian Agama, melainkan sebagai mitra horizontal dalam pembangunan daerah. Sinergi ini bisa diwujudkan melalui berbagai kebijakan konkret. Mulai program beasiswa siswa madrasah berprestasi, bantuan ruang kelas baru, digitalisasi pembelajaran, pelatihan guru madrasah, dll. Langkah-langkah ini tidak hanya memperkuat madrasah, tetapi juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerah secara menyeluruh.
Terlebih lagi bahwa siswa dan pendidik madrasah adalah putra daerah yang berhak mendapatkan layanan, perhatian dari Pemda, setara dengan satuan pendidikan formal lain.
Manakala Pemda sungguh-sungguh ingin mewujudkan pendidikan yang merata dan berkeadilan, maka tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah umum dan madrasah. Keduanya adalah dua jalur berbeda dalam satu nafas yang sama, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Otonomi Daerah seharusnya digunakan untuk memperluas akses dan memperkuat sinergi, bukan mempersempit tanggung jawab.
Insan madrasah telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mencetak murid berprestasi, tetapi juga membentuk generasi berakhlak. Cukup banyak anak madarasah yang berprestasi hingga mengharumkan daerahnya. Dan kini giliran Pemda yang harus menunjukkan keberpihakan nyata. Karena pada hakikatnya, memperhatikan madrasah berarti memperhatikan anak kandung sendiri, bukan orang lain. (Ma’mun Alfikry)
Penulis merupakan Kaur TU MTsN 3 Kota Tasikmalaya, Alumni MTs Bahrul Ulum Awipari












