Setidaknya ada beberapa bioskop berdasar kelasnya masing-masing yang pernah tumbuh di radius terdekat dari masjid agung. Bioskop Garuda di jalan Dr. Sukarjo, Tasik Teater di Pasar Karlis, Bioskop Santosa atau Nusantara di Gunung Sabeulah. Konon mantan Walikota H. Budi Budiman punya pengalaman unik saat membawa adiknya Elin ke bioskop ini, dengan harapan adiknya dapat karcis gratis. Juga bioskop yang lebih modern pada masanya di samping bioskop yang sudah berdiri sebelumnya, meski bioskop Empire di bilangan Gunung Pereng ini tutup riwayat karena insiden terbakar dan memakan dua korban meninggal dunia, dan membuat penulis buku HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE ini, Nunu Nazarudin Azhar terduduk lemas di depan gereja karena berhasil keluar dan selamat dari tragedi itu. Di samping nama-nama yang sudah saya sebutkan, ada nama-nama legendaris dan lebih tua usianya seperti Bioskop Galunggung, Luxor, Venus Park, Roxy, Megaria, dll, juga yang fenomenal di era 1990-an bioskop rumahan bernama Erafox.
Tasikmalaya juga menjadi kota penting dalam dunia pertunjukan. Dari mulai stamboel sampai teater telah mewarnai percaturan khazanah pertunjukan. Dan bioskop, ya, bioskop tidak selalu memutarkan film-film. Karena sekali waktu tempat itu bisa diperuntukkan untuk pertunjukan teater selama berhari-hari, juga untuk konferensi dan pertemuan tokoh-tokoh pergerakan. Pernah sekali waktu dalam pertemuan para tokoh, Sutisna Senjaya, yang hari ini namanya diabadikan jadi nama jalan, berpendapat lantang dan keras dalam forum, seketika dihentikan pihak keamanan.
Pertunjukan gending karesmen Galunggung Ngadeg Tumenggung, merupakan pertunjukan tersukses kedua setelah gending karesmen Lutung Kasarung yang ditulis dan disutradari langsung R.T.A. Sunarya yang pernah menjabat Bupati Tasikmalaya. R.T.A Sunarya dikenal dengan birokrat yang nyeni. Kisah suksesnya membuat pertunjukan menarik minta Presiden Soekarno yang kemudian mengundangnya pentas di Ibu Kota RI, ketika itu diYogyakarta, yang kemudian gagal pentas karena terjadi Agresi Militer I.
Gending karesmen Galunggung Ngadeg Tumenggung semacam tali kebudayaan yang akan mengulang sukses R.T.A. Sunarya. Di bawah arahan Wahyu Wibisana, pertunjukan yang memainkan personel sebanyak 300 orang, melakukan pentas selama tiga hari berturut-turut di Karang Resik. Pentas yang berlangsung 29–31 Oktober 1964 ini sangat sukses dan begitu dikenang oleh para penontonnya. Setali tiga uang dengan Lutung Kasarung, Galunggung Ngadeg Tumenggung pun mendapat kehormatan dari Presiden Soekarno untuk pentas di kompleks senayan. Seluruh persiapan sudah ditata rapi, dan ratusan seniman telah berada di Jakarta. Apa dinyana, pertunjukan gagal gegara tragedi mencekam peristiwa G-30-S/PKI.
Yang menarik dari kisah ini, di luar gagalnya mereka pentas karena arus politik yang memanas, pada saat itu, Presiden memorsikan kebudayaan sebagai unsur vital dalam karakter dan identitas bangsa. Dan dari Galunggung Ngadeg Tumenggung, para guru, siswa, dan seluruh pemuka-pemuka Muspida (Pemda, Militer, Kehakiman) terlibat langsung dalam proses garapnya. Sebuah pemandangan yang hari ini jarang sekali kita lihat. Apakah ini gerangan terjadi, karena kebudayaan tidak lebih penting dari ekonomi, politik, dll?
Saya berani mengatakan bahwa buku HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE karya Nunu Nazarudin Azhar, adalah arsip mewah yang menguar ihwal sub hiburan. Setidaknya bagi saya sendiri yang merasa kerasan dan mencintai kota ini. Atau sebut saja sebagai museum seperti impresi Duddy RS. Saya setuju, akui saja buku ini sebagai museum alternatif, untuk mendorong para pemangku kebijakan hadirnya museum yang representatif di Tasikmalaya.
Belum sampai seperempatnya saya ulas. Masih banyak sebenarnya yang ingin saya kupas tentang buku ini, tentang hal-hal unik dan sensitif di luar teksnya. Tapi dipikir-pikir hal itu tidak baik. Setidaknya sebagai orang Tasikmalaya, saya merasa bangga telah membaca dengan apik buku penting ini. Selanjutnya, tuan dan puan yang menaruh kecintaan terhadap Tasikmalaya, apakah punya waktu untuk membaca buku yang telah berhasil meneroka nama, peritiwa, dan tempat yang pernah menjadi perhatian publik. (Bode Riswandi)
Bode Riswandi adalah Kepala UPA Perpustakaan Unsil sekaligus Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi.