Tasikmalaya boleh jadi sebuah kota kecil yang berjarak 200 KM dengan Ibu Kota Priangan kedua, setelah pemindahan dari Cianjur Medio 1800-an. Dan berjarak 162 Mil dari ibu kota negara. Mafhumnya ibu kota, segala pusat pemerintahan dan perekonomian pasti berarus ketat di sana. Kota yang mau tidak mau harus terbuka dalam aspek apapun. Dan kota-kota kecil lainnya seperti Tasikmalaya misalnya, hadir sebagai penopang kemajuan provinsi. Asumsi ini boleh jadi benar adanya, tapi sekaligus pula dapat dibantah bila memiliki rujukan-rujukan lain sebagai hipotesis pembanding.
Bantahan-bantahan dapat dilakukan tentu dalam sub dan perspektif masing-masing sebagai pembacaan baru, pembanding atau diskursus yang baru. Sejak tahun 1900-an, seperti yang diriwayatkan dalam buku ini (meski tidak secara spesifikasi menyebutkan kota dan manusia modern) warga Tasikmalaya sejatinya sudah masuk pada alam manusia dan kota modern. Hal itu bisa kita lihat langsung dari tindakan sosial masyarakat Tasikmalaya pada masa itu dengan habitus dan fungsi sosialnya. Dunia perbioskopan yang berdiri di Tasikmalaya sejak 1920-an, dapat menjadi penanda modernisasi masyarakat Tasikmalaya yang sudah familiar mengenal film sejak 1917. Sebuah kondisi yang mafhumnya biasa terjadi di kota-kota besar.
Sikap yang dilakukan masyarakat Tasikmalaya jaman baheula itu merupakan transhabitus masyarakat pedesaan menuju gaya hidup perkotaan. Dalam istilah Harold Rosenberg dikatakan adanya perubahan tradisi lama ke tradisi baru yang secara bertahap sifat-sifat alamiah bawaannya terkikis menjadi nuansa baru. Kehadiran bioskop di luar sebagai sarana hiburan, dapat kita sigi hal-hal di luar kerja teknisnya, telah bekerja pula di dalamnya sektor kapitalisme, industrialisme, kemampuan pengawasan, dan kekuatan militer (keamanan). Setidaknya empat dimensi sebagai alat ukur modernisasi yang didawuhkan Anthony Giddens dalam The Consequence of Modernity, menambah keabsahan untuk menyebut Tasikmalaya sudah modern dan terbuka sejak lama.
Buku HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE karya Nunu Nazarudin Azhar, mendedahkan Tasikmalaya lewat spektrum dunia ‘Hiburan’ yang pernah tumbuh dan berjaya di Tasikmalaya. Akan tetapi jika dibaca secara kritis dan saksama, buku ini tidak hanya hidup dalam romantisisme pada tempat di mana pernah berdiri pusat-pusat hiburan bagi rakyat, melainkan memancarkan pembacaan prismatik ke latar belakang sejarah yang berkelindan di sekelilingnya, disparitas ekonomi yang terjadi, ketegangan pemuka agama dengan pelaku usaha, kebijakan pemerintah daerah, keterbukaan dengan masyarakat luar Indonesia, diplomasi bisnis, etalase kebudayaan, politik dan tegangan-tegangan lainnya, konferensi para aktivis dan tokoh pergerakan masa lalu, dunia penyiaran, hingga kekalahan telak PERSIB 5-1 oleh PERSITAS.
Tasikmalaya Masa Lalu, Kini dan Nanti
Saya membayangkan jika pada suatu pagi sebelum berangkat mengabdi, Bupati atau Walikota meluangkan waktu membaca buku ini, mereka pasti akan membayangkan kondisi Tasikmalaya hari ini sudah jauh lebih baik atau tumbuh serampangan. Saya membayangkan pada pagi yang sama, para senator kita sebelum beradu argumentasi tentang legislasi, anggaran, dan pengawasan, atau sebelum studi banding soal perumusan dan pengesahan perda, kemudian punya waktu membaca buku ini, setidaknya akan mendapat inspirasi ihwal apakah ketiga fungsi utamanya yang diamanatkan UUD 1945 dapat mengkaji ulang kenyataan Tasikmalaya hari ini. Setidak-tidaknya, pemda Kab/Kota Tasikmalaya dan para senatornya, sebagian besar masih dihuni mereka yang lahir kisaran tahun 1950–1980-an.
Mereka tentunya mengalami secara langsung peristiwa-peristiwa tentang dunia ‘Hiburan’ di Tasikmalaya pada kurun waktu itu. Amatan saya, dengan membaca buku ini, setidaknya para eksekutif dan mereka yang mewakili rakyat di parlemen, dapat sedikit merenungkan kembali bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan keberlanjutan dari yang sebelumnya. Antara merawat yang semestinya dirawat dan memusnahkan apa yang seharusnya jangan dimusnahkan. Hana Nguni Hana Mangke.
Sebagai gambaran kecil di luar buku ini yang secara khusus membahas dunia hiburan di Tasikmalaya, saya spill tipis-tipis kepada saudara yang kebetulan pula punya waktu membaca artikel ini. Di seputar alun-alun kaum (masjid agung hari ini) pernah berdiri bioskop dan berganti-ganti nama juga kepemilikan, yang hari ini sebagian lahannya telah mewujud gedung dakwah. Karena ada desakan dari para pemuka agama yang dirasa kurang elok posisi bioskop berdekatan dengan mesjid agung, bukan saja karena posisi letaknya namun karena ekses lain (bisa saja karena poster film yang dinilai kurang tepat), maka pihak pemda menukarkan asetnya dengan pengusaha bioskop ke Gunung Singa atau Yudanegara hari ini, yang pada kala itu berdiri kolam renang alam Gunung singa. Kolamnya hilang dan berubah jadi Bioskop Parahyangan. Ada dua bioskop besar di jalan Yudanegara, yakni Hegarmanah dan Parahyangan yang tutup usia salah satunya di tahun 2009. Dan hari ini kita tidak dapat menyaksikan jejak dua bioskop itu sama sekali.