RADAR TASIKMALAYA – Bulan ini merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi rakyat Indonesia, karena pada bulan ini Bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka tepatnya 17 Agustus, 79 tahun silam.
Pernyataan proklamasi yang diwakili oleh Soekarno-Hatta, tentunya memiliki makna mendalam bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sudah jengah dengan berbagai ketidakadilan yang dipraktikkan para penjajah yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, bertindak sebagai pemerintah yang meletakkan bangsa Indonesia yang rendahan dan pantas diatur, diperlakukan tanpa harga diri.
Bahkan sebutan yang terkenal di masa Belanda untuk merendahkan Bangsa Indonesia sebagai bangsa Inlander. Inlander adalah sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi sebagai bangsa rendahan, bodoh dan pantas diatur semena-mena. Bangsa Barat utamanya Eropa dianggap memiliki derajat lebih tinggi dan pantas mengatur hidup bangsa pribumi.
Berbagai ketidakadilan dan semena-mena para penjajah menimbulkan rentetan Gerakan perjuangan melawan penjajah dimulai dari perlawanan yang bersifat kedaerahan sampai kemudian perlawanan yang bersifat nasional, yang merepotkan Belanda pada akhirnya. Jejak-jejak perlawanan yang luar bisa tersebut menjadi bukti nyata perjuangan para pahlawan nasional kita. Hal ini juga menjadi bukti bahwa kemerdekaan kita bukanlah pemberian para penjajah baik Belanda, Jepang ataupun Sekutu, tetapi benar-benar bermodalkan darah dan ketajaman pikiran untuk berdiplomasi dengan negara lain di dunia.
Semua sudah mafhum bahwa tujuan kemerdekaan kita sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bermuara pada menjunjung tinggi harkat derajat kemanusiaan dan keadilan. Bahwa seluruh manusia berhak hidup mulia, dihargai, tidak ada satu bangsa yang mengatur bangsa, atau manusia lainnya dengan semena-mena, tanpa hak dan hukum yang tidak adil.
Hal yang sangat utama dari perlu dibentuknya pemerintahan yang berdaulat dari bangsa kita sendiri adalah untuk kesejahteraan umum. Oleh karena itu, bangsa Indonesia haruslah menjadi bangsa yang cerdas, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia bahkan mampu menjadi trend-setter bangsa bangsa-bangsa di dunia.
Substansi Kemerdekaan dan Tantangan Mental Inlander
Waktu berlalu 79 tahun silam dari kerasnya perjuangan, kita merasakan zaman merdeka dipimpin oleh bangsa sendiri. Pertanyaan seriusnya sudahkah kita merdeka seperti tujuan dideklarasikan kemerdekaan kita? Pertanyaan ini sudah sering kita lontarkan pada diri kita atau sesama. Negara kita memang sudah merdeka dari pemerintahan Kolonialisme dan Imperialism, namun substansi kemerdekaan yang sesungguhnya menjadi masalah serius terjadi pada keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk menjadi negara merdeka sesungguhnya haruslah dibentuk dari bangsa yang merdeka, bangsa yang merdeka dibentuk oleh manusia Indonesia yang bermental merdeka dan mental merdeka dibentuk dari kebiasaan (pola pikir) sebagai manusia merdeka. Manusia yang merdeka merupakan manusia yang paham akan harkat martabat kemanusiaannya. Memahami hakikat hak hidup, hak kebebasan dan kebahagiaan (hak asasi manusia).
Memahami batasan bagaimana kita memiliki dignity ketika berhadapan dengan pihak lain dan memahami bagaimana memperlakukan pihak lain sebagai manusia yang patut untuk dimuliakan dalam pergaulan dalam negeri maupun internasional. Hal ini juga merupakan amanat dari pembukaan UUD 1945 dan menjadi komitmen kita Bersama.
Sayangnya hingga saat ini penghayatan kita terhadap kemerdekaan kita baru sampai pada tahap simbolisme, kita merasa sudah merdeka namun pola pikir kita masih pola pikir lama, mental dijajah, rendah diri, belum menyadari bahwa masih banyak di antara kita bangga dengan kemerdekaan namun perilaku masih menindas sesama, ingin menang sendiri, kelompok kita lah yang terbaik, identitas kita lah yang terbaik, sedangkan identitas lainnya sebagai the others (dipandang sebelah mata). Semua itu sebenarnya mental yang oleh orang Belanda diolok-olok sebagai inlander yang mudah untuk diadu domba.
Sudahkah kita berpikir bahwa sejauh mana kita mampu merdeka dari pola dan gaya hidup negara lain (khususnya Barat), sejauh mana para pemikir kita merdeka dari dogma-dogma dan tesis pemikir Barat tanpa berusaha membuat terobosan baru sebagai anti tesis atau sintesis? Sudah sejauh mana kita terbebas dari kelakuan candu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang tidak sembuh-sembuh? sudah sejauh mana kita terbebas dari candu narkoba yang semakin menggejala dan masalah serius lainnya seperti penegakan hukum yang pincang, masalah dalam Pendidikan, akses kesehatan dan lainnya.
Uniknya bangsa kita merayakan peringatan kemerdekaan diwarnai dengan perayaan-perayaan yang kurang substantif, hanya mengeksplorasi “kulit”, suka cita kemerdekaan semata. Sepengetahuan saya di daerah Jawa Barat sering sekali perayaan ditandai dengan dangdutan dan pesta-pesta yang kurang menyentuh substansi kemerdekaan. Kita memahami bahwa hal tersebut dapat dikatakan sebagai wajar sebagai ekspresi kebahagiaan yang kemudian diteruskan untuk ajang hiburan warga. Namun jangan sampai substansi kemerdekaan yang sesungguhnya dari tahun ke tahun tidak dimaknai ke hal yang lebih sesuai dengan tujuan kemerdekaan supaya kita dapat secepatnya bersaing di dunia internasional dan disegani sebagai negara hebat.
Di beberapa tempat misalnya demi pesta rakyat mereka meminta sumbangan di jalan-jalan (dalam beberapa kasus membahayakan pengguna jalan). Untuk kepentingan hiburan tersebut mereka meminta-minta kepada pengguna jalan. Pemaknaan kemerdekaan yang seperti ini sebenarnya bukanlah perilaku yang mendidik sebagai bangsa yang merdeka. Pembiasaan yang sangat lama dari para penjajah menjadikan pribumi inlander sebagai bangsa peminta yang tergantung pada pemerintah Hindia Belanda masih membekas. Belanda memang mendidik bangsa kita sebagai bangsa yang meminta-minta, bukan sebagai bangsa pemberi. Harusnya momen kemerdekaan harus dijadikan momentum mengangkat derajat manusia melalui saling berbagi, tolong-menolong, misalnya sumbangan untuk para keluarga di bawah garis kemiskinan, menggalang bantuan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu, panti asuhan, percepatan program pemberdayaan masyarakat (petani, buruh), bakti sosial, bina desa dan kegiatan lainnya.
Hiburan melalui perlombaan-perlombaan tidaklah salah, namun bagaimana dampaknya jika biaya hasil pengumpulan dana untuk perlombaan-perlombaan rakyat, sebagian disisihkan untuk berbagi bagi sesama yang membutuhkan akan memiliki makna substantif yang lebih utama sesuai amanat dideklarasikannya kemerdekaan kita.
Tren perlombaan ini terjadi di seluruh penjuru tanah air yang membutuhkan biaya yang sangat besar lewat pengumpulan dana untuk kebahagiaan, sukacita kita memperingati kemerdekaan, namun di samping pesta tersebut ada berapa banyak manusia Indonesia yang secara substansi baik mental, pemikiran maupun kebutuhan fisiknya yang belum merdeka?. Bagaimana jikalau dalam peringatan hari kemerdekaan ini selain pesta rakyat, juga digerakkan untuk gerakan saling berbagi, saling memberdayakan dan untuk para intelektual memberikan kontribusi dan pengabdian yang lebih dirakan lagi oleh masyarakat. Kita harus yakin, di negeri kita banyak orang hebat, namun dengan diamnya orang hebat menjadikan negara stagnan, jangan sampai orang-orang yang tidak mampu memimpin “malahan” mengelola negara, sedangkan orang yang hebat “malah” cenderung diam.
Pertaruhan kita sudah sampai pada saat yang serius antara kita naik menjadi negara hebat dipuncak keemasan kita atau justru sebaliknya menjadi negara terpuruk, itu semua kita yang menentukan lewat pola pikir dan perubahan mental sebagai bangsa yang hebat. Perubahan itu sudah terjadi pada negara tetangga kita India yang kira-kira 15 tahun ke belakang kondisinya lebih parah dari negara kita. Negara tersebut perlahan namun pasti mulai menjelma sebagai raksasa dunia. Bagaimana dengan kejayaan negara kita ? Semoga saja selalu ada perbaikan. (Subhan Agung MA)
Penulis merupakan dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya