RADAR TASIKMALAYA – Nama-nama seperti Sambo, Eliezer, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, Putri Candrawathi, dan beberapa nama penting lainnya yang terlibat dalam pembunuhan Joshua, muklis menjadi nama-nama paling menyita perhatian publik dengan rasa kemarahan yang luar biasa. Perbuatan para oknum tersebut jelas-jelas telah melukai perasaan rakyat Indonesia yang telah andil menyumbang bayaran pajaknya untuk keberlangsungan negara.
Sangat beralasan kemarahan rakyat ini, karena institusi negara yang seharunya memberikan perlindungan kepada rakyat senyata-nyatanya telah melakukan hal-hal yang irasional. Maka tidak salah pula jika publik memiliki kesimpulan ironis bahwa upaya rekayasa kasus sudah bisa terjadi dan dilakukan. Peristiwa Duren 3 menjadi hipotesis pertama simpulan publik yang valid.
Bahkan dalam beberapa testimoni publik yang tercecer di berbagai media, banyak yang membandingkan pengusutan dan penyelidikan dengan kasus-kasus lain. Betapa hebat dan secepat kilat menuntaskan kasus terorisme, mengurai benang kusut gembong narkoba. Di samping itu ada yang menyamakan kasus Duren 3 dengan KM 50 ketika cctv sama-sama hilang. Tidak secepat menuntaskan seperti kasus-kasus lain bisa diakibatkan karena kasus Sambo melibatkan pejabat-pejabat penting di tubuh POLRI. Terbukti, ada banyak bintang di langit berjatuhan. Ada banyak polisi muda yang pupus kariernya. Ada banyak duka cita, kemarahan, penyesalan, dari masing-masing keluarga. Ada pula yang akan menerima beban malu sepanjang masa.
Proses pengadilan berjalan panjang. Bagai sebuah melodrama, rasa marah, dendam, kesal, tangisan, dan gelak tawa, menghiasi ruang sidang. Ini terjadi setelah mega skenario awal tiba-tiba buyar setelah Eliezer memberanikan diri sebagai justice collaborator. Kasus Sambo seperti menemukan titik terang, meski sekuat tenaga Sambo bersikukuh dengan pernyataan awal pembelaan harga diri atas persitiwa pelecehan yang diterima istrinya.
Minggu ini JPU telah membacakan vonis bagi para terdakwa. Diwaktu bersamaan kita menafsirkan makna tangisan para terdakwa dan tangisan kedua orang tua (alm) Brigadir. Joshua di rumah sederhananya. Ada tangisan sisa pemegang kekuasaan, ada tangisan penyesalan yang tak bisa menolak perintah atasan, ada tangisan panjang meski hukuman terberat dijatuhkan tetap tidak bisa mengembalikan anak kesayangannya untuk kembali lagi ke rumah. Namun ada tangisan lain yang tak tampak, yakni tangisan antrean panjang digit-digit pajak rakyat yang masuk ke tubuh-tubuh institusi negara yang korup, yang banar, yang cabar.
Minggu ini, Rizal, Kuat, Putri dan Sambo menangis. Tangis dan gestur Eliezer mendapat perhatian lebih. Sesak dadanya, seolah tidak percaya dengan tuntutan JPU. Sekilat ia memeluk pengacaranya sambil tersedu. Sebagai justice collaborator besar harapan dia dapat tuntutan hukum yang meringkankan. Namun faktanya, nihil. Putusan final memang belum berakhir, masih ada langkah lain yang pastinya akan ditempuh.
Kasus Sambo memberikan banyak hikmah. Terbukanya perbuatan rekayasa kasus dan betapa tongkat komando mampu membuat seorang bawahan tak berdaya harus manut tanpa harus membantah. Tongkat sangat dibutuhkan bagi si pejalan buta, dan itu akan berdaya guna bila berada di tangan Komandan yang tepat. Mereka yang merasa dikorbankan dalam kasus ini tentu dapat menerka sendiri tangan seperti apakah yang memegang tongkat itu.
Drama ini sungguh membuat cape, tapi berhasil menggeser mata ibu-ibu yang menggandrungi Alde Baran dalam Ikatan Cinta. Drama ini memang buruk plot twist-nya, sehingga berdampak menurunnya kepercayaan publik dan menempatkan institusi POLRI di titik nadirnya. Tontonan buruk semacam ini semoga tidak lagi menghiasi dunia pertelevisian kita, sehingga pajak-pajak rakyat dapat mengalir pada kanal yang seharusnya.
Hoegeng mencetak sejarah namanya sebagai polisi yang baik dan jujur. Purnawirawan Jendral yang miskin harta seusai pensiun tapi kaya adab dan teladan yang patut dikenang. Tapi Hoegeng tentu bukan satu-satunya sosok polisi yang baik. Masih ada polisi-polisi baik dan amanah di tubuh POLRI hari ini dan masa datang. Dan Sambo, ya, Sambo, episodenya harus berakhir di sini. Esok tongkat komando itu harus berada di tangan yang tepat. (Bode Riswandi)