Aturan Tilang Baru, Solusi Ketertiban atau Ancaman bagi Pengendara?

RADAR TASIKMALAYA – Di tengah upaya pemerintah meningkatkan ketertiban lalu lintas, serangkaian aturan tilang baru akan mulai diberlakukan pada April 2025 dengan harapan dapat menekan angka pelanggaran serta kecelakaan di jalan raya. Sistem poin pelanggaran, tilang elektronik (ETLE), hingga kebijakan penyitaan kendaraan dengan STNK mati lebih dari dua tahun menjadi instrumen utama dalam penegakan hukum lalu lintas terbaru. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini benar-benar mencerminkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia?

Aturan tilang terbaru memperkenalkan beberapa mekanisme yang belum pernah diterapkan sebelumnya di Indonesia. Pertama, sistem poin pelanggaran yang mengakumulasikan catatan pelanggaran pengendara. Kedua, perluasan jangkauan tilang elektronik (ETLE) yang kini dipasang di berbagai titik strategis perkotaan. Ketiga, dan paling kontroversial, adalah kebijakan penyitaan langsung terhadap kendaraan yang STNK-nya mati lebih dari dua tahun.

Dari perspektif regulasi, ketiga sistem ini memiliki dasar hukum yang kuat melalui UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta turunannya. Dalam Pasal 68 ayat (1) disebutkan bahwa ”Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.” Lebih jauh, Pasal 288 menegaskan sanksi bagi pelanggaran ketentuan tersebut.

Namun, sejumlah ahli hukum mempertanyakan proporsi antara pelanggaran administratif dengan tindakan penyitaan kendaraan. Dr Asep Warlan Yusuf, guru besar hukum administrasi negara, pernah mengemukakan bahwa ”Tindakan administratif haruslah proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan. Penyitaan aset pribadi merupakan tindakan yang sangat serius dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.”

Ironi yang paling mencolok dari kebijakan baru ini adalah kemudahan pemerintah menyita kendaraan pribadi masyarakat, sementara aset hasil korupsi yang nilainya jauh lebih besar justru sulit dirampas. UU Perampasan Aset yang hingga kini masih dalam tahap pembahasan menunjukkan betapa rumitnya prosedur perampasan aset hasil kejahatan.

Dalam perspektif hukum pidana, Prof Eddy OS Hiariej dari UGM menyatakan, ”Ada ketidakseimbangan dalam pendekatan penegakan hukum kita. Di satu sisi, kita sangat tegas terhadap pelanggaran administratif masyarakat kecil, namun di sisi lain, kita masih kesulitan menerapkan asset recovery terhadap koruptor.”

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang telah mengatur tentang perampasan aset hasil korupsi, namun implementasinya sering terkendala oleh berbagai hambatan prosedural dan pembuktian. Kejaksaan Agung mencatat bahwa tingkat keberhasilan perampasan aset koruptor hanya sekitar 30% dari total nilai kerugian negara. Bandingkan dengan tingkat keberhasilan penyitaan kendaraan bermotor yang diperkirakan bisa mencapai 90%.

Praktik penegakan hukum lalu lintas di berbagai negara maju bisa menjadi cermin bagi Indonesia. Singapura, sebagai negara tetangga dengan sistem transportasi yang tertib, menerapkan denda yang sangat tinggi untuk pelanggaran lalu lintas, namun tetap memberikan kesempatan bagi pemilik kendaraan untuk memperbaiki kesalahannya sebelum tindakan yang lebih keras diambil.

Di Jepang, prosedur penertiban kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan administratif diawali dengan serangkaian peringatan dan kesempatan untuk melakukan regularisasi dokumen. Penyitaan kendaraan hanya dilakukan sebagai langkah terakhir setelah berbagai upaya persuasif gagal dilakukan.

Amerika Serikat, melalui sistem yang berbeda di tiap negara bagian, umumnya menerapkan sistem poin pelanggaran yang ketat, namun penyitaan kendaraan biasanya hanya dilakukan untuk kasus-kasus serius seperti mengemudi dalam kondisi mabuk atau pelanggaran berulang yang membahayakan keselamatan publik.

Dr Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pernah mengatakan, ”Kita perlu mencontoh negara-negara maju dalam hal proporsionalitas sanksi. Penegakan hukum bukan semata-mata soal ketegasan, tetapi juga soal keadilan dan ketepatan.”

Kebijakan penyitaan kendaraan berdampak langsung pada kehidupan ekonomi masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang mengandalkan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi sekaligus mata pencaharian. Data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan bahwa lebih dari 70% pemilik sepeda motor di Indonesia menggunakannya untuk keperluan produktif.

Penyitaan kendaraan tanpa mekanisme peringatan yang memadai berpotensi menciptakan masalah sosial baru. Dr Faisal Basri, ekonom senior, mengingatkan, ”Kebijakan publik harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonominya. Penyitaan kendaraan bermotor yang menjadi alat produksi masyarakat kecil bisa berdampak pada peningkatan angka kemiskinan.”

Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini justru mendorong ketertiban administratif yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat luas. Kepatuhan terhadap regulasi kendaraan bermotor akan meningkatkan penerimaan negara dari pajak kendaraan, yang kemudian bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih baik.

Kebijakan penyitaan kendaraan juga membuka celah bagi praktik pungutan liar dan penyalahgunaan wewenang. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, oknum aparat bisa memanfaatkan momentum operasi penertiban untuk meminta ”uang damai” dari pengendara yang takut kendaraannya disita.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sektor transportasi dan lalu lintas masih menjadi salah satu area rawan praktik korupsi kecil (petty corruption). Temuan ICW menunjukkan bahwa sekitar 60% kasus suap di jalanan melibatkan petugas lalu lintas dan pengendara yang melanggar aturan.

Prof Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia, menyatakan, ”Kebijakan yang terlalu keras tanpa mekanisme pengawasan yang memadai justru bisa kontraproduktif. Alih-alih meningkatkan ketertiban, yang muncul malah praktik-praktik ilegal di lapangan.”

Penegakan hukum yang efektif membutuhkan keseimbangan antara ketegasan dan keadilan. Kebijakan tilang baru, khususnya penyitaan kendaraan, perlu diimbangi dengan edukasi yang memadai dan kesempatan bagi masyarakat untuk memperbaiki kesalahannya.

Dr Todung Mulya Lubis, pengacara senior bidang HAM, mengingatkan bahwa ”prinsip due process of law harus tetap dijunjung tinggi dalam setiap tindakan penegakan hukum, termasuk dalam hal penertiban lalu lintas.” Masyarakat berhak mendapatkan peringatan yang memadai dan proses yang transparan sebelum kendaraannya disita.

Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain: (1) Memberikan masa sosialisasi yang cukup sebelum penerapan penuh kebijakan; (2) Menyediakan mekanisme peringatan berjenjang sebelum penyitaan; (3) Membuka layanan one-stop service untuk regularisasi dokumen kendaraan; dan (4) Menerapkan sistem pengawasan terhadap petugas yang melakukan operasi penertiban.

Aturan tilang baru, termasuk kebijakan penyitaan kendaraan, memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan ketertiban dan keselamatan lalu lintas. Namun, implementasinya perlu mempertimbangkan aspek keadilan, proporsionalitas, dan dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat.

Penegakan hukum yang baik tidak hanya diukur dari ketegasannya, tetapi juga dari kemampuannya menciptakan keadilan substantif. Kebijakan tilang yang ideal adalah yang mampu mendorong kepatuhan hukum tanpa menciptakan beban berlebihan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.

Sudah saatnya Indonesia mengembangkan pendekatan penegakan hukum lalu lintas yang lebih komprehensif, dengan memperhitungkan aspek edukasi, pencegahan, dan rehabilitasi, tidak semata-mata mengandalkan pendekatan punitif. Dengan demikian, kebijakan tilang baru bisa menjadi solusi ketertiban lalu lintas, bukan ancaman bagi pengendara. (Danto Herdianto)

Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *