Indonesia Darurat Sampah Makanan, Benarkah?

RADAR TASIKMALAYA – Selama ini pernahkah kita membayangkan berapa banyak makanan yang terbuang dan berakhir menjadi sampah? Sampah makanan mungkin masih dianggap masalah sepele bagi banyak orang. Padahal, sampah makanan berkontribusi besar terhadap total timbulan sampah setiap harinya.

Sampah makanan atau dikenal dikenal dengan istilah “food waste”, menurut Food and Agriculture and Organization of the United Nations, merujuk pada semua makanan yang terbuang meskipun seharusnya masih layak dikonsumsi, misalnya jika makanan di lemari es yang kita miliki basi karena kita tidak mengkonsumsinya tepat waktu, atau kita mengambil terlalu banyak makanan di piring dan membuang sisa makanan tersebut daripada mengonsumsinya nanti.

Sampah makanan terjadi saat proses ritel dan konsumsi akhir, serta berkaitan dengan perilaku pedagang dan konsumen.  Termasuk contoh dari sampah makanan adalah makanan sisa dari restoran, supermarket, atau rumah tangga; makanan yang dibuang karena tidak memenuhi persyaratan estetika; dan makanan yang kedaluwarsa karena kesalahan dalam perencanaan pembelian. Food waste tidak hanya merupakan kesalahan teknis dalam rantai pasokan, tetapi juga sebagai representasi pemborosan yang dihasilkan oleh manusia.

Selain “food waste”, kita juga mengenal istilah “food loss”. Food and Agriculture Organization (FAO) , mendefinisikan food loss sebagai penurunan kuantitas atau kualitas makanan yang terjadi di sepanjang rantai pasok pangan dari tahap panen (atau penyembelihan/penangkapan), tetapi tidak termasuk pada tingkat ritel. Dengan kata lain, food loss terjadi selama proses produksi, pascapanen, penyimpanan, transportasi, dan pengolahan sebelum makanan mencapai konsumen.

Faktor infrastruktur atau teknis seperti kesalahan dalam menangani hasil panen, kondisi penyimpanan yang buruk, peralatan yang tidak memadai, atau cuaca ekstrim sering menyebabkan penurunan ini.

Artikel ini akan lebih memfokuskan terhadap masalah sampah makanan (food waste) yang seharusnya dapat kita kendalikan. Sampah makanan perlu kita kendalikan karena menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak tersebut tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga meluas ke aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat.

Sampah makanan yang dibuang sembarangan dapat mencemari tanah, air, dan udara. Cairan lindi atau “leachate” yang dihasilkan oleh sampah organik yang membusuk di tempat pemrosesan akhir (TPA) dapat meresap ke tanah dan mencemari air tanah serta sungai. Jika dibiarkan terbuka, dekomposisi sampah makanan juga menghasilkan bau tidak sedap dan menarik kehadiran hewan reservoir penyakit seperti tikus serta vektor penyakit seperti lalat. Dampaknya, kehadiran lalat sebagai vektor penyakit dapat meningkatkan penularan penyakit seperti diare, tipus dan sebagainya.

Di sisi lain, penumpukan sampah makanan yang kemudian membusuk menghasilkan gas metana (CH_4) yang jauh lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida (CO_2) dalam meningkatkan efek rumah kaca. Berdasarkan studi internasional, sekitar 8-10 persen emisi gas rumah kaca global dihasilkan dari sampah makanan terbuang.

Metana berasal dari proses anaerobik di TPA dan tidak hanya mempercepat perubahan iklim, tetapi juga memperburuk kualitas udara di sekitar TPA. Setiap kilogram sampah makanan dapat meningkatkan volume limbah organik dan emisi karbon yang cukup besar.

Sampah makanan menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan baik bagi masyarakat maupun negara. Per rumah tangga, nilai ekonomi dari bahan pangan yang terbuang sia-sia dapat diestimasi rata-rata sebesar USD 18 setiap minggunya, yang mencakup biaya produksi, distribusi, tenaga kerja, dan energi.

Penumpukan sampah makanan dikaitkan dengan ketimpangan distribusi pangan. Di satu sisi terjadi surplus dan pembuangan pangan, sedangkan di sisi lain masih banyak kelompok masyarakat yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Bahkan lebih jauh lagi, penumpukan sampah makanan juga mengancam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya pada aspek konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab serta pengentasan kelaparan. Untuk meningkatkan efisiensi pangan, menjamin akses yang adil, dan mengurangi dampak lingkungan, diperlukan kebijakan dan praktik manajemen sampah makanan yang efisien.

Pada tahun 2020, Indonesia telah menunjukkan sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat kedua setelah Saudi Arabia, sebagai negara yang menghasilkan sampah makanan terbesar kedua di dunia. Laporan Food Waste Index 2021 dari United Nations Environment Programme (UNEP) menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara, dengan 20,93 juta ton sampah makanan dihasilkan per tahunnya.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total timbulan sampah pada tahun 2024 yang penulis akses pada tanggal 6 November 2025 sebanyak  36.660.477,03 ton/tahun. Dari total tersebut, ternyata komposisi sampah terbesar di Indonesia adalah sampah sisa makanan yaitu 38,08 persen.

Data yang sudah disebutkan tersebut, memperlihatkan kepada kita semua bagaimana kondisi sampah makanan sudah manjadi masalah darurat di negara kita. Lantas, bagaimana peran kita untuk dapat mengendalikan produksi sampah makanan? Pengendalian sampah makanan dapat dilakukan melalui berbagai strategi, seperti pendekatan perilaku, kebijakan, inovasi teknologi, serta manajemen sirkular.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perilaku masyarakat sangat mempengaruhi volume sampah makanan, sehingga kampanye edukasi dan peningkatan kesadaran (awareness campaign) diharapkan secara efektif dapat mengurangi sampah makanan, terutama jika melibatkan norma sosial dan edukasi ke semua lapisan masyarakat.

Hal yang paling penting dilakukan adalah mengedukasi diri sendiri serta berkomitmen untuk menghabiskan makanan yang kita konsumsi. Pada tahap konsumsi, kita juga dapat mengurangi sampah makanan dengan melakukan manajemen makanan atau dikenal dengan istilah “food preparation”. Konsep tersebut akan menjadi panduan atau pedoman bagi untuk menyusun list daftar makan yang akan kita olah sehingga sehingga kita dapat mengurangi sampah makanan di rumah.

Pengembangan kebijakan publik dan regulasi mengenai sampah makanan juga diperlukan seperti penetapan target pengurangan di tingkat nasional, pelaporan limbah pangan, dan insentif untuk donasi atau redistribusi makanan, diharapkan  mampu menghasilkan perubahan sistemik. Perlu juga diperkuat kolaborasi antara pemerintah, organisasi advokasi lingkungan, dan sektor swasta melalui kampanye sosial media, lobbying, serta inisiatif akar rumput.

Pengelolaan sampah makanan dapat dilakukan dengan integrasi teknologi, seperti proses daur ulang organik (komposting dan biogas), serta inovasi dalam logistik distribusi makanan untuk meminimalkan kelebihan stok. Circular Economy menjadi model penting dalam pengelolaan sampah makanan, dengan prinsip recyle, reuse, dan reduce untuk memperpanjang siklus hidup makanan.

Di samping itu, pengelolaan di sektor industri dan rumah tangga juga perlu diperhatikan. Praktik di restoran atau industri makanan, seperti pengendalian porsi penyajian dan pemanfaatan sisa makanan, sangat penting untuk mengurangi limbah pangan.

Dalam rantai produksi dan konsumsi, sistem audit, pencatatan, dan pelaporan sampah makanan sangat disarankan untuk memantau dan menetapkan target pengurangan sampah makanan. Dengan melakukan berbagai upaya tersebut, terutama dimulai dari diri sendiri semoga sampah makanan di Indonesia dapat dikurangi. (Nissa Noor Annashr SKM MKM)

Penulis merupakan Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *