RADAR TASIKMALAYA – Beberapa pekan terakhir, keluhan tentang naiknya harga sembako terdengar di mana-mana. Dari pasar tradisional di Tasikmalaya sampai ke obrolan warung kopi, keluhan itu satu nada: telur naik, beras naik, cabai naik, semuanya naik. Ibu-ibu mulai berhitung ulang belanja harian, pedagang kecil mengeluh omzet menurun, dan para buruh mulai mengelus dada. Bagi mereka, kenaikan harga sembako bukan sekadar data statistik inflasi, melainkan dentuman langsung ke dapur rumah tangga.
Pertanyaannya sederhana: mengapa harga sembako kembali meroket padahal pemerintah sedang gencar meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG)? Apakah program yang sejatinya mulia ini justru sedang menekan harga pasar?
Kita perlu berhati-hati menuduh, tetapi juga jujur membaca kenyataan. Sejumlah daerah, seperti Palembang dan Lampung, sudah melaporkan adanya kenaikan tajam pada komoditas telur ayam dan daging akibat peningkatan permintaan dari dapur MBG. Pemerintah daerah setempat bahkan mengakui bahwa sebagian pasokan terserap untuk memenuhi menu makan bergizi di sekolah-sekolah. Dalam skala lokal, efek ini bisa terasa signifikan. Ketika permintaan meningkat mendadak sementara produksi belum bertambah, pasar akan bereaksi dengan menaikkan harga. Hukum dasarnya sederhana, tapi dampaknya bisa meluas.
Namun kita juga tak boleh menutup mata bahwa kenaikan harga sembako kali ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh MBG. Banyak faktor lain yang saling menumpuk. Cuaca yang tidak menentu mengganggu hasil panen, biaya pupuk dan pakan ternak naik, ongkos transportasi membengkak, dan distribusi logistik di beberapa wilayah masih tersendat. Semua itu membentuk kombinasi tekanan yang membuat harga bahan pokok merayap naik. Dalam situasi semacam ini, tambahan permintaan dari program besar pemerintah seperti MBG bisa menjadi percikan kecil yang menyulut api besar di pasar.
Ada pula faktor perilaku. Ketika isu kenaikan harga menyebar, sebagian pedagang memilih menahan stok, menunggu harga lebih tinggi. Di sisi lain, konsumen panik membeli lebih banyak, khawatir harga akan naik lagi. Pasar menjadi arena psikologis yang sensitif, di mana persepsi bisa lebih berpengaruh daripada produksi. Dalam ruang sempit antara kebutuhan dan ketakutan, harga bisa melambung tanpa alasan logis yang kuat. Maka tak heran, dalam konteks ini, MBG sering dijadikan ”kambing hitam” paling mudah—karena terlihat besar, langsung menyentuh pangan, dan punya dana negara di belakangnya.
Padahal jika dicermati, volume penyerapan pangan untuk MBG secara nasional belum tentu sebesar itu dibanding total konsumsi rakyat Indonesia. Tapi karena distribusinya bersifat terpusat dan berlangsung bersamaan di banyak daerah, efek psikologisnya terasa kuat. Apalagi jika pemerintah daerah tidak menyiapkan sistem pasokan khusus bagi dapur MBG, melainkan langsung menyerap dari pasar umum. Di sinilah masalahnya: ketika negara ikut bersaing membeli sembako di pasar rakyat, harga pasti bergejolak.
Sebenarnya, secara konsep, MBG adalah program yang baik dan sangat dibutuhkan. Ia menjamin anak-anak sekolah mendapatkan asupan bergizi, menekan angka stunting, dan menumbuhkan kesadaran gizi sejak dini. Namun dalam praktik, kebijakan besar yang menyentuh pasar pangan harus direncanakan dengan matang, terutama dalam hal rantai pasok. Program makan gratis idealnya berjalan paralel dengan program penguatan petani lokal—bukan malah berebut bahan pokok yang sama dengan konsumen umum.
Kita bisa belajar dari negara lain. Ketika pemerintah Amerika meluncurkan program ”free lunch” di sekolah, mereka melibatkan petani lokal melalui kontrak tetap. Petani mendapat jaminan pasar, pemerintah mendapat stabilitas pasokan, dan harga pasar tidak terguncang. Begitu pula di Jepang, setiap kebijakan makan sekolah selalu diiringi koordinasi antarsektor pertanian, perdagangan, dan pendidikan. Artinya, intervensi pasar boleh saja dilakukan, asal berbasis data dan terencana.
Di Indonesia, kita masih sering menempuh jalan pintas: program sudah jalan, baru kemudian pasar bereaksi. Koordinasi antara dinas pendidikan, pertanian, perdagangan, dan bulog sering kali lemah. Akibatnya, kebijakan mulia di atas kertas justru menimbulkan efek domino yang merugikan masyarakat kecil. Kita menyaksikan fenomena klasik: negara bermaksud membantu rakyat kecil, tapi akhirnya menambah beban hidup mereka karena salah membaca ekosistem pasar.
Dalam konteks Tasikmalaya dan daerah sekitarnya, kenaikan harga sembako sebenarnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu. Kenaikan beras, minyak goreng, cabai, hingga telur ayam terus menekan daya beli masyarakat. Sementara itu, pendapatan sebagian besar masyarakat, terutama sektor informal, tidak ikut naik. Jika kondisi ini dibiarkan, potensi inflasi pangan bisa menimbulkan efek sosial yang serius. Tidak menutup kemungkinan akan muncul keresahan di lapangan, terutama menjelang akhir tahun ketika kebutuhan rumah tangga meningkat.
Oleh sebab itu, pemerintah daerah dan pusat perlu segera memperkuat sistem pengawasan harga serta memastikan pasokan bahan pokok tersedia secara merata. Program MBG sebaiknya diiringi dengan skema pembelian langsung dari petani atau peternak lokal, bukan melalui pasar umum. Mekanisme kontrak tetap akan membantu menjaga stabilitas harga, sekaligus memberdayakan produsen kecil di daerah. Selain itu, perlu dilakukan distribusi yang lebih efisien agar biaya logistik tidak menjadi alasan klasik setiap kali harga naik.
Namun yang paling penting adalah kejujuran dan transparansi. Rakyat berhak tahu seberapa besar MBG menyerap komoditas pangan, dan dari mana sumbernya. Tanpa data terbuka, publik akan terus berspekulasi, dan pasar akan semakin tak menentu. Transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kebijakan negara.
Kenaikan harga sembako adalah alarm yang tak bisa diabaikan. Ia bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Setiap kebijakan, betapapun mulianya, akan kehilangan makna bila pelaksanaannya justru memperlebar jarak antara rakyat kecil dan kebijakan negara. Maka, di tengah euforia program makan bergizi gratis, kita perlu memastikan satu hal: jangan sampai dapur negara kenyang, tapi dapur rakyat malah kelaparan. (Aye Rakhmat Hidayat)
Penulis adalah esais, kolumis, dan cerpenis Tasikmalaya.












