Donald Trump, Si Konservatif yang Proteksionis

Politik37 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Donald Trump kembali terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Ini kemenangan kedua kalinya setelah dia terpilih untuk jabatan presiden Amerika pertama periode 2017-2021. Pada Pemilu yang digelar Selasa 5 November 2024 Donald Trump berkompetisi sengit dengan Kamala Harris dari Partai Demokrat. Donald Trump mendapatkan 294 electoral votes atau 72.623.882 suara atau mendapatkan 50,9 persen, sedangkan Kamala Harris mendapatkan 226 electoral votes atau 67.927.989 atau 47,6 persen .

Pemilu di Amerika selalu menjadi perhatian dunia. Sebagai negara adidaya yang memegang kepemimpinan polarisasi kekuatan politik global, kebijakan luar negeri Amerika tentu akan sangat berdampak pada konstelasi politik dan ekonomi global, apalagi polarisasi kekuatan politik global tidak hanya dimiliki oleh Amerika. Rusia dan Cina adalah negara yang bangkit dan mencoba menandingi kedigdayaan Amerika dengan mencoba membentuk aliansi yang membentuk polarisasi kekuatan politik, ekonomi dan militer. Maka meneropong siapa yang akan memimpin Amerika adalah menganalisa kebijakan politik luar negeri Amerika dan masa depan kontelasi politik dan ekonomi global ke depan.

Di Amerika sejak tahun 1854 pergantian tampuk kekuasaan bergilir antara partai Republik dan partai Demokrat. Kedua partai ini secara ideologi memiliki pandangan politik yang berbeda. Partai Republik adalah partai konservatif-liberal sayap kanan yang berbasis pada tradisi, norma dan nilai-nilai fundamental kemudian berkembang menjadi representasi supremasi kulit putih di Amerika (white supremacy).

Gagasan dan kebijakan partai cenderung protektif dalam melindungi kepentingan internal Amerika khususnya identik dengan menjaga kepentingan kepentingan kulit putih. Representasi ini terlihat ketika Donald Trump menjadi presiden di periode 2017-2021, dengan mengusung program “american first” Trump sangat kentara menarasikan pembatasan imigran yang datang ke Amerika sebagai sumber masalah, seperti kriminalitas, anacaman kebudayaan dan mempersempit peluang kerja bagi warga asli Amerika. Amerika memang menjadi salah satu negara penampung imigran besar, menurut laporan Voice of America (VOA)  populasi imigran di Amerika mencapai 14 persen dari jumlah penduduk Amerika dan imigran terbesar berasal dari  negara-negara Hispanik.

Di era Trump inilah lahir kebijakan proteksionis, pembatasan dan isolasi yang membatasi dan mengawasi para imigran. Kebijakan Trump ini dituding sebagai kebijakan rasialis yang mengancam nilai nilai demokrasi di Amerika. Kebijakan Trump dianggap penuh kebencian dan membangkitkan politik rasial dengan menempatkan warga kulit putih sebagai kelompok Masyarakat yang superior dan menempatkan kelompok lain sebagai warga kelas dua.

Berbeda dengan Partai Demokrat misal ketika Joe Biden menjadi presiden, narasi dan kebijakan Biden terlihat sangat pro imigran. Biden mengatakan imigran secara faktual telah berkontribusi terhadap pembangunan industri dan sektor informal di Amerika, Adapun soal kriminalitas dan ancaman kebudayaan adalah persoalan alamiah yang pasti dihadapi di berbagai belahan negara. Soal imigran Biden dan Trump, Demokrat dan Republik ibarat dua kutub yang berbeda.

Di bidang ekonomi kebijakan Trump tidak akan jauh berbeda dengan kebijakannya ketika menjadi Presiden periode pertama. Tradisi kebijakan Republik secara umum adalah melakukan proteksi, termasuk proteksi ekonomi. Dalam hal perang dagang dengan Cina nampaknya partai Republik dan Demokrat satu pemahaman. Dibanding membangun kerja sama dan aliansi dagang dengan Cina misalnya, baik Demokrat ketika masa pemerintahan Joe Biden dan Republik pada masa pemerintahan Trump pertama sama sama melakukan proteksi dengan menaikan tarif impor barang barang dari Cina.

Dikutip dari VOA presiden Joe Biden melipat-gandakan bea masuk kendaraan Listrik asal Cina sebanyak 100 persen. Pungutan pajak untuk produk baja dan alumunium dinaikan sebanyak 25 persen. Menurut laporan VOA baik Biden maupun Trump mengatakan bahwa mereka sama sama ingin menghukum Cina atas praktek dagang yang melanggar aturan internasional.

Dalam hal bantuan keuangan, dukungan militer dan dukungan diplomatik kepada Israel baik Demokrat atau Republik kebijakan Amerika atas Israel juga selalu sama, yakni bantuan ekonomi dan dukungan militer penuh. Dukungan ini sudah menjadi “tradisi” Amerika karena begitu kuatnya lobi organisasi Yahudi AIPAC  (American Israel Public Affairs Committee) di Amerika yang mampu mempengaruhi semua politisi baik dari Demokrat atau Republik.

Secara ideologis Partai Demokrat memiliki pandangan yang terbuka, moderat dan inklusif. Obama seorang warga kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika yang dicalonkan Demokrat dan terakhir Kamala Harris yang dicalonkan Demokrat melawan Donald Trump adalah simbol bahwa partai demokrat memegang teguh nilai nilai inklusif. Kamalla memiliki ibu adalah seorang India dan ayahnya keturunan Jamaika.

Narasi dan argumentasi politik pada setiap kampanye  Pemilu di Amerika selalu terdikotomi pada dua kutub perbedaan ideologi. Partai Republik berpegang pada nilai nilai konservatif, tradisi dan norma norma fundamental sedangkan partai Demokrat berpegang pada prinsip kebebasan, rasionalitas dan populisme yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Pada beberapa isu terlihat bagaimana posisi dan sikap politik kedua partai. Isu aborsi misalnya Demokrat memiliki pandangan untuk melegalkan aborsi karena perempuan dianggap memiliki hak untuk menentukan punya anak atau tidak, sedangkan Republik tidak setuju melegalkan aborsi. Dalam perkawinan sesama jenis, Demokrat mendukung LGBT dan melegalkan perkawinan sesama jenis, sedangkan Republik tidak menyetujui perkawinan sesama jenis.

Menarik melihat Amerika sebagai sebuah negara adi kuasa. Mendalami dinamika politik khususnya mempelajari sikap politik kedua partai besar Demokrat dan Republik. Banyak hal dari sudut pandang dan sikap politik yang berbeda, tetapi mereka akan bersatu dan satu suara atas beberapa isu, yang paling kentara adalah sikap satu suara soal posisi ekonomi dan dagang Cina yang dianggap sangat mengancam Amerika dan sikap mereka atas dukungan penuh terhadap Israel. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)

Penulis merupakan dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *