RADAR TASIKMALAYA – Negara pada hakikatnya adalah sebuah mesin atau perkakas. Seperti sebuah palu atau komputer, negara tidak memiliki kehendak atau tujuannya sendiri. Nilai dan fungsinya ditentukan sepenuhnya oleh siapa yang mengendalikannya dan untuk tujuan apa ia digunakan. Demikian salah satu pandangan skeptis teori negara sebagai alat atau instrumentalis, yang dipelajari dalam mata kuliah Ilmu Negara.
Fokus utama dari teori ini adalah pertanyaan krusial: Cui bono? atau “Siapa yang diuntungkan?”. Ia mengajak kita untuk melihat melampaui retorika resmi tentang “kepentingan nasional” atau “kebaikan bersama” dan menyelidiki kelompok mana dalam masyarakat yang secara sistematis mendapat manfaat dari tindakan-tindakan negara.
Jawabannya, menurut para penganut teori ini, hampir selalu sama: negara adalah alat di tangan kelompok yang paling kuat dan dominan dalam masyarakat. Kelompok dominan ini menggunakan aparat negara, seperti hukum, polisi, tentara, dan birokrasi, untuk memajukan kepentingannya sendiri dan mempertahankan posisinya di puncak hierarki sosial. Pandangan instrumentalis ini memiliki implikasi yang sangat radikal. Ia menyiratkan bahwa institusi-institusi negara yang tampak netral, seperti parlemen pada kenyataannya secara inheren bias.
Akh, itu teori. Ilmu Negara fokus pada hal abstrak, filosofis, dan tentu penuh spekulasi. Paling tidak sebatas hipotesis dalam ranah keilmuan (epistemologis). Mari sejenak mendarat di ranah ilmu hukum (tata negara dan administrasi negara). Sebuah negara mengklaim tujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Konstitusinya menyatakan demikian.
Kemudian dibentuk perangkat hukum administrasi negara, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN). Perpres ini mengatur pembentukan BGN sebagai lembaga pemerintah di bawah Presiden yang bertugas untuk melaksanakan pemenuhan gizi nasional, termasuk koordinasi kebijakan, pemantauan, dan pengawasan. BGN dibentuk untuk menciptakan pelayanan dan pemenuhan gizi nasional yang terencana dan sistematis. Guna menciptakan generasi sehat dan cerdas (generasi emas) sesuai cita hukum negara kesejahteraan.
Secara formal, Perpres ini berlaku untuk semua orang. Teori organisme mungkin melihatnya sebagai cara negara memberi nutrisi untuk kesehatan seluruh tubuh warganya. Teori Negara sebagai Perangkat akan fokus pada apakah prosedur pembentukannya sudah benar.
Namun, Teori Negara sebagai Alat akan langsung bertanya: siapa yang merancang Perpres BGN ini? Siapa yang pada akhirnya akan menikmati kucuran anggaran yang menghabiskan separuh anggaran Pendidikan? Siapa yang bisa mengakses dan menjadi mitra (pemilik SPPG), karena punya jejaring politik, akses modal/perbankan dan sedikit “kekebalan” pengawasan? Jika jawabannya adalah orang atau badan usaha (Yayasan?) yang merupakan lingkaran terdekat penguasa (koalisi) kita makin percaya pada spekulasi, bahwa negara sebagai alat bagi golongan elit.
Dan makin valid apa yang kemudian disebut hukum besi oligarki (Iron Law of Oligarchy). Hukum ini menyatakan bahwa tidak peduli seberapa demokratis sebuah organisasi pada awalnya, ia secara tak terhindarkan akan didominasi oleh sekelompok kecil pemimpin, atau sebuah elit.
Varian Marxis dari teori instrumentalis lebih radikal. Bahkan negara kesejahteraan (welfare state) dengan layanan sosialnya dipandang dari sudut pandang ini sebagai sekadar sebuah strategi. Tunjangan pengangguran atau layanan kesehatan publik/JKN, bahkan MBG sekalipun bukanlah bukti kebaikan negara, melainkan konsesi yang diberikan melalui negara untuk meredam potensi “revolusi” dan untuk memastikan tersedianya tenaga kerja yang sehat dan produktif di kemudian hari.
Jika kepala kita memandang negara sebagai alat, memiliki implikasi yang mendalam dan sering kali bersifat pesimistis. Pertama, ia menumbuhkan skeptisisme radikal terhadap politik formal. Pemilu, perdebatan di parlemen, dan pergantian partai yang berkuasa dianggap sebagai pertunjukan sandiwara (political theatre) yang tidak mengubah struktur kekuasaan yang sesungguhnya. Perhatian seharusnya tidak difokuskan pada siapa yang memenangkan pemilu, tetapi pada kekuatan-kekuatan struktural (kepemilikan modal, jaringan elit) yang membatasi pilihan-pilihan bagi siapa pun yang berkuasa.
Kedua, teori ini mendorong analisis yang berfokus pada “kepentingan”. Ketika melihat SPPG, Ia mengajarkan kita untuk selalu bertanya: Siapa yang diuntungkan secara material dari kebijakan ini? Siapa yang mendanai kampanye politisi ini? Pendekatan ini mengarahkan penelitian pada jaringan kekuasaan yang tersembunyi, lobi bisnis, dan fenomena “pintu berputar” (revolving door) di mana pejabat publik pindah bekerja untuk perusahaan yang sebelumnya mereka regulasi (isu politisi pemilik SPPG). MBG, Cui Bono? (Dadih Abdulhadi)
Penulis merupakan Pengampu Mata Kuliah Ilmu Negara FH UMB Tasikmalaya