RADAR TASIKMALAYA – Lagu atau kawih “Ayang-ayang Gung”, seperti yang kita ketahui sering dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain atau sebagai lagu “Kaulinan Urang Sunda”. Lirik dalam lagu ini, tidak sekadar kreativitas atau pengisi waktu luang bagi anak-anak, tetapi memiliki makna filosofi yang luar biasa.
Setiap kaulinan melambangkan kesadaran individual, kesadaran sosial, dan kesadaran spiritual. Lagu ini merupakan sebuah lagu yang kurang lebih menceritakan seorang wedana bernama Ki Mas Tanu yang mengkhianati bangsanya sendiri demi kekuasaan yang semu. Dr H Ihwan D Natapradja (Girang Pupuhu Sawala Kandaga Kalang Sunda) mengatakan bahwa nama Ki Mas Tanu di balik lirik lagu Ayang-ayang Gung sebagai refleksi kritik nasihat dan sindiran kepada menak (bangsawan) pada jaman kompeni.
Mohamad Zaini Alif SSn MDs menerangkan, kata-kata dalam lirik lagu tersebut sarat makna. Makna dari bait tersebut, sebagai sindiran terhadap para penjilat dan orang yang suka ber-KKN yang ingin mendapatkan kedudukan atau jabatan. Perbuatan tak ubahnya bagai ngadu pipi jeung nu ompong. Bila kita renungkan, lagu itu merupakan protes sarkastis terhadap tingkah laku seorang petualang politik, Ki Mas Tanu, yang menghalalkan segala cara demi ambisinya. Terlepas apakah tokoh itu benar-benar ada atau fiktif.
Seorang tokoh menak (bangsawan) bernama Ki Mas Tanu yang menjadi wadana dia ingin naik pangkat (memperoleh jabatan yang lebih tinggi) diangkat menjadi Kanjeng Dalem alias Tumenggung alias Bupati, namun bertingkah olo-olo (tidak beretika), dan karena kedekatannya dengan kompeni (Belanda) banyak masyarakat yang giruk (membencinya).
Dengan segala gerak akrobatik politiknya menghalalkan segala cara, agar langkah politiknya lancar tidak terhambat sedikit pun ke Batavia (sekarang Jakarta). Ayang-ayang Gung bila ditinjau dari isinya memang berisi tentang kritik yang lumayan pedas. Kritikan itu, terutama ditujukan kepada menak atau pejabat yang gumede, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Cerita Ki Mas Tanu dalam lirik lagu “Ayang-ayang Gung” ini sepertinya akan hidup lama di Tatar Sunda atau di Indonesia pada umumnya, di mana orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Menak atau pejabat yang mendapat kedudukan prestise dalam masyarakat malah sering kali melupakan masyarakat dan sibuk mengejar kekuasaan.
Di sisi lain menak ingin dihargai sebagaimana mestinya. Ironi memang, karena itulah yang terjadi. Lihat saja perilaku calon wakil rakyat maupun calon pemimpin atau pejabat kita yang tak jarang melakukan perbuatan rendah, tidak beretika dan melanggar hukum, suap-money politic-fitnah-nepotisme-anarki. Lempa lempi lempong Ngadu pipi jeung nu ompong Jalan ka Batawi ngemplong. Cuma bedanya dulu dekat dengan kompeni serang merapat ke Oligargi. (Dr Ir Suhardjadinata MP)
Penulis adalah Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi