Dari TPS, sampah diangkut ke TPS 3R. TPS 3R yaitu Tempat Penampungan Sementara yang menjadi lokasi pemilahan dengan tujuan Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (daur ulang). Seringkali fungsi TPS dan TPS 3R dilakukan di suatu tempat yang sama. Dari TPS ini sampah dibawa ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), yaitu tempat pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
TPST menyelenggarakan sistem proses sampah yang lebih kompleks dibandingkan dengan TPS 3R, karena TPST mengelola sampai pada pemrosesan akhir sampah sehingga aman untuk dikembalikan ke media lingkungan.
Keberadaan TPST seperti yang disebutkan dalam Permen No. 2 tahun 2013 pasal 32 harus memenuhi persyaratan teknis seperti luas TPST lebih besar dari 20.000 m2; Penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA; Jarak TPST ke pemukiman terdekat paling sedikit 500 m; Pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 31; dan, Fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu, dan fasilitas penunjang serta zona penyangga. Dari TPST ini sampah dibawa ke terminal akhir, yaitu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). TPA merupakan tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Perbedaan signifikan TPST dengan TPA adalah pada kebijakan sistem pengelolaan sampahnya. TPST melakukan berbagai kegiatan pengolahan sampah seperti kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah, sedangkan TPA melakukan pengurugan dengan metode landfill yang dikembangkan menjadi controlled landfill dan sanitary landfill.
Sistem landfilling ini bukanlah yang ideal tapi tidak mungkin ditiadakan karena teknologi pengelolaan limbah tidak dapat menyingkirkan sampah secara menyeluruh, tidak semua limbah mempunyai nilai ekonomis untuk di daur ulang, teknologi pengolahan limbah seperti insinerator atau pengolahan secara biologi dan atau kimia tetap menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut, ada jenis limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia. (Damanhuri, 1995)
Skema yang lebih baik adalah sanitary landfill, yaitu lahan urug yang telah memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Sampah diletakkan pada lokasi cekung, kemudian dihamparkan dan dipadatkan. Dilanjutkan dengan dilapisi tanah penutup harian setiap hari. Lapisan ini dipadatkan kembali setebal 10 persen-15 persen dari ketebalan lapisan sampah untuk mencegah berkembangnya vektor penyakit, penyebaran debu, dan sampah ringan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Lalu pada bagian atas timbunan tanah penutup harian tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah penutup harian. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah. Bagian dasar konstruksi sanitary landfill dibuat lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) yang terbentuk dari proses penguraian sampah organik. Disiapkan juga saluran penyalur gas untuk mengolah gas metan yang dihasilkan dari proses degradasi limbah organik. Metode ini merupakan cara yang ideal namun memerlukan biaya investasi dan operasional yang tinggi.
Mengamati proses yang terjadi di TPA Ciangir di Kota Tasikmalaya, metode yang digunakan adalah open dumping yang diketahui masih menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Data pada tahun 2007 menyatakan bahwa 90 persen TPA dioperasikan dengan open dumping dan hanya 9 persen yang dioperasikan dengan sanitary landfill dan controlled landfill. Padahal, berdasarkan UU No. 18/2008 pada pasal 44 dan 45 tegas menyatakan bahwa pada tahun 2013 semua daerah harus memiliki TPA dengan sistem timbun (sanitary landfill). (Lihat Grafis I)
Sampah yang diproduksi domestic dan public yang terangkut tidak sampai 2/3 nya. Artinya masih ada sampah yang tidak terangkut ke TPA. Ada dua kemungkinan, pertama dan ini baik, sampah yang ada sudah disortir di TPS, TPS 3R, atau di TPST. Kemungkinan yang tidak baik adalah adanya terjadinya penumpukan sampah tidak terangkut ke TPA yang tersebar di TPS resmi maupun tidak resmi. Melihat beberapa titik yang masih ada tumpukan sampah, kemungkinan kedua lebih mungkin menjadi jawaban atas perbedaan angka-angka tersebut.