Adil-adilan

Politik160 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Pengertian adil secara linguistik berasal dari bahasa Arab dan pengertian menurut bahasa Indonesia: (1) Sama berat, tidak berat sebelah; Tidak memihak. (2) Sepatutnya; tidak sewenang-wenang. (3) Berpihak kepada yang benar; berpegang teguh pada kebenaran.

“Adil adalah menempatkan suatu perkara pada tempatnya.” kata seorang ustaz.

Kata Buya Hamka dalam Tasawuf Modern. “Keadilan yang dimaksud di sini ialah kepandaian mencampurkan ‘garam’ hidup dan mengendalikan diri, sehingga marah, syahwat, dan akal budi pun seimbang,” (Republika.com.)

Adil atau keadilan begitu ditunggu oleh seluruh rakyat dalam sebuah negara dilakukan oleh pemerintah. Adil dalam penegakkan hukum, ekonomi dan sosial. Realisasinya sangat ditunggu seusai pelantikan. Seperti menanti pembuktian atas janji politiknya yang diobral saat kampanye.

Dalam upaya menarik simpatik, membangun kepercayaan publik, menaikan elektabilitas, ada banyak strategi dilakukan sesuai kebutuhan “pasar” dengan melihat peta psikologis massa yang berkembang. Kecenderungan ini akan mengikuti fluktuasi selera publik yang setiap kali pemilu mengalami pergeseran.

Selalu ada tren baku yang tetap bertahan dalam setiap proses pemilihan umum. Untuk menguatkan elektabilitas, selalu ada upaya membangun pencitraan dengan mengklaim nilai-nilai luhur manusia, seperti; adil, jujur dan amanah. Ada juga simbol-simbol agama dipasang di baligo dan poster; backround masjid, adegan baca Al-Qur’an, pakai peci, sorban, tasbih dll.

Begitu kuatnya simbol-simbol tersebut bertahan selalu digunakan sebagai alat propaganda politik. Dalam kurun waktu yang begitu lama masih tetap diminati. Bahkan mungkin untuk hajat pemilu ke depan, pada 2024, bahkan bisa lebih lagi. Apakah karena simbol itu bertuah, dan dipercaya sebagai yang  mencirikan  kesalehan? Atau karena miskin gagasan?

Mungkin terobsesi menjadi yang sempurna. Tak heran ia memoles dirinya dan bercermin entah di sumur mana, entah di danau Legenda Yunani yang digunakan Narciscus saat berhias dan memuji dirinya, dan merasa orang paling rupawan. Sehingga saking mabuk memuji dirinya, ia rela tenggalam di telaga tersebut.

Dalam relasi yang kompleks dan multi interpretasi,  “rupawan” berkonotasi tidak sekadar lahiriah. Tidak sekadar enak dipandang mata. Namun lengkap, secara lahir dan batin. Jiwa dan raga. Peribahasa Sunda mengatakan, “Hade gogog, hade tagog”. Maka pengertiannya sama dengan nilai-nilai luhur manusia yang cakap parasnya, juga cerdas, jujur, adil, bijaksana, dan banyak lagi diksi tentang nilai sempurna manusia. Maka idiom-idiom dewa diemblem di bajunya dengan penuh keyakinan.

Peristiwa pemujaan terhadap diri, atau “pupujieun” akibat kebutuhan yang berelebihan untuk dipuji. Harapan dipuji merupakan kebutuhan dasar manusia. Seperti pernah disampaikan oleh Ian Anderson; “manusia pada dasarnya ingin diperhatikan dan dipuji”.

Keinginan yang berlebihan untuk dipuji membuat orang lupa diri. Walau nihil prestasi dan orang tidak menaruh respect. Akibatnya ia merana. Maka dibuatlah seolah ia punya prestasi. Maka dibangunlah opini dengan dongeng tidak logis untuk menggiring opini publik.

Karakter Narciscus tidak sekadar milik orang tertentu yang mengidap kelainan jiwa, tapi seseorang yang punya kepentingan dan tujuan tertentu, sangat mungkin bisa terjadi. Misalkan orang yang butuh support untuk meraih simpatik dari seseorang atau dari masyarakat.

Seorang ABG yang tengah mengincar lawan jenis, pasti ada sejuta cara yang dilakukan untuk menarik simpatik dari lawannya. Terlepas dari kurang percaya diri atau cukup nyali dalam melakukan pendekatan, ia butuh polesan untuk mengatrol kepercayaan dirinya. Sangat butuh semacam bobotoh bagi tim Persib yang lagi tandang. Ya, seorang atau sekelompok supporter untuk menyemangati dan memberi polesan terhadap dirinya.

Yang penting ratingnya naik di mata calon kekasihnya. Mungkin sedikit rekayasa yang masuk akal dilakukan. Segudang prestasi dinarasikan agar jelas terbaca. Mulai dari bobot, bebet, bibit dan lain sebagainya yang mengarah pada sebuah harga yang bisa dibandrol dengan maksimal agar laku dan dipercaya.

Impian menjadi dewa dan upaya pencapaian nilai-nilai ke-dewa-an (luhur budi) mustahil tanpa proses latihan atau ritual. Di dunia tasawuf ada proses ritual yang panjang untuk mencapai makom tersebut. Ada jalan (tarekat) yang rumit dan meletihkan harus dilewati. Dan itu dilakukan di bawah pengawasan dan bimbingan seorang guru mursyid yang telah disyahkan menjadi mursyid.

Konsep kesufian dalam upaya mencapai keluhuran budi, seperti jujur, adil dan amanah ada tahapan yang harus ditempuh. Maka mengosongkan perut, ritual wirid, khalwat merupakan proses yang tidak boleh tidak, harus dijalani. Pengosongan diri dari sifat tercela; iri, hasad, dendam dsb dibersihkan (takhalli). Setelah jiwa kosong kemudian mengisi kembali dengan sifat yang terpuji yang digerakan oleh akal dan ilmunya (tahalli), sehingga lahirlah manusia baru yang indah (jamal) dan sempurna (kamal). (Prof. Abu Bakar Aceh)

Salah satu makom dewa itu adil. Merupakan puncak pencapaian dari sebuah proses dan tidak gampang meraihnya.Tapi tidak mustahil bagi siapapun. Tentu dengan latihan yang keras dan kontinu. Bagaimana kemudian banyak orang yang merasa telah sampai ke makom itu, seperti yang dinarasikan di poster-poster dan ratusan baliho; adil, jujur, dan amanah, pada saat kampanye Pemilu atau Pilkada?

Tapi meskipun begitu, bagi seorang muslim sebenarnya harus bisa sampai ke makom itu. Banyak ritual yang seharusnya mampu membentuk karakter itu. Konsepsi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukankah telah jelas? Bahwa Allah menurunkan Nabi ke atas bumi untuk menyempurnakan ahlak? Bukankah adil, jujur dan amanah merupakan indikator akhlak yang mulia?

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR Al-Baihaqi dari Abu Hurairah RA).

Dari mulai salat, puasa dan zakat itu bukan sekadar rutinitas yang hanya untuk meraih pahala. Tapi itu semacam latihan untuk membangun karakter moral yang baik.

Aqimush sholah, innash sholata tanha ‘anil fahsya’i wal munkar”.  Artinya: Dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar”. (Al-Ankabut ayat 45). Dengan kata lain bahwa salat harusnya mampu menyempurnakan ahlak.

Jika setiap ritual ibadah dimaknai pesan-pesan hikmahnya, hampir semuanya mengarah pada pembentukan akhlak. Maka sudah semestinya seorang muslim itu berahlak baik. Sudah barang tentu diimplentasikan dalam perilaku sehari-hari, di manapun berada dan apapun jabatannya. Dari rakyat jelata sampai raja penghuni istana.

Ramah, dermawan, adil, jujur dan amanah tidak sekedar polesan dalam bangunan pencitraan untuk kepentingan elektabilitas, demi meraih dukungan kemenangan Pemilu. Bahwa budi luhur harus sudah jadi harta pusaka bagi setiap muslim yang taat. Semoga. (Yusran Nurlan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *