My Teacher Is Like A Mirror: Profesionalisme dalam Present Perfect Tense

Pendidikan319 Dilihat

RADAR TASIKMALAYAMY teacher is like a mirror (Andriani, 2014) adalah artikel ilmiah yang telah dipresentasikan dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Success Stories in English Language Teaching and Learning.

Tulisan yang hampir berusia sepuluh tahun itu menuturkan bahwa guru adalah cermin bagi siswanya. Cermin ini dibingkai oleh abstraknya profesionalisme, sehingga entah sudah berapa banyak peneliti yang fokus pada kajian ini dan mungkin menjadikannya seperti big data tempat berkumpulnya informasi yang besar dan beragam sehingga informasi itu akan terus berkembang. Adam Smith, seorang pelopor ekonomi modern, mengatakan dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations, bahwa ”Harga sebenarnya dari segala sesuatu adalah kerja keras dan kesulitan untuk mendapatkannya”. Jika ini menjadi analogi untuk profesionalisme maka serangkaian proses sudah harus ditempuh dengan sistematis dan kompleks dari jauh-jauh hari demi tujuan terlabelinya individu sebagai seorang profesional pada profesinya saat ini.

Mencermati pengertian profesionalisme, menurut KBBI, profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Orang yang profesional tersebut memiliki profesi yang dilandasi keahlian tertentu. Sekaitan dengan poin ini, menjadi seorang yang profesional di dunia kerja bukanlah perkara yang mudah. Tidak hanya keahlian dan pengetahuan saja yang penting dimiliki, namun kepemilikan atas kemampuan dan pemahaman untuk dapat memosisikan dirinya. Mungkin relevansi peribahasa ”di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” dapat menjadi pemodelan adaptasi kondisi budaya kerja yang harus diyakini terkait dengan konteks tersebut. Dari prinsip peribahasa ini juga dapat diilhami bahwa sebagai seseorang profesional adalah menjadi pribadi yang paham tanggung jawab pekerjaannya secara individu ataupun secara tim, serta mampu memfokuskan diri untuk mencapai tujuan lembaganya.

Pada konteks dunia pendidikan tinggi, seorang dosen pun tidak bisa keluar dari lingkaran istilah ini dan kolokasinya. Ia akan terikat dengan kualitas pendidikan tinggi sehingga kehadirannya mempengaruhi proses belajar mengajar dan juga kualitas lulusan yang mampu diserap oleh dunia usaha. Seorang dosen pun sejatinya telah memiliki irisan terarsir dengan keterampilan teknis dan pengabdian diri yang tidak terpisahkan. Brown (2000) memperkuat keberadaan dua unsur tersebut dengan menghadirkan technical knowledge, pedagogical skill, interpersonal skill, dan personal qualities dalam bukunya yang berjudul Teaching by Principle, sebagai unsur penting yang harus dimiliki.

Namun, saat ini profesionalisme tampaknya tidak benar-benar diresapi dalam jiwa pengenyam profesinya, ironis memang. Profesi hanya dieksploitasi untuk mendapatkan materi sebesar-besarnya sebagai luaran utama. Profesi di-flexingkan untuk euphoria hedonisme yang penuh prestise dalam budaya masyarakat yang terkesan immature dengan realita. Arogansi dan tidak mengindahkan etika muncul melanglang buana mencari market place, sehingga melupakan unsur pengabdian diri kepada masyarakat dengan hanya menyisakan pengabdian diri untuk diri sendiri sebagai tujuan utama. Yustisia (2023) dalam tulisannya berjudul ”Akar Masalah Joki Karya Ilmiah Dosen” yang dimuat pada surat kabar Kompas, menyatakan bahwa” Permasalahan joki publikasi merupakan permasalahan pelik, tidak semata-mata soal pelanggaran etis. Di dalamnya ada persoalan yang lebih elementer, yaitu rendahnya kemampuan dan minat riset.” Bukan hanya pernyataan itu saja yang terkuak dalam pemberitaan akhir-akhir ini, tetapi pemberitaan-pemberitaan lain yang tidak diinginkan pun menguak dengan membawa negative vibes untuk citra diri seorang dosen. Jika pernyataan-pernyataan ini adalah sembilu, maka hindarilah, sehingga tidak ada sayatan yang mengenai badan ataupun anggota tubuh lainnya.

Bahwa dosen adalah seorang profesional yang memiliki personal branding untuk menjadi teladan dalam sikap dan pengetahuan adalah komitmen nyata yang menjadi salah satu pijakan tangga menuju puncak tujuan profesi. Dosen adalah ilmuwan, dan pakar dalam bidangnya yang lurus dan tulus dengan tridhrama serta memiliki penunjang dalam profesinya. Profesi ini telah dipilih. Dipilih berarti sudah diputuskan. Diputuskan bearti sudah siap dengan segala hal yang harus dijalani kini. Sebuah tense dalam bahasa Inggris, Pesent Perfect Tense, tampaknya pas mengilustrasikan slot ini.

Present perfect tense adalah suatu bentuk kata kerja yang digunakan untuk menyatakan suatu aksi atau situasi yang telah dimulai di masa lalu dan masih berlanjut sampai sekarang (https://www.wallstreetenglish.co.id/) dan atau efeknya masih berlanjut. Pada aktivitasnya, akan ada pengalaman yang tercitrakan, akan ada sebuah perubahan, pencapaian hasil, atau bahkan akan banyak aktivitas yang belum terselesaikan. Hubungan kini dan masa lalu yang dimana dengan kondisi itu hasil menjadi lebih menarik daripada proses yang harus ditempuh.

Profesionalisme adalah proses yang berkelanjutan bermula dari sebuah komitmen pada profesi yang bukan hanya sekadar status sosial yang dimaknai penuh prestisius, namun ada kharisma yang dibentuk sepanjang hayat dengan pemantik kerja keras ditahap awal, motivasi yang tinggi untuk meningkatkan potensi dan menjaga jiwa dari aura negatif anomali kompetisi. Demirkasimoglu (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Defining Teacher Professionalism from different perspectives” menyatakan bahwa profesionalisme adalah standar terbaik dan tertinggi karena di dalamnya harus terdapat unsur keterpenuhan standar tertentu dalam pendidikan dan kemampuan.

Jadikan jati diri berteladan murni yang mencetuskan diri bahwa seorang dosen adalah seorang pengajar, pendidik, dan pengabdi masyarakat serta  memiliki unsur penunjang yang terkoneksi dengan luasnya dunia yang penuh dinamika. Jika pun ada kejenuhan berkarya, luangkanlah waktu untuk  rehat sejenak, merenung, dan berpikir untuk masa depan. Perenungan ini adalah refleksi yang merupakan puncak dari segala macam evaluasi untuk membumi dan mengenali diri. Pada akhirnya, rangkaian kata ini bukanlah untuk menghantui tetapi sebagai pengingat sampai nanti, bahwa melalui profesionalisme diharapkan setiap individu dapat mendatangkan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain, dan dari berbagai sumber. (Dr. Agis Andriani, M.Hum)

Dr. Agis Andriani, M.Hum adalah doktor pada bidang Linguistik, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *