RADAR TASIKMALAYA – Permasalahan sampah masih menjadi masalah krusial terutama di negara berkembang, seperti Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berhasil dihimpun dari 317 kabupaten/kota se-Indonesia pada tahun 2024, hingga tanggal 5 Juni 2025 total timbulan sampah sebanyak 34,214,607.36 ton/tahun.
Namun, dari angka tersebut baru 59,74% atau setara 20,441,184.59 ton/tahun sampah yang sudah terkelola. Berarti masih terdapat 40,26% atau 13,773,422.77 ton/tahun sampah yang tidak terkelola.
Berdasarkan komposisinya, sampah sisa makanan merupakan sampah yang paling banyak dihasilkan di Indonesia yaitu 39,26%, kemudian diikuti dengan sampah plastik sebanyak 19,74%. Jika tidak dikelola dengan baik, sampah akan menimbulkan berbagai macam permasalahan kesehatan lingkungan dan masyarakat.
Sampah yang menumpuk akan mengundang lalat untuk hinggap sehingga dapat menyebarkan penyakit ke manusia seperti diare, typus, dan sebagainya. Air dapat tercemar akibat ulah manusia membuang sampah ke sungai. Di samping itu, khususnya sampah plastik, akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan manusia.
Sampah plastik merupakan material bersifat non biodegradable atau tidak dapat terdekomposisi (terurai) secara alami. Diperlukan waktu beberapa generasi kehidupan sampai dengan ratusan tahun sehingga sampah plastik baru dapat terurai dengan sempurna oleh tanah. Proses pembakaran plastik juga dapat menyebabkan udara menjadi tercemar khususnya emisi dioxin yang dapat memicu terjadinya kanker.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk dapat mengurangi timbulan sampah, khususnya sampah plastik adalah dengan mengoptimalkan “Bank Sampah”. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah dalam pasal 1 ayat 1 didefinisikan bahwa “Bank sampah sebagai tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi”.
Proses daur ulang sampah atau dikenal dengan istilah “Recycle” seharusnya dapat menjadi ruh yang menjiwai pergerakan Bank Sampah di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan kata daur ulang sebagai suatu kegiatan atau pemrosesan kembali bahan yang pernah dipakai. Dalam konteks sampah, daur ulang berrati melakukan upaya pengolahan kembali terhadap sampah menjadi suatu produk baru yang memiliki nilai manfaat.
Daur ulang menjadi sebuah solusi dalam mereduksi timbulan sampah yang terus menumpuk atau sampah yang akan didistribusikan ke TPA. Proses daur ulang sampah sendiri memerlukan peran serta masyarakat, baik masyarakat sebagai nasabah maupun masyarakat yang berperan sebagai pengelola.
Proses daur ulang sampah tidak akan berjalan jika tidak ada nasabah yang menabung sampah di Bank Sampah. Masyarakat yang menjadi pengelola Bank Sampah tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk dapat melakukan pengolahan sampah.
Pengelola Bank Sampah perlu dilatih dan dibekali keterampilan dalam mengelola Bank Sampah serta mengelola sampah yang sudah dikumpulkan oleh nasabah Bank Sampah. Di samping itu, keberlangsungan Bank Sampah sendiri harus didukung dengan fasilitas atau sarana dan prasarana yang menunjang program Bank Sampah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis terhadap dua Bank Sampah yang berada di Kota Tasikmalaya yaitu Bank Sampah Sugema dan Bank Sampah Lestari menunjukkan bahwa masyarakat menyatakan merasakan dampak positif dengan adanya Bank Sampah. Manfaat tersebut antara lain membuat lingkungan menjadi bersih serta secara ekonomi merasakan “berkahnya” menikmati hasil dari menabung sampah di Bank Sampah.
Bahkan di salah satu Bank Sampah, yaitu Bank Sampah Sugema, nasabah tidak hanya memperoleh uang sebagai imbalan dari menabung sampah, namun sampah tersebut dapat didepositokan menjadi tabungan untuk kurban, emas dan juga pulsa.
Masyarakat mulai menyadari bahwa sampah selama ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak bermanfaat dan tidak berguna namun kini mereka menganggap bahwa “sampah dapat disulap menjadi rupiah dan menjadi berkah” untuk mereka. Namun, ada perbedaan dari sistem pengelolaan dari kedua bank sampah tersebut.
Untuk Bank Sampah Sugema, yang sudah memiliki 1.012 nasabah serta sering memperoleh penghargaan, ternyata hal tersebut dapat dipengaruhi karena Bank Sampah tersebut didukung oleh fasilitas memadai seperti memiliki 2 bangunan yaitu satu bangunan berfungsi sebagai kantor sekretariat Bank Sampah sedangkan bangunan lainnya untuk gudang penyimpanan serta adanya mesin pencacah sampah organik yang mereka miliki.
Di samping itu, sampah dari rumah setiap nasabah akan diangkut oleh petugas Bank Sampah Sugema menggunakan becak motor milik Bank Sampah tersebut. Setelah sampah terkumpul di bank sampah, akan dilakukan pemilahan sampah oleh pengelola. Sampah yang telah dipilah akan ditimbang untuk dihitung beratnya, kemudian dijual ke agen pengepul.
Selain dijual ke pengepul, terdapat juga sampah yang didaur ulang, seperti minyak jelantah didaur ulang menjadi lilin aroma terapi, botol air mineral diubah menjadi ecobricks. Selain itu, Bank Sampah Sugema juga mengolah sampah organik menjadi pupuk organik dan pakan ikan.
Sementara itu, Bank Sampah Lestari yang baru beroperasi pada tahun 2023 (lebih akhir dibandingkan Bank Sampah Sugema yang didirikan tahun 2021) juga sudah menunjukkan kegigihannya untuk merangkul dan memotivasi masyarakat untuk mau terlibat dalam Bank sampah Lestari. Para pengelola berjuang dari nol, hingga kini sudah memiliki 66 orang nasabah. Bank Sampah Lestari hanya menerima sampah dari masyarakat berupa sampah anorganik saja serta sampah yang sudah terkumpul langsung dijual ke pengepul, artinya tidak ada sampah yang didaur uang.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, keberadaan Bank Sampah sangat bernilai positif dalam mendukung kebersihan lingkungan serta meningkatkan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama lintas sektor terutama peran pemerintah untuk mendukung keberlanjutan Bank Sampah serta memotivasi masyarakat untuk mau terlibat. (Nissa Noor Annashr, SKM, MKM)
Penulis merupakan Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi