Doom Spending: Tantangan Perencanaan Keuangan Pribadi Generasi Milenial dan Gen Z

Sosial209 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “doom spending” semakin sering terdengar. Doom spending merujuk pada perilaku belanja yang dilakukan tanpa perencanaan, bahkan cenderung impulsif, dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan sementara atau pelarian dari perasaan negatif.

Meskipun hal ini mungkin memberikan sedikit kenyamanan sementara, kebiasaan ini sering kali menimbulkan masalah keuangan jangka panjang. Istilah ini juga menggambarkan perilaku belanja yang dipicu oleh perasaan cemas dan ketidakpastian mengenai masa depan. Munculnya fenomena ini tidak lepas dari kondisi sosial dan ekonomi yang penuh tekanan, serta pengaruh besar media sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena doom spending ini kerap terjadi di kalangan milenial dan Gen Z. Dua generasi yang hidup di era digital dan dihadapkan pada banyak tantangan, yang di sisi lainnya menghadapi juga tekanan untuk mencapai standar hidup tertentu, ketidakstabilan ekonomi global, perubahan iklim, hingga ketidakpastian politik. Hal-hal itulah yang kemudian menjadi beberapa penyebab utama kecemasan yang dirasakan oleh generasi- generasi ini. Dampaknya adalah bahwa tidak jarang mereka merespons situasi ini dengan mengalihkan perhatian pada aktivitas konsumsi sebagai bentuk pelarian.

Perkembangan teknologi dan gaya hidup digital menjadi salah satu faktor lain yang memperparah doom spending di  generasi milenial dan Gen Z yang  tumbuh dalam era di mana teknologi memudahkan segala hal, termasuk berbelanja. Berbagai platform e-commerce, aplikasi belanja, dan media sosial mempermudah akses untuk membeli barang dengan sangat cepat. Proses pembelian yang hanya membutuhkan beberapa “klik” ini membuat banyak orang tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Faktor-faktor lainnya, yang menyebabkan perilaku doom spending terjadi, terutama di kalangan generasi muda bisa bersifat psikologis maupun sosial, dan semuanya saling terkait satu sama lain, misalnya kecemasan tentang masa depan, ketidakpastian ekonomi dan sosial. Perasaan ini dapat memicu perilaku impulsif seperti belanja berlebihan sebagai cara untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Mereka berpikir bahwa membeli sesuatu yang baru akan memberikan kepuasan emosional, meskipun hanya sementara.

Pengaruh media sosial tampaknya menjadi faktor terbesar dalam perilaku doom spending. Sajian gaya hidup glamor yang dipamerkan di Instagram, TikTok, atau platform lainnya menstimulasi banyak orang merasa terdorong untuk mengikuti tren yang sama. Ada tekanan untuk tampil sempurna atau memiliki barang-barang mewah yang sering dipamerkan oleh influencer, yang pada akhirnya mendorong perilaku belanja impulsif.

Hal ini didukung dengan kemudahan akses ke kredit dan pembiayaan yang terealisasi dengan banyaknya platform belanja untuk menawarkan opsi pembayaran dengan cicilan atau paylater yang terlihat menguntungkan, tetapi sebenarnya mendorong orang untuk terus berbelanja tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan jangka panjang. Hal ini membuat banyak orang terjerat dalam utang tanpa mereka sadari, dan kebiasaan konsumsi yang kurang bijaksana oleh generasi milenial dan Gen Z ini sering kali membuat mereka tidak menginvestasikan uangnya untuk masa depan, dan malah terjebak dalam utang.

Generasi milenial dan Gen Z yang seharusnya menabung untuk pendidikan, rumah, atau pension, namun sering kali gagal dicapai, karena kebiasaan belanja yang tidak terkendali akibat doom spending. Meski ada sedikit perasaan senang setelah membeli barang, perasaan ini bersifat sementara, dan sering kali diikuti dengan rasa bersalah setelahnya. Ditambah lagi dengan kondisi  bergantung pada kartu kredit atau pinjaman online untuk memenuhi kebutuhan belanja mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan masalah keuangan serius, termasuk kebangkrutan pribadi.

Ketika uang habis untuk belanja impulsif, seseorang kehilangan kesempatan untuk menabung atau berinvestasi. Prilaku doom spending juga berpengaruh pada kesehatan mental. Meskipun belanja dapat memberikan kebahagiaan sesaat, perasaan bersalah yang muncul setelah melakukan pembelian impulsif sering kali menyebabkan lebih banyak stres dan kecemasan. Hal ini menciptakan siklus doom spending yang berkelanjutan, di mana seseorang terus-menerus merasa perlu untuk berbelanja sebagai cara untuk mengatasi perasaan negatif, namun pada akhirnya hanya memperburuk situasi.

Para ahli perencanaan keuangan pribadi menyarankan cara untuk mengatasi doom spending bagi generasi milenial dan Gen Z perlu mengadopsi pendekatan yang lebih bijak dan terencana dalam mengelola keuangan mereka. Pembuatan anggaran bulanan yang realistis merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan. Dalam anggaran ini, seorang individu perlu menentukan berapa banyak yang uang yang dihabiskan untuk kebutuhan sehari-hari, hiburan, dan tabungan. Dengan disiplin mengikuti anggaran yang telah dibuat tersebut akan lebih mudah mengontrol pengeluaran dan menghindari belanja impulsif.

Solusi lainnya adalah penerapan aturan 30 Hari, yang berlaku sebelum membeli barang yang tidak direncanakan, cobalah untuk menunggu selama 30 hari. Ini adalah cara yang efektif untuk mengurangi keinginan belanja impulsif. Setelah 30 hari, banyak orang akan menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak membutuhkan barang tersebut. Tips berikutnya adalah fokuslah pada kesehatan mental, mencari cara lain yang lebih sehat untuk mengatasi stress. Melakukan aktivitas seperti olahraga, meditasi, atau bersosialisasi dengan teman dapat menjadi pelarian yang lebih baik daripada belanja. Mengembangkan hobi baru juga dapat membantu mengalihkan perhatian dari kebiasaan belanja yang tidak sehat.

Berdasarkan hal- hal tersebut maka, melakukan edukasi diri tentang literasi keuangan untuk meningkatkan pemahaman yang baik terkait keuangan pribadi adalah penting adanya. Banyak sumber informasi yang bisa digali secara online yang dapat membantu dalam belajar tentang cara mengelola uang dengan lebih baik. Keikutsertaan dalam seminar atau workshop tentang perencanaan keuangan pribadi juga dapat menjadi langkah yang bermanfaat. Selain itu pemanfaatan teknologi untuk mengelola keuangan dengan menggunakan aplikasi digital dapat dirancang untuk membantu mengelola pengeluaran dan menetapkan anggaran. Aplikasi ini dapat melacak pengeluaran dan memberikan peringatan jika mendekati batas pengeluaran. Dan terakhir, perlunya memiliki skala prioritas dalam  pembelian yang bernilai. Invidu tersebut dapat membiasakan diri sebelum membeli sesuatu untuk  bertanya pada diri sendiri apakah barang tersebut akan memberikan nilai jangka panjang atau tidak, dan apakah itu akan meningkatkan kualitas hidup atau hanya memberikan kepuasan sesaat.

Doom spending adalah fenomena yang semakin umum di kalangan generasi milenial dan Gen Z, namun dengan strategi yang tepat, kebiasaan ini dapat diatasi. Penting untuk memahami peran kesehatan mental dan manajemen keuangan yang baik dalam mencegah kebiasaan belanja impulsif. Dengan langkah-langkah yang tepat, generasi muda dapat mengelola keuangan mereka dengan lebih baik, sehingga menciptakan masa depan yang lebih stabil dan sejahtera. Menghadapi ketidakpastian memang menantang, tetapi dengan perencanaan keuangan pribadi yang tertata bisa mengendalikan situasi dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. (Dr Edy Suroso SE MSI CSBA)

Penulis merupakan Koordinator Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *