Bahasa Masa Kini sebagai Refleksi Sumpah Pemuda di Era Digital

Pendidikan105 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Sejak 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting bagi persatuan dan pergerakan bangsa Indonesia. Salah satu butir yang paling berkesan adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Di tengah keberagaman suku, budaya, dan bahasa daerah yang ada di tanah air, Sumpah Pemuda menegaskan pentingnya bahasa Indonesia untuk menyatukan semua elemen masyarakat. Dalam konteks itu, bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi simbol dari identitas kebangsaan yang menciptakan kesatuan di antara masyarakat yang berbeda latar belakang. Misalnya, ketika kita menyaksikan acara-acara nasional seperti perayaan 17 Agustus, semua orang dari berbagai daerah berkumpul dan merayakan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan di media sosial, banyak orang dari daerah yang berbeda berkomunikasi dan berbagi pandangan menggunakan bahasa Indonesia.

Contoh lainnya dalam konteks pendidikan. Di sekolah-sekolah, penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar pendidikan menjadikan semua siswa, dari Aceh sampai Papua, memiliki kesempatan yang sama untuk memahami pelajaran dan berinteraksi. Hal ini tentu sangat penting karena Bahasa Indonesia menjadi penghubung bukan hanya dalam konteks komunikasi sehari-hari, tapi juga dalam pemahaman sejarah, budaya, dan nilai-nilai bangsa.

Di era digital saat ini, bahasa Indonesia mengalami evolusi yang menarik, sekaligus menciptakan banyak peluang dan tantangan. Peluang nyata yang muncul adalah penyebaran bahasa yang lebih luas berkat internet dan media sosial. Bahasa Indonesia bisa dikenal lebih jauh, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kancah global, menggugah semangat nasionalisme dan kebangsaan. Selain itu, tren digital melahirkan banyak kata baru dan ekspresi gaul yang memperkaya kosakata, menjadikan bahasa lebih dinamis. Interaksi antargenerasi pun jadi lebih cepat dan mudah, memungkinkan semua orang saling bertukar ide, memperdebatkan pendapat, dan berkolaborasi tanpa batasan geografis.

Namun, di sisi lain, terdapat tantangan yang harus dihadapi dalam pemanfaatan bahasa di era digital ini. Pertama, penggunaan bahasa gaul dan singkatan di media sosial semakin mendominasi cara kita berkomunikasi. Meskipun berdampak positif dalam membuat komunikasi lebih cepat dan praktis, kenyataannya hal ini bisa berpotensi mengikis kualitas bahasa Indonesia yang baku. Banyak orang jadi lebih memilih untuk menggunakan istilah yang lebih informal dan singkat, seperti “OMG,” “LOL,” atau “baper,” tanpa menyadari bahwa penggunaan yang berlebihan dapat mengurangi penghargaan terhadap kekayaan kosakata dan struktur bahasa yang tepat.

Selain itu, jika habit ini terus berlanjut, generasi muda berisiko kehilangan pemahaman terhadap aspek-aspek tata bahasa dan kaidah penulisan yang formal. Misalnya, siswa yang terbiasa menulis dengan bahasa gaul di media sosial mungkin akan kesulitan saat harus menyusun esai atau artikel secara formal. Ketidakmampuan ini dapat berdampak serius pada kemampuan komunikasi mereka di lingkungan akademik maupun profesional di masa depan. Dalam jangka panjang, jika tidak ada upaya untuk menyeimbangkan antara penggunaan bahasa gaul dan bahasa baku, kita mungkin akhirnya akan menyaksikan penurunan kualitas bahasa Indonesia yang menjadi identitas budaya kita. Maka dari itu, penting bagi kita untuk tetap menghargai dan menerapkan penggunaan bahasa yang baik dan benar, sambil tetap mengapresiasi kemajuan komunikasi digital yang ada.

Selain itu, dominasi bahasa asing dapat menjadikan bahasa kita terpinggirkan dalam konteks komunikasi sehari-hari. Generasi muda mungkin lebih nyaman menggunakan bahasa asing karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya pop, film, dan musik yang sering mengedepankan bahasa asing. Misalnya, banyak anak muda lebih memilih untuk menggunakan istilah seperti “take it easy” atau “chill” daripada mencari padanan dalam bahasa Indonesia.

Tak kalah penting, dampak dari tren digital juga menciptakan variasi bahasa daerah dan slang yang dapat mengurangi efektivitas komunikasi antarkelompok. Ketika individu membentuk kelompok berdasarkan minat atau platform tertentu, sering kali bahasa yang digunakan menjadi variasi dan slang yang sulit dipahami oleh orang di luar kelompok tersebut. Contohnya, di kalangan gamer, muncul banyak istilah khusus seperti “PVP” (Player Versus Player) atau “GG” (Good Game), yang mungkin tidak familiar bagi mereka yang tidak terlibat dalam komunitas tersebut.

Hal ini tentunya berisiko menciptakan kesenjangan dan isolasi, di mana kelompok-kelompok berbeda sulit berkomunikasi dengan satu sama lain. Misalnya, perbedaan bahasa dan slang antara generasi muda dan dewasa dapat memicu kesalahpahaman. Seorang orang tua mungkin merasa bingung dengan istilah “flex” yang berarti menunjukkan prestasi atau barang berharga, sehingga sulit untuk terhubung dengan anak-anak mereka yang menggunakan istilah tersebut dalam percakapan sehari-hari. Jika tidak ada upaya untuk menjembatani kesenjangan pemahaman ini, konsekuensinya bisa jadi masyarakat kita akan terfragmentasi, dengan masing-masing kelompok merasa terasing dari yang lain.

Dalam menghadapi semua tantangan ini, mari kita ingat bahwa Sumpah Pemuda adalah cermin refleksi kita sebagai bangsa. Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga adalah identitas dan warisan budaya yang harus kita rawat dan lestarikan. Menghargai bahasa yang kaya dan beragam adalah suatu keharusan, sementara kita tetap harus terbuka terhadap inovasi dan perubahan yang tidak terelakkan di era digital ini.

Semangat Sumpah Pemuda harus tetap hidup dalam setiap kalimat yang kita ucapkan dan tuliskan. Biarkan bahasa menjadi jembatan persatuan di tengah keberagaman kita. (Sri Maryani)

penulis merupakan Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *