Waspada Investasi Bodong: Saatnya Masyarakat Melek Literasi Digital

Ekonomi17 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat kini dihadapkan pada dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, kemajuan teknologi memberikan kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi, berkomunikasi, dan melakukan berbagai aktivitas, Namun di sisi lain, dunia digital juga membuka celah bagi kejahatan siber yang semakin beragam bentuknya. Mulai dari phishing yaitu penipuan pengguna lewat tautan palsu untuk mencuri data pribadi, spoofing atau pemalsuan identitas digital, hingga malware yang bisa merusak atau mencuri data dari perangkat kita. Tak sedikit juga yang terjebak dalam skema investasi palsu seperti ponzi atau money game yang menawarkan imbal hasil tinggi dalam waktu singkat. Sayangnya, banyak dari korban kejahatan ini berasal dari kalangan masyarakat yang belum memahami betul risiko dunia digital. Kurangnya pengetahuan dan kewaspadaan membuat mereka mudah tergiur dengan janji manis keuntungan instan, hingga pada akhirnya menjadi korban penipuan berkedok investasi.

Kasus penipuan investasi atau investasi bodong sebenarnya bukanlah hal yang baru. Namun belakangan ini, modusnya semakin canggih dan sulit dikenali. Pelaku memanfaatkan platform digital seperti media sosial, aplikasi pesan instan, hingga situs web palsu untuk menjaring korban secara masif. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pada tahun 2023 tercatat lebih dari 300 juta serangan siber di Indonesia, banyak di antaranya mengarah pada sektor keuangan dan investasi digital. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat bahwa hingga Juni 2025, telah ditemukan lebih dari 1.200 entitas investasi ilegal yang beroperasi secara online, menunjukkan betapa masifnya kejahatan digital di ranah investasi.

Di sinilah literasi digital mengambil peran penting. Literasi digital bukan sekadar bisa menggunakan ponsel pintar atau aplikasi media sosial. Menurut Bawden (2001), literasi digital sebagai suatu kemampuan untuk membaca dan memahami informasi dalam bentuk hypertext atau informasi dalam format multimedia. Sedangkan Menurut Haque (2018), literasi digital adalah kemampuan individu dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengkomunikasikan informasi secara efektif dalam berbagai bentuk digital. Dari pengertian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk berpikir kritis, etis, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Literasi ini bisa menjadi ”tameng” untuk membentengi diri dari penipuan berkedok investasi.

Berangkat dari pengalaman pribadi dan pengamatan di lingkungan sekitar, saya melihat langsung bagaimana beberapa teman, tetangga, bahkan anggota keluarga nyaris dan ada pula yang benar-benar menjadi korban investasi bodong. Umumnya, mereka tergiur oleh tawaran yang terlihat sangat meyakinkan: mulai dari situs web yang dirancang professional, logo resmi, hingga klaim bahwa perusahaan tersebut telah terdaftar di OJK. Janji keuntungan besar dalam waktu singkat semakin menambah daya tarik, apalagi jika ajakan itu datang dari orang terdekat yang sebelumnya merasa telah mendapatkan hasil dari investasi itu. Sayangnya, tidak semua orang tahu bagaimana cara memeriksa legalitas suatu lembaga investasi melalui situs resmi, atau menyadari bahaya dari membagikan data pribadi di internet secara sembarangan. Situasi ini mencerminkan masih rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat, yang berdampak pada ketidakmampuan Masyarakat dalam memilah informasi dan memverifikasi kebenaran data di dunia maya.

Karena itu, saya percaya bahwa penguatan literasi digital di masyarakat harus menjadi prioritas utama. Pemerintah memang sudah mengambil langkah baik dengan meluncurkan program Literasi Digital Nasional melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada momentum Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2021. Namun, kenyataannya program ini belum sepenuhnya menjangkau masyarakat di tingkat akar rumput. Masih banyak warga di pedesaan, kelompok usia lanjut, dan komunitas rentan yang belum mendapatkan edukasi digital secara merata. Di sinilah peran media, lembaga pendidikan, dan komunitas lokal menjadi sangat penting. Media massa bisa rutin menyajikan informasi edukatif seputar investasi dan keamanan digital, bukan hanya memberitakan saat kasus penipuan besar terungkap. Lembaga pendidikan dapat memasukkan literasi digital ke dalam pelajaran, agar anak muda lebih waspada sejak dini. Sementara itu, komunitas seperti PKK, karang taruna, atau kelompok pengajian bisa mengadakan pelatihan ringan atau menyisipkan materi tentang cara mengenali ciri-ciri penipuan online berkedok investasi.

Ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan masyarakat agar tidak terjebak investasi bodong. Misalnya, selalu cek legalitas perusahaan investasi di situs resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Satgas Waspada Investasi (SWI), jangan mudah percaya jika ditawari keuntungan besar dalam waktu cepat, serta jangan sembarangan membagikan data pribadi secara online. Jika masih ragu, sebaiknya bertanya kepada pihak yang lebih memahami atau mendiskusikannya terlebih dahulu dengan keluarga. Dengan edukasi berkelanjutan dan dukungan dari berbagai pihak, kita dapat membangun komunitas yang lebih sadar dan tangguh dalam menghadapi jebakan investasi palsu di era digital.

Sebagai masyarakat, kita pun harus proaktif, jangan menunggu menjadi korban baru mau belajar. Selalu periksa keabsahan setiap informasi yang berasal dunia maya, dan hindari terjebak promosi yang terlalu berlebihan. Ingat bahwa tidak ada investasi yang menjanjikan untung besar dengan cepat dan tanpa risiko. Prinsip kehati-hatian harus selalu dijaga karena penipuan digital akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Namun apabila masyarakat memiliki bekal literasi digital yang kuat, maka mereka tak akan mudah terjebak dalam tipu daya investasi bodong yang menggiurkan. Literasi digital adalah bentuk pertahanan diri yang harus dimiliki setiap individu di era modern ini. Karena pada akhirnya, perlindungan terbaik bukanlah teknologi paling canggih, melainkan pikiran yang cerdas dan kritis. (Yuniar Nursyamsiah Setiorini)

Penulis adalah Pengolah Data Akademik/BPP Pascasarjana & FISIP Universitas Siliwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *