Wacana Pilkada Via DPRD, Trial and Error Demokrasi di Daerah

Politik112 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Pasca reformasi konsolidasi demokrasi di Indonesia masih bersifat trial and error. Setidaknya ini kentara dalam soal pemilihan kepala daerah. Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 18 ayat (2), konstitusi memberi ruang terbuka yang bersifat otonomi (distribution of authority) kepada daerah, maka lahirlah Undang-Undang otonomi daerah.

Undang-Undang ini dikatakan sebagai angin segar dan fondasi untuk membangun sistem demokrasi yang lebih kuat di daerah (distribution of power). Dalam amandemen kedua tersebut diperkuat dalam pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.

Pasal tersebut memberi landasan konstitusional dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, maka lahirlah Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 yang di dalamnya mengatur Pilkada secara langsung. Pilkada pertama dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2005.

Pasal 18 ayat (4) yang menjadi salah satu amandemen kedua UUD 1945 memang tidak bisa memiliki tafsir tunggal. Frasa “dipilih secara demokratis” adalah frasa yang memberi ruang penafsiran untuk kemudian menentukan bentuk pemilihan kepala daerah, baik itu penafsiran yang membentuk pandangan bahwa Pilkada harus dilaksanakan secara langsung atau pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Tidak kongkretnya frasa pasal 18 ayat (4) pada akhirnya membuka ruang trial and error atau coba-coba, coba-coba antara pilkada langsung dan pilkada tidak langsung melalui DPRD.

Pengembalian Pilkada melalui DPDR bukanlah barang baru, bukan juga sekedar wacana yang hari ini dilempar Presiden Prabowo. Di penghujung masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono DPR pernah melakukan revisi Undang-Undang Pilkada, lahirlah Undang-Undang nomor 22 tahun 2014 di mana Pilkada dikembalikan melalui DPRD.

Revisi tersebut dilakukan atas susunan argumentasi tentang efisiensi anggaran, maraknya politik uang di tingkat akar rumput, potensi konflik dan polarisasi politik di daerah. Pengembalian tersebut memicu reaksi keras, sehingga atas desakan publik presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2015 yang mengembalikan Pilkada secara langsung.

Wacana mengembalikan Pilkada kepada DPRD yang disampaikan presiden Prabowo Kembali menegaskan bahwa demokrasi elektoral di daerah hari ini masih bersifat trial and error. Dalam pandangan lain kita seolah belum menemukan formulasi yang tepat dalam memilih pemimpin didaerah secara demokratis. Memang menentukan formulasi Pilkada yang demokratis juga tidak hanya bisa dilihat dari sisi prosedural, tingkat partisipasi yang tinggi, tingkat legitimasi yang kuat karena langsung dipilih rakyat sehingga kita mengatakan Pilkada menjadi lebih demokratis bila dilaksanakan secara langsung.

Persoalan lain yang menjadi fenomena juga harus menjadi pertimbangan, dan inilah yang menjadi sumber trial and error pilkada. Misal tren politik uang yang semakin tinggi di tingkat akar rumput sehingga merangsang pemilih menjadi pragmatis, mencerabut akar idealisme dan ideologisme, penegakan hukum Pilkada yang lemah, potensi konflik yang tinggi dan polarisasi politik di akar rumput yang membelah masyarakat dan problem klasik yaitu soal tingginya biaya atau anggaran pelaksanaan Pilkada langsung.

Di satu sisi, ada pandangan bahwa Pilkada melalui DPRD akan terjadi penguatan terhadap partai politik di mana Pilkada melalui DPRD “memaksa” setiap parpol berkompetisi melakukan fungsinya, kaderisasi, Pendidikan politik dan rekrutmen politik yang lebih sehat sehingga dalam momentum Pileg yang tahunnya bersamaan dengan Pilkada mendapat elektabilitas yang memuaskan dan punya daya tawar dalam mengusulkan calon kepala daerah di DPRD yang murni berdasarkan pertimbangan kualitas kader di internal Parpol.

Para pegiat kepemiluan menganggap mengembalikan Pilkada melalui DPRD adalah suatu kemunduran demokrasi. Perspektif itu dibangun di atas parameter bahwa Pilkada langsung berarti tingkat partisipasi politik yang terbuka dan kandidasi kepala daerah tidak elitis, kandidat yang betul betul harus menunjukkan kualitasnya melalui tahapan kampanye atau debat.

Plus minus memang akan menjadi dilema karena kita juga harus fair dalam melihat semua kemungkinan dan fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada selama ini, ditambah UUD 1945 pasal 18 ayat (4) tidak memiliki tafsir Tunggal, artinya pelaksanaan Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung melalui DPRD sama sama memiliki landasan konstitusional. (Rino Sundawa Putra)

Penulis merupakan dosen FISIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *