Transformasi Sampah Menjadi Eco-Enzyme, Sebuah Solusi Masalah Pencemaran Lingkungan

RADAR TASIKMALAYA – Hingga saat ini, berbagai negara di dunia terutama negara berkembang masih menghadapi masalah lingkungan berupa volume sampah yang terus meningkat. Peningkatan volume sampah seharusnya dapat diimbangi dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan sampah dengan baik. Sampah juga menjadi salah satu masalah lingkungan yang masih dihadapi Indonesia.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023, sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Volume peningkatan sampah sebanding dengan meningkatnya tingkat konsumsi manusia. Berdasarkan data dari World Bank Group, secara global dihasilkan sekitar 1,3 miliar ton sampah setiap tahun, yang setara dengan sekitar 1,2 kilogram sampah per orang per hari.

Data yang berhasil dihimpun berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) hingga tanggal 9 Juli 2025, dari 317 kabupaten/kota se-Indonesia diketahui total timbulan sampah di Indonesia sebanyak 34,214,607.36 ton/tahun pada tahun 2024. Dari total timbulan sampah tersebut, hanya 59,74% sampah yang sudah dikelola, sementara sisanya tidak terkelola dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.

Dari sampah yang dihasilkan tersebut sebagian besar dapat dibagi menjadi dua yaitu sampah organik atau sampah yang mudah terurai dan sampah anorganik atau sampah yang sulit terurai. Menurut data SIPSN, komposisi sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik yaitu sisa makanan sebesar 39,25%.

Berikutnya adalah sampah plastik sebagai sampah anorganik menyumbang 19,73%. Sampah tersebut pada umumnya dibuang tanpa melalui proses pemanfaatan lebih lanjut. Padahal, banyaknya komponen sampah tersebut dapat diolah kembali menjadi produk yang bermanfaat.

Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan untuk mengolah sampah menjadi produk yang bermanfaat adalah dengan mendaur ulang sampah organik menjadi eco-enzyme. Eco-enzyme merupakan larutan hasil fermentasi limbah organik (sampah sayur/buah), gula, dan air dengan perbandingan 3:1:10.

Transformasi sampah menjadi eco-enzyme memiliki banyak manfaat dan dapat diaplikasikan di berbagai bidang seperti pertanian, peternakan, kebersihan dan lain-lain. Selain ramah lingkungan, eco-enzyme membantu mengurangi beban pengelolaan limbah organik yang terkadang dibuang langsung ke badan air seperti sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.

Salah satu jenis limbah domestik yang paling umum adalah limbah grey water, merupakan  limbah dari air bekas mandi, dapur, atau bekas mencuci seperti deterjen. Pada daerah yang tidak mempunyai badan unit pengelolaan limbah domestik, jika limbah tidak ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan. Limbah cair domestik yang dibuang langsung ke sungai, umumnya mengandung zat yang membahayakan kesehatan manusia dan menurunkan kualitas perairan.

Limbah domestik menyumbang 87% terhadap total pencemaran air sungai, sementara sisanya berasal dari limbah cair industri. Pada tahun 2020, sebesar 57,42% rumah tangga di Indonesia membuang air limbah ke got, selokan/sungai, sedangkan yang lainnya membuang limbah ke lubang tanah (18,71%), tangki septik (10,26%), sumur resapan (1,67%), dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau saluran pembuangan air limbah (SPAL) (1,28%).

Seiring pertumbuhan populasi, penggunaan deterjen di Indonesia terus meningkat. Rata-rata rumah tangga menggunakan 50 gram deterjen setiap harinya. Dengan sekitar 275 juta orang dan 50 juta rumah tangga, diperkirakan sekitar 900 ton deterjen digunakan dan dibuang sebagai limbah cair setiap tahunnya.

Semakin menjamurnya usaha laundry maka penggunaan deterjen semakin meningkat. Usaha laundry umumnya tidak memiliki IPAL terdekat, sehingga limbahnya dibuang ke badan air tanpa adanya pengolahan, yang akhirnya mencemari kawasan sekitarnya.

Sebagaimana penulis sendiri pernah melakukan survei bersama mahasiswa bimbingan skripsi terhadap10 usaha laundry yang beroperasi di sekitar kampus Universitas Siliwangi. Ditemukan fakta bahwa seluruh usaha laundry tersebut tidak memiliki saluran pembuangan limbah. Artinya mereka membuang limbahnya yang mengandung deterjen ke selokan/sungai.

Zat utama yang terkandung dalam deterjen adalah pembersih (surfaktan) sebesar 70%-80%, builder (senyawa fosfat) sebesar 20%-30%, dan zat aditif (pemutih dan pewangi) sebesar 2%-8%. Surfaktan merupakan senyawa aktif yang memungkinkan deterjen mengemulsi kotoran dan minyak, yang menurunkan tegangan permukaan air dan membuat bahan yang dicuci lebih mudah meresap air.

Surfaktan dapat menyebabkan busa berlebih di perairan selanjutnya menghambat penyerapan oksigen pada organisme akuatik, menghambat penetrasi cahaya matahari. Hal ini dikarenakan surfaktan seperti Linear Alkylbenzene sulfonate (LAS) sulit terurai di lingkungan anaerob.

Nitrogen umumnya hadir dalam bentuk senyawa amonia (NH3) dan amonium (NH4). Kehidupan akuatik dapat mati jika ada kadar amonia yang tinggi. Nitrogen dan fosfat dapat memicu eutrofikasi sehingga pertumbuhan ganggang dan tanaman mengalami percepatan akibatnya terjadi penutupan permukaan air dan menghambat penetrasi cahaya.

Eco-enzyme memiliki  fungsi dekomposisi (penguraian), sintesis, transformasi, dan katalisis. Rekayasa pengolahan air limbah berkelanjutan seperti eco-enzyme dapat digunakan sebagai alternatif teknologi secara ekonomis dan efektif dalam penurunan kadar pencemar pada badan air. Eco-enzyme mengandung enzim lipase, protease, amilase, serta tripsin yang berperan sebagai biokatalis untuk mengurangi zat pencemar dan mendegradasi nutrien dalam air.

Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa eco-enzyme dapat menurunkan kadar pencemar surfaktan, amonia, nitrat, fosfat, dan minyak lemak pada limbah domestik menjadi lebih rendah.

Merujuk dari beberapa penelitian sebelumnya, eco-enzyme dapat didaur ulang dari berbagai sampah organik seperti sampah buah mangga, jeruk (kulit buah/daging buah jeruk), apel, pir, belimbing, semangka, pepaya, batang bayam, sawi hijau, kubis  dan nanas. Tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi baru produk eco-enzyme yang terbuat dari sampah organik lainnya dengan adanya pengembangan dari penelitian terbaru.

Penulis sendiri pernah membimbing mahasiswi Prodi Kesehatan Masyarakat bernama “Bela Durotunavisa”. Dalam penelitiannya, ia membuat eco-enzyme dari kulit buah pepaya yang difermentasikan selama 3 bulan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan eco-enzyme dengan kadar 10%, 12% dan 14% mampu menurunkan kadar surfaktan yang terkandung dalam limbah deterjen.

Pada konsentrasi 12 % dan 14%, eco-enzyme mampu menurunkan zat pencemar surfaktan menjadi di bawah baku mutu (< 3 mg/l). Oleh karena itu, transformasi sampah organik menjadi eco-enzyme menjadi solusi atas dua permasalahan sekaligus. Pertama, solusi terhadap semakin meningkatnya volume sampah di Indonesia dan kedua solusi terhadap masalah pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah domestik terutama limbah yang mengandung deterjen dari usaha laundry. Diharapkan akan muncul inovasi-inovasi baru mengenai pengembangan eco-enzyme dari berbagai sampah organik. (Nissa Noor Annashr, SKM, MKM)

Penulis merupakan Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *