Sistem Pertanian Berkelanjutan Dalam Upaya Mewujudkan Kembali Swasembada Pangan Nasional

Pertanian97 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Indonesia berkembang sebagai negara agraris dengan berbagai macam komoditas yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Setelah Indonesia merdeka, pembangunan pertanian mulai diprioritaskan pada awal era Orde Baru. Pada kurun waktu 5 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, pertanian menjadi titik berat dalam rangka mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian.

Pembangunan pertanian terus berlanjut pada kurun pemerintahan Orde Baru berikutnya dan puncaknya adalah tercapainya swasembada beras nasional pada tahun 1984. Kesuksesan ini selanjutnya membawa

Indonesia pada penghargaan dari FAO pada tahun 1985. Keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras tersebut tidak lepas dari penerapan revolusi hijau di awal pemerintahan Orde Baru.

Pola pertanian revolusi hijau mendasarkan pada 5 pilar yang terkenal dengan “Panca Usaha Tani” yang merupakan pengembangan teknologi pertanian modern saat itu. Kelima pilar tersebut terdiri dari: penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berpotensi hasil tinggi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, pengolahan tanah yang intensif, penyediaan air melalui sistem irigasi dan penggunaan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu. Melalui penerapan teknologi non tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan (khususnya padi) berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Namun swasembada pangan tersebut tidak bisa terulang pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada   era reformasi, kebijakan pertanian semakin terkucilkan akibat liberalisasi pertanian yang lebih membabi buta di mana lahan-lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian untuk pembangunan infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan, daerah industri, perkantoran, perumahan (real estate), pertokoan, dan lainnya. Berdasarkan data BPS, selama lima tahun (2018-2023), telah terjadi pengurangan luas baku lahan sawah dari 7,75 juta hektar pada 2018 menjadi 7,1 juta ha pada tahun 2023, yang berarti terjadi penciutan lahan 650.000  hektar. Ini menunjukkan setiap tahun terjadi rata-rata 130.000 hektar lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.

Fakta selanjutnya sejak tahun 2000 an, Indonesia menjadi negara pengimpor pangan yang setiap tahunnya terus meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023. Angka impor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2024). Angka impor tersebut mengalami peningkatan 613,61% dibandingkan 2022. Pada 2022 Indonesia mengimpor beras sebanyak 429 ribu ton, dan pada 2021 sebesar 407,7 ribu ton, 356 ribu ton pada 2020 dan 444 ribu ton pada 2019.

Penyebab dari kemunduran pertanian di Indonesia selain karena terjadi penciutan lahan pertanian akibat beralih fungsi, juga akibat kerusakan lahan pertanian. Penggunaan berbagai macam bahan kimia yang ditambahkan saat pemupukan maupun saat penyemprotan hama, dalam jangka waktu lama dan terus menerus ternyata memberikan dampak negatif terhadap kesuburan tanah dan perkembangan unsur hayati tanah. Ini merupakan akibat dari pola penanaman dengan teknologi pertanian modern di masa pemerintahan Orde Baru dengan penggunaan teknologi masukan luar tinggi (high external input technology, HEIT) atau dikenal dengan revolusi hijau.

Penggunaan bibit unggul pada berbagai macam jenis tanaman pangan awalnya menjanjikan peningkatan hasil panen, salah satu buktinya adalah terciptanya swasembada pangan pada tahun 1984. Namun penggunaan bibit unggul pada sistem ini mensyaratkan perawatan yang bersifat high input seperti pengairan yang baik, pemupukan yang intensif untuk menyediakan nutrisi yang berkecukupan serta pengendalian hama pengganggu maupun penyakit pada tanaman ternyata menimbulkan potensi permasalahan baru bagi kelestarian lahan.

Permasalahan mulai timbul saat terjadi kesalahan manajemen pengelolaan di lahan pertanian oleh para petani. Pola pertanian dengan menggunakan prinsip revolusi hijau telah menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya kerusakan lahan akibat pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang berlebihan sehingga menyebabkan akumulasi residu kimia yang berasal dari sisa pupuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Selain itu pemakaian pestisida secara berlebihan yang telah merusak ekosistem lahan dan meninggalkan residu pada buah, biji-bijan dan daun. Lebih lanjut keadaan tersebut memberikan dampak negatif terhadap kelestarian tanah, air, ekosistem sawah dan kerusakan lingkungan secara luas. Bahan-bahan kimia pertanian juga memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Penggunaan bahan kimia pertanian tersebut menurunkan kualitas tanah yang berakibat tanaman tidak memperoleh kecukupan nutrisi bahkan residu kimia yang terikut dalam hasil panen dapat berakibat racun bagi manusia.

Kerusakan lahan pertanian akibat penggunaan teknik pertanian modern tersebut selanjutnya berdampak nyata pada penurunan hasil panen baik secara kuantitas, berupa penurunan jumlah hasil panen maupun secara kualitas berupa penurunan kandungan nutrisi dalam produk pertanian dan terikutnya residu-residu kimia dalam produk pertanian. Penumpukan residu kimia mengakibatkan penurunan jumlah agen hayati tanah yang memiliki peran penting dalam membantu tanaman melakukan penyerapan nutrisi dan unsur hara. Keterbatasan agen hayati yang juga berperan dalam menguraikan bahan organik, mengakibatkan terbatasnya pasokan unsur organik bagi tanaman sehingga hasil panen mengalami penurunan kandungan nutrisi dan tingkat gizi. Tumpukan residu kimia dalam tanah juga menyebabkan tanah menjadi keras sehingga akar tanaman tidak mendapatkan pasokan udara yang mencukupi, hal ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga menurunkan produktivitasnya.

Pemahaman-pemahaman akan bahaya bahan kimia baik berupa pestisida maupun pupuk kimia dalam jangka waktu lama perlu disosialisasikan kepada para pelaku pertanian terutama petani, sehingga diharapkan ke depan akan tumbuh sebuah kesadaran untuk menerapkan pola bercocok tanam yang lebih baik dan dapat menghasilkan produk yang sehat, aman dikonsumsi, berkelanjutan serta tidak mencemari lingkungan.

Pola penanaman back to nature atau kembali ke alam merupakan pola yang dapat ditinjau kembali untuk diterapkan oleh para petani. Dengan perkembangan ilmu biologi dan pertanian, pola pertanian organik modern memiliki metode berbeda dengan pertanian sebelumnya. Konsep ke depan yang diperkenalkan adalah pertanian berbasis organik. Pertanian ini mengandalkan bahan-bahan alami dan agen hayati berupa mikrobia, tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. Harapannya dengan metode tersebut akan tersedia produk-produk pertanian yang aman bagi kesehatan petani dan konsumen serta tidak merusak lingkungan.

Pengembangan pertanian organik di Indonesia dapat menjadi suatu solusi pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia di masa mendatang. Penerapan pertanian organik dianggap sebagai salah satu dari pendekatan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, karena dalam pengembangan pertanian organik tidak terlepas dari program pembangunan pertanian secara keseluruhan. Namun dalam sosialisasi dan penerapannya di lapangan sering mengalami beberapa kendala. Hal yang paling utama adalah mengubah pola pikir petani yang masih berorientasi pada penggunaan pupuk kimia. Perlu adanya pionir-pionir pada masing-masing wilayah yang tersebar di Indonesia dalam upaya sosialisasi program organik di tingkat petani.

Peranan masyarakat lokal sangat penting dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan sehingga faktor local wisdom yang telah dimiliki oleh nenek moyang kita dalam melakukan kegiatan pertanian perlu kembali dipelajari dan diterapkan kembali. Selanjutnya, kelembagaan-kelembagaan di masyarakat yang telah mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari perlu terus dijaga karena merupakan potensi besar untuk dikembangkan menjadi lembaga agribisnis modern sehingga dapat menjadi wadah para petani setempat untuk dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada secara mandiri.

Solusi yang lain dalam penerapan sistem pertanian berkelanjutan adalah perlu upaya khusus dalam mengubah paradigma berpikir petani dari pendekatan pertanian untuk meningkatkan produksi, menjadi pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis (usaha dan keuntungan), serta pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). dari kedua pendekatan tersebut, diharapkan nantinya akan terwujud sebuah pola pertanian terpadu (Integrated Farming System ) yang pada akhirnya akan menciptakan desa yang mandiri pangan dan dapat menjadi pilar bagi terwujudnya ketahanan pangan nasional atau swasembada pangan.

Untuk mewujudkan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan (Sustainable Agriculture). Istilah ini hampir serupa dengan istilah agro ekosistem yang mengacu pada modifikasi ekosistem alamiah dengan sentuhan campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia.

Konsep pertanian berkelanjutan yang mulai dikembangkan sejak ditengarai adanya kemerosotan produktivitas pertanian (levelling off) akibat green revolution. Di balik kesuksesan program Green revolution yang mampu meningkatkan produktivitas hasil panen tanaman pangan (khususnya padi) yang menakjubkan ada sisi-sisi buruk yang ditinggalkan, misalnya erosi tanah yang berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian, dan lain-lain.

Pertanian dapat dikatakan berkelanjutan apabila dapat bersifat: 1.Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam dapat dipertahankan dan kemampuan komponen agroekosistem yang meliputi manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dengan baik dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis. Penggunaan sumber daya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga komponen unsur hara, biomas, dan energi yang masih terkandung dalam sisa-sisa tanaman dapat dikembalikan lagi. 2. Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa memenuhi kebutuhan serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis diukur bukan hanya dalam hal produk usaha tani secara langsung, namun juga diukur dalam hal fungsi seperti melestarikan sumber daya alam dan meminimalkan risiko kerusakan lingkungan yang dapat menimbulkan risiko ekonomi. 3.Adil, yang berarti bahwa sumber daya didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota kelompok terpenuhi. Selain itu hak-hak anggota dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran dapat terpenuhi secara keseluruhan. 4.Manusiawi, di mana semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. 5.Luwes, yang berarti bahwa anggota kelompok mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi pertanian yang terjadi misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. Perubahan tersebut tentunya akan diikuti dengan pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, termasuk inovasi dalam arti sosial dan budaya.

Perkembangan pertanian berkelanjutan dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu : (1) Keberlanjutan di bidang ekonomi (keluarga petani memiliki keuntungan bersih yang cukup dan dapat meningkat, pengeluaran untuk usaha pertanian menurun, pertanian yang dijalankan menguntungkan dari tahun ke tahun, dan petani memiliki modal sendiri). (2) Keberlanjutan Sosial: (tumbuhnya usaha lain dalam komunitas petani. terjadi sirkulasi uang di dalam perekonomian lokal, terjadi peningkatan jumlah keluarga petani, para pemuda meneruskan usaha tani orang tua mereka, dan para lulusan sarjana yang berasal dari wilayah setempat kembali ke komunitasnya di pedesaan. (3) Keberlanjutan Lingkungan: (tidak dijumpai lahan kosong, ikan-ikan dapat berkembang biak di perairan yang mengalir ke lahan pertanian, dan bentang lahan pertanian penuh dengan keanekaragaman vegetasi.

Keberhasilan pertanian berkelanjutan diharapkan akan memantapkan terwujudnya kembali Swasembada Pangan Nasional. (Dr Ir Suhardjadinata MP)

Penulis merupakan Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *