RADAR TASIKMALAYA – Pencemaran tanah masih menjadi persoalan yang menonjol di berbagai wilayah Indonesia. Minyak dan limbah industri kerap meresap ke dalam tanah dan merusak fungsi alaminya. Di sejumlah lokasi, kandungan minyak dan logam berat bahkan mencapai tingkat yang membahayakan lingkungan dan warga sekitar.
Pencemaran tanah di Indonesia semakin mengkhawatirkan; sekitar 947 desa tercatat menyumbang polusi yang berasal dari limbah industri, pertanian, dan rumah tangga, termasuk logam berat (Fe, Hg, Cd, Pb) dan TPH.
Metode konvensional seperti penggantian tanah atau penggunaan bahan kimia seringkali mahal, merusak struktur tanah, dan kurang efektif untuk lokasi tercemar berat, sehingga solusi biologis seperti bioaugmentasi dan biostimulasi menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan efisien.
Kasus tanah tercemar pada lokasi ship dismantling menunjukkan bahwa kandungan TPH, Fe, dan Mn dapat berada jauh di atas batas normal hingga tanah kehilangan fungsi ekologisnya. Pada kondisi seperti ini, proses pemulihan alami tidak lagi memadai, sehingga diperlukan teknologi biologis yang mampu mempercepat penguraian polutan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme.
Di tengah situasi tersebut, pendekatan berbasis mikroba mulai dilirik sebagai alternatif pemulihan. Metode ini bekerja secara perlahan namun stabil, tanpa menimbulkan dampak tambahan pada tanah. Pendekatan ini pun tepat diterapkan pada tanah Indonesia yang sering menanggung pencemaran akibat aktivitas industri dan penggunaan lahan yang intensif.
Teknologi yang dimaksud adalah bioremediasi, yaitu proses penguraian polutan oleh mikroorganisme. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada bagaimana kondisi lingkungan tempat hidup mikroorganisme pengurai itu.
Sederhananya, tempat hidup mikroorganisme tersebut harus mengandung nutrisi dan oksigen yang cukup sehingga dapat mendukung apa yang diperlukan untuk mengurai polutan. Bioremediasi dinilai lebih efektif karena dapat dilakukan dengan mudah, hemat biaya, dan tidak mengubah profil tanah yang tercemar.
Dua pendekatan yang digunakan dalam bioremediasi adalah bioaugmentasi dan biostimulasi. Keduanya saling melengkapi, dan penerapannya dapat disesuaikan dengan tingkat pencemaran tanah yang dihadapi.
Bioaugmentasi merupakan cara menambah jenis mikroba tertentu untuk mempercepat pemulihan tanah tercemar. Metode ini dipakai ketika kondisi lahan terlalu berat untuk ditangani mikroba alami. Mikroba tambahan yang digunakan biasanya berbentuk konsorsium, yaitu campuran beberapa jenis bakteri yang bekerja bersama-sama.
Salah satu konsorsium yang umum digunakan berisi bakteri seperti Acinetobacter lwoffi dan Bacillus subtilis, keduanya dikenal mampu mengurai hidrokarbon dan bahan pencemar industri dengan cepat. Teknik ini efektif digunakan pada lokasi yang terkena minyak atau limbah industri keras, termasuk wilayah pesisir atau area industri berat yang selama ini menjadi titik tumpahnya bahan bakar dan limbah kimia.
Berbeda dengan bioaugmentasi, biostimulasi adalah teknik bioremediasi yang dilakukan dengan meningkatkan aktivitas mikroba lokal melalui penambahan nutrisi, oksigen, atau sumber energi yang mereka butuhkan. Cara ini tidak menambah mikroba baru, tetapi memaksimalkan kemampuan mikroba yang sudah ada di tanah agar lebih cepat menguraikan polutan.
Biostimulasi sangat efektif pada tanah yang tercemar minyak, karena mikroba sebenarnya mampu menguraikannya tetapi sering kekurangan nitrogen, fosfor, atau oksigen. Dengan memberikan tambahan nutrisi atau aerasi, laju degradasi meningkat dan proses pembersihan tanah berlangsung lebih efisien serta tetap ramah lingkungan.
Cara kerja bioremediasi sebenarnya sederhana: Mikroba yang tepat ditempatkan atau diaktifkan pada tanah yang kotor. Mereka membutuhkan nutrisi dan oksigen agar bisa bekerja secara maksimal. Mikroba kemudian mengurai polutan seperti minyak atau logam berat sedikit demi sedikit. Dalam beberapa minggu hingga bulan, kadar pencemar dapat turun dan tanah perlahan pulih.
Pemanfaatan mikroba melalui bioremediasi melalui bioaugmentasi dan biostimulasi membuka pendekatan baru dalam pemulihan tanah tercemar secara aman dan efektif. Mikroba bekerja mengurai polutan menjadi bentuk yang tidak merusak, menjaga struktur tanah, dan memberi ruang bagi ekosistem untuk pulih. Penambahan mikroba pilihan mempercepat proses pada lokasi yang kehilangan daya pulih alami, sementara stimulasi mikroba lokal dengan nutrisi dan oksigen meningkatkan laju pemulihan tanpa mengganggu keseimbangan hayati.
Pendekatan ini sangat penting untuk sektor pertanian Indonesia yang sering menghadapi penurunan kualitas tanah akibat akumulasi pupuk kimia, pestisida, dan residu bahan organik yang tidak terurai optimal. Dengan biostimulasi, tanah pertanian dapat dikembalikan kesuburannya tanpa harus mengganti seluruh lapisannya. Tanaman pun dapat tumbuh lebih baik karena struktur tanah tetap terjaga dan mikroba bermanfaat kembali berperan dalam siklus nutrisi.
Dalam konteks penanganan tumpahan minyak, terutama di wilayah pesisir, pelabuhan, atau jalur transportasi bahan bakar, bioremediasi menjadi alternatif yang jauh lebih aman dibandingkan penggunaan bahan kimia dispersan.
Mikroba dapat mengurai hidrokarbon tanpa meninggalkan bahan kimia baru yang berpotensi menjadi pencemar tambahan. Hal ini membuat teknik berbasis mikroba lebih sesuai untuk wilayah berisiko tinggi di Indonesia yang memiliki garis pantai panjang dan aktivitas industri yang padat.
Pada akhirnya, keberhasilan pemulihan tanah tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran semua pihak. Penggunaan bioremediasi mengajarkan bahwa bumi memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila kita memberikan ruang dan dukungan yang tepat.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendorong lebih banyak penggunaan metode berbasis mikroba sebagai solusi hijau yang nyata untuk mengembalikan fungsi ekologis tanah Indonesia. Dengan memilih jalan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kita turut memastikan bahwa tanah yang kita pijak hari ini tetap layak untuk generasi mendatang. (Acna Indrayana Abdillah, Delima Mustasfa Caesariza, Lutfiah Nurfajriah, Nifrah Mislah, Syafinah Hisan Ainahaq, Widaadilah Wisnu Pratama)
Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Biologi UPI Bandung












