Rekam Jejak Perjuangan Mayor Utarya

Sejarah120 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Di Kota Tasikmalaya ada beberapa jalan diberi nama tokoh-tokoh pahlawan yang berjuang pada masa sebelum kemerdekaan maupun masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Jalan tersebut di antaranya Jalan RE Martadinata, Jalan Moehammad Hatta, Jalan Haji Zaenal Musthapa, Jalan Sutisna Senjaya, Jalan Kapten Naseh, Jalan SL Tobing, Jalan Laskar Wanita, Jalan Mayor Utarya dan lain-lain. Ada pula jalan yang diberi nama erat kaitannya dengan kejadian suatu peristiwa sejarah seperti Jalan Tentara Pelajar, Jalan Pancasila, dan Jalan Mitra Batik dan lain-lain.

Tulisan ini akan menguraikan sekilas rekam jejak perjuangan seorang prajurit TNI yaitu Mayor Utarya. Berdasar kepada sumber yang ada, bahwa Mayor Utarya adalah seorang pejuang  tangguh yang berani berkorban  demi kepentingan nusa, bangsa, dan negara. Dalam menjalankan tugasnya, Mayor Utarya tanpa mengenal kompromi dengan pihak lawan. Hal ini dibuktikan pada saat Mayor Utarya mengemban tugas untukmelaksanakan, Perintah Panglima Besar No. 1, tertanggal 9 November 1948.

Disadari betul tulisan ini masih menunjukkan banyak kekurangan. Sebagai contoh kekurangannya, diantaranya ditulisan ini tidak diulas bagaimana peran serta posisi perjuangan Mayor Utarya sebelum Tentara Siliwangi diperintahkan untuk hijrah ke Yogyakarta. Ketidaklengkapan tulisan ini, sebagai akibat keterbatasan sumber yang dimiliki. Kendati pun demikian, penulis merasa perlu mengurai rekam jejak perjuangan Mayor Utarya, dengan harapan mampu meminimalisir kekhawatiran warga Tasikmalaya yang tahu di mana lokasi Jalan Mayor Utarya, namun tidak tahu bagaimana rekam jejak perjalanan perjuangannya.

Sebagai akibat Perjanjian Renville Tahun 1947, tentara Siliwangi terpaksa harus hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Pada saat tersebut, Yogyakarta berkedudukan sebagai ibu kota negara yang baru pindah dari Jakarta.

Setelah 11 bulan berada di Yogyakarta, atas perintah Panglima Besar No. 1, tertanggal 9 November 1948, yang isinya di antaranya menginstruksikan “kesatuan-kesatuan yang telah berhijrah harus bergerak menyusup kembali ke kedudukan-kedudukannya sebelum dihijrahkan, untuk di situ menyusun “Wehrkreise-wehrkreise”. Untuk itu, maka pasukan Siliwangi kembali pulang ke Jawa Barat. Perjalanan pulang pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat disebut Long March.

Dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat, pasukan Siliwangi banyak mengalami rintangan dari DI-TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Rintangan-rintangan yang dilakukan DI-TII, di antaranya pasukan Siliwangi diracun, disergap untuk kemudian ditawan hingga dibunuh setelah melalui penganiayaan yang tiada berperikemanusiaan. Salah seorang di antara tentara Siliwangi yang mengalami pe- nganiayaan dari pihak DI-TII yaitu Mayor Utarya.

Saat Long March, Mayor Utarya menjabat sebagai Perwira Teritorial Brigade XIV atau Brigade C, yang diberi tugas untuk menyusun dan membangun Wehrkreise di daerah Priangan Timur. Ada dua alasan penting mengenai penempatan Mayor Utarya menjadi Perwira Teritorial di daerah Priangan Timur.

Pertama, sebelum hijrah Mayor Utarya pernah diberi tugas menjadi Komandan Resimen Perjuangan di Priangan Timur. Kedua, Mayor Utarya sudah mengenal dengan baik tokoh-tokoh puncak di tubuh DI- TII yang berpusat di daerah Priangan Timur.

Dalam jabatannya sebagai Perwira Teritorial, yang paling pertama dilakukannya ialah berusaha untuk mempersatukan seluruh potensi perjuangan di daerah Priangan Timur. Mayor Utarya menyadari betul, seandainya potensi perjuangan ini tidak segera dipersatukan, akan sangat berbahaya dan sewaktu-waktu bisa menjadi hambatan dalam perjuangan melawan Agresi Militer Belanda II. Untuk tujuan tersebut, maka langkah yang paling awal ditempuh oleh Mayor Utarya adalah berusaha menjumpai pimpinan DI-TII yaitu Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.

Untuk bisa menjumpai Kartosuwiryo, bukanlah suatu hal yang mudah dan diperlukan kehati-hatian serta kewaspadaan yang sangat tinggi. Dipahami betul oleh Mayor Utarya, bahwa Kartosuwiryo sudah menaruh kebencian yang teramat dalam terhadap pemerintah maupun  TNI, dengan argumen, karena pemerintah dan TNI dianggap oleh Kartosuwiryo telah menodai perjuangan dalam menghadapi Belanda pasca kemerdekaan Indonesia. Maka untuk melaksanakan tugasnya ini Mayor Utarya mendapat pengawalan ketat oleh Kompi Kadar Solihat. Perlu diketahui, di kemudian hari Kadar Solihat menyeberang ke DI-TII.

Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya Mayor Utarya sampai ke suatu kampung yakni Kampung Cijurai yang letaknya di Ciamis Selatan. Dari sini ia berangkat dengan tujuan ke Tasikmalaya.

Informasi yang diperoleh Mayor Utarya dalam perjalanannya ini ialah keberadaan seoang tokoh DI-TII yang bernama Ateng Jaelani, yang berada di daerah Singaparna, tepatnya di Kampung Cikeusal. Ateng Jaelani pada saat itu sedang menjabat Bupati Darul Islam untuk daerah Tasikmalaya (Siliwangi Dari Masa ke Masa, 1968:28 1).

Sesuai dengan komitmennya yakni akan menjumpai tokoh- tokoh pimpinan DI-TII, maka dalam kesempatan tersebut, Mayor Utarya menjumpai Ateng Jaelani di rumahnya untuk bersilaturahmi dan melakukan perundingan. Penulis tidak mempunyai informasi apa saja kesepakatan yang dicapai dalam perundingan tersebut, masih perlu diteliti.

Dari perundingannya dengan Ateng Jaelani, Mayor Utarya mendapat informasi mengenai keberadaan Kartosuwiryo, yakni di Cidugaleun. Dalam perjalanan menuju ke kediaman Kartosuwiryo di Cidugaleun, rombongan Mayor Utarya sempat beristirahat untuk menginap di kampung Cibungur, dan besoknya Mayor Utarya dengan dikawal hanya oleh satu regu pengawal, berangkat ke Cidugaleun untuk menemui Kartosuwiryo.

Dalam perjalanan ke Cidugaleun, di kampung Cipanganten Mayor Utarya menemui anggota Batalyon Achmad Wiranatakusumah yang ditawan DI-TII. Di sini Mayor Utarya bertemu dengan Adah Jaelani dan mendapat petunjuk mengenai keberadaan Kartosuwiryo yang memang berada di Cidugaleun.

Dengan disertai Adah Jaelani, Mayor Utarya menemui Kartosuwiryo, dan kemudian diadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Kartosuwiryo sekitar langkah-langkah perjuangan ke depan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan serangan darí pihak Belanda.

Di samping itu dibicarakan pula mengenai upaya-upaya mempersatukan potensi perjuangan, untuk membangun kebersamaan dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pertemuan tidak menghasilkan kesepakatan apapun dan regu pengawal Mayor Utarya dilucuti untuk ditawan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sungguh tragis, Regu Pengawal Mayor Utarya sejak saat itu tidak pernah melihat lagi Mayor Utarya. Ternyata Mayor Utarya sengaja dipisahkan dari regu pengawalnya dan dibawa ke suatu tempat yang telah disediakan untuk dianiaya oleh orang-orang kepercayaan Kartosuwiryo dari Kompi I Batalyon I TII Darul Islam.

Mayor Utarya gugur setelah diperlakukan yang tidak spantasnya di depan lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya dalam keadaan tangannya diikat dengan tali ijuk.

Sungguh luar biasa, Mayor Utarya adalah sosok pejuang yang mempunyai komitmen sangat tinggi untuk negeri ini. Dia sangat konsisten dalam mempertahankan prinsip yang diyakininya sebagai suatu kebenaran untuk kepentingan bangsa dan negara.

Bukti Mayor Utarya sebagai sosok pejuang yang tangguh, dapat dibuktikan dari cara dia mempertahankan keyakinannya dalam suatu dialog dengan Kartosuwiryo. “Untuk Utarya pribadi, dengan adanya Negara Islam setuju, tetapi saya sebagai Mayor Utarya tidak setuju, karena hal itu menyalahi perintah Presiden/Panglima Tertinggi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), demikian keyakinan Mayor Utarya.

Dalam kesempatan paling akhir dari dialognya, Mayor Utarya menyampaikan usul serta saran kepada Pimpinan DI-TII, “agar Republik dan DI-TII bersatu dalam melawan Belanda. Nanti bila sudah selesai, barulah diadakan perundingan lebih lanjut”.

Hanya sayang sekali, usul serta saran Mayor Utarya untuk mempersatukan potensi, perjuangan demi membela serta mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari rongrongan Belanda, ditolak mentah-mentah oleh pimpinan D-TII. Kartosuwiryo bersikukuh dalam pendiriannya, ia tetap ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.

Bagimanapun jiwa serta semangat juang yang dimiliki Mayor Utarya patut diteladani dan harus kíta warisi. Keteladanan beliau masih tetap aktual, kendatipun kita dewasa ini sudah ada dalam karakter zaman yang berbeda dengan di masa revolusi. (Iyus Jayusman)

Penulis adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *