Pilkada 2024, Tandang Makalangan Para Abdi Negara

Politik236 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Secara empirik Indonesia pada masa orde baru telah memberikan landscape politik kepada para abdi negara, birokrat. Birokrasi pada masa itu menjadi salah satu pilar penopang kekuatan politik orde baru (Golkar, militer dan Birokrasi). ABG adalah istilah lain yang mencerminkan Angkatan Bersenjata, Birokrasi dan Golkar adalah jalinan yang saling terkoneksi dalam membangun struktur kekuasaan orde baru. Dalam konteks itu setiap Pemilu struktur birokrasi digunakan untuk melakukan pendekatan kepada pemilih. Birokrasi menjadi sumber daya yang efektif dalam menghimpun dukungan dan suara untuk Golkar.

Birokrasi memiliki keuntungan strategis karena memiliki sumber daya pelayanan yang digunakan sebagai alat “penggoda” sehingga muncul kesan kalau tidak memilih Golkar yang di endorse birokrasi nanti akan mengancam keberlangsungan Pembangunan dan pelayanan publik. Pada waktu itu birokrasi menjadi kendali kekuasaan politik dianggap sebagai situasi politik yang natural. Berbeda dengan hari ini, reformasi melahirkan euphoria demokratisasi sehingga birokrasi lewat sederet peraturan perundang-undangan dijauhkan dari pusaran politik praktis. Hari ini seorang ASN terafiliasi, menjadi kader atau simpatisan saja akan melanggar etika dan kepatutan.

Hari ini menjelang pemilihan kepala daerah 2024 bermunculan birokrat yang akan maju, di Jawa Barat  misalnya ada Kuningan, Majalengka, Sukabumi, Cimahi, Depok adalah daerah yang diperkirakan akan diramaikan oleh calon yang berlatar birokrat. Bahkan di kota Tasikmalaya kemungkinan akan ada dua mantan birokrat yang akan berkompetisi.

Di provinsi lain ada Salatiga dan Sidrap. Bagi Sebagian orang ini dianggap sebagai fenomena baru tetapi dalam perspektif politik secara umum ini bukan hal yang betul betul baru, sepanjang 32 tahun orde baru berkuasa birokrasi terbiasa ikut memainkan ritme politik Indonesia walau dalam konteks yang berbeda di mana hari ini tertariknya para birokrat ke ruang politik praktis pertama bukan hal yang tabu di tengah sederet aturan yang menjauhkan birokrasi dan birokrat ke ruang politik praktis, dan kedua bukan hal yang melanggar ketentuan etika ASN sepanjang syarat dan ketentuannya dilakukan.

Lalu dalam konteks pasca reformasi, dalam situasi demokrasi saat ini, dalam situasi desentralisasi politik dan pemerintahan dan dalam sistem pemilihan kepala daerah langsung bagaimana tren ini bisa terjadi?

Dalam sudut pandang kasuistis lahirnya calon kepala daerah yang diusulkan oleh Partai Politik bisa dimaknai dalam dua asumsi, pertama mereka lahir dari proses yang demokratis berdasarkan penjaringan internal partai politik yang di-assessment berdasarkan pengalaman, kepemimpinan dan tingkat elektabilitas. Tetapi asumsi kedua bisa mengindikasikan bahwa tidak berlakunya proses kaderisasi di internal partai politik sehingga memungkinkan friksi kepentingan semata, artinya diusungnya calon kepala daerah yang berasal dari mantan birokrat mengeliminir secara politis kader yang secara kuantitas dan kualitas berhak mendapatkan tiket itu. Politisi murni yang berasal dari partai tersebut yang sudah malang melintang menapaki karier politik terhempas oleh dinamika kepentingan tertentu dalam internal partai politik. Tentu bila dalam asumsi kedua ini adalah sesuatu yang bersifat destruktif bagi keberlangsungan pengkaderan dalam partai politik itu sendiri.

Dari sudut pandang rentang kendali kekuasaan pemerintahan daerah, seorang Sekda misalnya adalah orang kedua secara adminsitratif dalam tata Kelola pemerintahan dan  keuangan memiliki otoritas penuh mengendalikan kekuasaan administratif pemerintahan daerah. Dari sisi ini sebetulnya seorang Sekda memiliki pengalaman, bahkan tidak hanya rentang kendali politis tetapi memiliki rentang kendali birokratis yang tidak dimiliki oleh kepala daerah.

Kepala daerah lebih dianggap sebagai simbol dan kepemimpinan politis yang dalam beberapa kasus tidak memiliki kepiawaian birokratis. Ini memang pendekatan rasional dan strategis yang membuat beberapa partai di daerah tertarik mengusung mantan birokrat sebagai calon kepala daerah. Di satu sisi mungkin persoalan internal partai politik yang tidak memiliki kader mumpuni yang dianggap belum memiliki tingkat elektabilitas yang bagus. Dalam beberapa kasus asumsi pendekatan pragmatis juga bisa menjadi alasan partai politik memilih mantan birokrat dibanding kadernya sendiri.

Di satu sisi Badan Pengawas Pemilu harus cermat betul bila mantan birokrat menjadi calon kepala daerah yang berkompetisi dalam Pilkada mengingat potensi penyalahgunaan struktur dengan memobilisasi ASN dan memanfaatkan posisi, jabatan dan kewenangannya untuk memobiliasi dukungan. Jangan sampai struktur birokrasi daerah dijadikan mesin politik sebagai insentif electoral.

Di beberapa daerah di mana masyarakatnya masih memegang nilai nilai tradisional posisi birokrat akan memiliki keuntungan secara kultural. Antropolog Clifford Geertz membagi masyarakat (Jawa) menjadi tiga tipe, abangan, priyayi dan santri. Priyayi pada masa kolonial adalah tipe masyarakat yang menjadi pegawai pemerintahan (birokrat) kolonial Belanda. Selain punya kewenangan masyarakat priyayi birokrat ini memiliki kharisma tersendiri ditengah-tengah Masyarakat sehingga punya posisi tinggi dan memiliki tingkat popularitas lebih dibanding masyarakat lainnya.

Pada akhirnya reformasi, otonomi pemerintahan daerah, pemilihan kepala daerah langsung memberikan ruang yang lebih luas pada siapa pun yang berani berlaga pada kontestasi memperebutkan kekuasaan politik dan pemerintahan di daerah. Birokrat Kembali tertarik ikut menentukan ritme politik. Partai politik didaerah membuka mata dan memberikan ruang dan peluang pada para mantan birokrat di tengah keringnya mata air pengkaderan, maka mengusung dan memberikan tiket kepada mantan birokrat katakanlah sekda adalah jalan yang logis, rasional bahkan pragmatis. Tandang makalangan para abdi negara! (Rino Sundawa Putra SIP MSi)

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *