RADAR TASIKMALAYA – New normal, sebuah istilah yang kian terdengar pada masa pandemi Covid-19 lalu. New normal dalam konsep menghadapi Covid-19 adalah perubahan perilaku untuk tetap melaksanakan aktivitas ditambah dengan sederet protokol kesehatan yang harus dilakukan.
Memakai masker, cuci tangan, jaga jarak, pertemuan daring adalah protokol yang mengubah perilaku dalam normalitas baru tersebut. Dalam pengertian umum atau secara etimologi new normal adalah situasi normal baru yang mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau sebelumnya tidak dianggap normal.
Dalam demokrasi-elektoral di Indonesia ada potret yang mengarah pada perubahan perilaku tersebut, new normal yang secara “natural” menjadi perilaku dan tindakan baru pemilih di Indonesia. Guru Besar ilmu politik UIN Jakarta Profesor Burhanudin Muhtadi dalam paper yang berbasis riset menyimpulkan bahwa politik uang bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu dan telah menjadi normalitas baru dalam Pemilu di Indonesia pasca orde baru. Politik uang tidak setabu sebelumnya, daulat uang menjadi praktik normal baru yang menentukan irama permainan dalam demokrasi-elektoral di Indonesia (Muhtadi, 2019).
Daulat uang ini tidak hanya menjadikan faktor yang paling mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya tapi pilihan yang dianggap strategis, logis dan efektif bagi para politisi atau bagi para peserta Pemilu (partai politik dan orang yang diusulkan oleh partai politik), para calon kepala daerah, dan tim kampanye untuk memenangkan kontestasi.
Di satu sisi ada dua undang-undang, undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam dua Undang-Undang yang mengatur pemilihan Presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan Undang-Undang yang mengatur pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tertuang pasal pidana yang mengancam pelaku politik uang dengan ancaman kurungan penjara dan denda. Bahkan di dalam undang-undang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ancaman pidana juga diberlakukan kepada penerima politik uang.
Proses penanganan dugaan politik uang kewenangannya diberikan kepada tiga institusi; Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Tiga institusi ini kemudian membentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang menangani laporan atau temuan dugaan politik uang baik dalam tahapan Pemilu atau tahapan Pilkada.
Penulis punya pengalaman menangani dugaan pidana Pemilu karena pernah menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu Kota Tasikmalaya. Bawaslu dan Sentra Gakkumdu sering kali menjadi bulan-bulanan dan kambing hitam yang dianggap impoten dan tidak berdaya mengungkap praktik politik uang. Pada Pemilu 2019 Bawaslu Kota Tasikmalaya pernah diberi obat kuat oleh peserta aksi karena dianggap lemah syahwat. Pandangan publik juga masih sama pada Pemilu 2024, di tengah bombardir amplop Bawaslu dan Sentra Gakkumdu seolah diam tak berdaya.
Banyak faktor yang membuat Bawaslu tidak berdaya, pertama, situasi new normal itulah yang bisa dilihat dari sisi kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitaif tentu saja situasi new normal yang menimbulkan keyakinan bahwa memberi dan menerima politik uang adalah lumrah dalam situasi politik kekinian, ini tentu melipat-gandakan praktik politik uang. Dari sisi kualitatif new normal melahirkan budaya dan patron politik baru di mana tingkat elektabilitas tidak lagi ditentukan oleh faktor ideologis, faktor rasionalitas tetapi ditentukan secara pragmatis oleh kekuatan finansial.
Patron politik yang dibentuk berdasar kuasa uang pada akhirnya akan saling melindungi, saling memproteksi bahkan pada situasi ekstrem penegakan hukum pidana politik uang akan dijadikan common enemy, musuh bersama karena menghalangi pandangan dan kepentingan baru yang dianggap lumrah itu.
Kedua, pasal pidana politik uang pada Undang Undang Pemilu memiliki banyak unsur limitatif (pembatasan) sehingga membuka celah yang sangat besar bagi pelaku untuk menyiasati agar lepas dari jerat pasal tersebut. Misal terkait subjek hukum, banyak pasal yang membatasi bahwa yang bisa dijerat hanya peserta Pemilu, tim kampanye, dan pelaksana kampanye yang namanya sudah terdaftar di KPU, di luar itu tidak bisa dijerat.
Menyiasati pasal ini ya dengan menyuruh orang yang membagikan politik uang adalah orang yang bukan tim kampanye atau pelaksana kampanye, maka walaupun ada laporan atau temuan pengawas Pemilu maka tidak bisa diproses, tidak memenuhi unsur formil-materil karena pelaku bukanlah peserta Pemilu, pelaksana kampanye atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Kemudian unsur limitatif juga menyangkut aspek locus delicty dan tempus delicty, ini menyangkut soal di mana dan kapan pasal pidana politik uang ini berlaku. Peristiwa politik uang yang bisa diproses harus dilakukan pada aspek locus yang diatur yakni pada kegiatan kampanye resmi, di tempat pemungutan suara, dan pada aspek tempus di tiga hari masa tenang dan di hari pemungutan suara.
Pembatasan pada dimensi tempat dan waktu inilah yang membuat pasal pasal pidana politik uang pada Pemilu menjadi kaku. Kekakuan pasal pasal pidana politik uang ini akhirnya membuat celah besar menganga untuk kemudian disiasati, maka tidak heran serangan fajar, berseliweran amplop pada malam hari yang dilakukan oleh orang yang tidak termasuk tim sukses pada akhirnya tidak bisa diproses oleh Bawaslu dan Sentra Gakkumdu.
Ketiga, proses penanganan dugaan pidana politik uang terikat dengan syarat formil dan materil sebagaimana dalam penanganan kasus pidana pada umumnya, di mana pelapor atau temuan Bawaslu harus membawa bukti dan minimal dua orang saksi. Pemenuhan saksi dan bukti inilah yang biasanya sangat sulit di tengah situasi new normal dan permissifme di mana orang sangat enggan bersaksi atau bahkan memberikan bukti.
Dalam hal laporan tidak ada laporan yang betul betul murni dari keinginan dan idealisme pribadi, semua laporan yang masuk adalah laporan yang dilakukan oleh tim kampanye yang tentu muatan politisnya kuat. Bawaslu dan Sentra Gakkumdu seolah “mencari jarum dalam tumpukan jerami”.
Memang terdapat inkonsistensi atau ketidakselarasan pasal pidana politik uang antara yang tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu dengan yang ada pada Undang-Undang yang mengatur pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, padahal kedua-duanya mengatur peristiwa perbuatan pidana yang sama. Di Undang Undang yang mengatur Pilkada di pasal 187A ayat 69 dan 70. Pertama berbeda dengan pasal pidana politik uang di Undang-Undang Pemilu yang penuh unsur limitatif sehingga kaku dan membuka celak untuk disiasati, di Undang-Undang Pilkada tidak ada pembatasan soal Subjek hukum, locus delicty dan tempus delicty.
Pasal ini berlaku pada “setiap orang” dan bisa berlaku kapan pun, sejak pasangan calon kepala daerah ditetapkan pasal pidana politik uang sudah berlaku. Ini suatu keuntungan sebenarnya bagi Bawaslu dan Sentra Gakkumdu, karena mau itu serangan malam dini hari, serangan fajar, serangan pagi dan siapa pun yang membagikan bisa dijerat. Maka dalam konteks tahapan Pilkada 2024 mata dan telinga Bawaslu-Gakkumdu harus terbuka lebar, jeli. Aneh rasanya kalau Bawaslu masih berlindung dibalik kalimat “tidak terpenuhi syarat formil-materil”. Kita lihat Akankan Bawaslu dan Gakkumdu diberi obat kuat lagi tahun ini? (Rino Sundawa Putra SIP MSI)
Penulis adalah Dosen FISIP-Unsil, Anggota Panitia Pengawas Pemilu Kota Tasikmalaya Periode 2016-2017, 2017-2018 dan Anggota Bawaslu Kota Tasikmalaya Periode 2019-2023