RADAR TASIKMALAYA – Isu multidimensional yang terjadi dalam skala global saat ini merupakan sebuah dinamika yang tidak terpisah dari sejarah peradaban manusia. Potensi konflik dan ketegangan lahir dari proses interaksi sosial dan pergerakan individu maupun kelompok yang memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Fenomena seperti krisis pangan, kemiskinan, degradasi lingkungan, hingga pembantaian yang kejam adalah manifestasi dari kegagalan aktor-aktor sosial dalam menjembatani aspirasi pribadi dengan moralitas, tanggung jawab ekologis, dan rasa hormat terhadap individu lain. Sehingga pada akhirnya menyebabkan benturan kepentingan yang tidak tuntas secara etis dan konstruktif. Sebagai konsekuensi, dampak yang ditimbulkan dalam bentuk kerusakan alam dan moral terjadi di seluruh belahan bumi dan dirasakan oleh semua umat manusia sebagai warga dunia.
Dalam konteks ini, sebuah pertanyaan mendasar mengenai siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai warga dunia/warga global (global citizens) muncul sebagai refleksi kritis dari eksistensi manusia dan perannya dalam menciptakan perdamaian dunia.
Secara afirmatif, seluruh individu yang menghuni planet ini sejatinya merupakan warga dunia, karena mereka hadir secara biologis dan geografis pada berbagai titik di muka bumi ini. Namun nyatanya, secara normatif, hal tersebut tidak serta merta berlaku demikian. Konsep mengenai warga dunia yang dijelaskan oleh Schattle (2014) merujuk pada individu yang memiliki kesadaran utuh terhadap eksistensinya dalam komunitas global dan memberikan pengakuan mengenai identitas yang tidak terbatas pada batas-batas negara bangsa.
Ia menanggung beban peradaban karena memiliki tanggung jawab moral dan etis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi secara global, dan berinisiatif untuk berperan aktif dalam menciptakan keselarasan pada tatanan sosial kemasyarakatan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Waghid (2024) menambahkan bahwa warga dunia harusnya memiliki kesadaran terhadap peran dan dampak dirinya terhadap kemaslahatan dunia, mampu menghargai perbedaan, serta memiliki rasa empati dan solidaritas yang tinggi. Dengan demikian, menjadi warga dunia bukan hanya tentang keberadaan fisik kita dalam sebuah batas geografis, namun lebih dalam dari itu, yakni tentang bagaimana menjadi individu yang sadar secara aktif dan reflektif akan isu-isu global yang tengah melanda umat manusia di masa ini, di masa lalu, dan memproyeksi apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Wujud dari kesadaran ini adalah adanya partisipasi langsung dalam segi intelektual, moral, dan praktis, baik dalam skala regional, nasional, maupun global. Bahkan jika pun kesadaran itu baru sampai sebatas pada alam pikiran, hal tersebut sudah merupakan sebuah langkah konkret menuju konstruksi diri sebagai bagian dari warga dunia yang bertanggung jawab.
Mengapa penting menjadi warga dunia? Dampak globalisasi yang semakin pesat menuntut setiap bangsa untuk berpikir dan bertindak lebih kolektif sehingga identitas kewarganegaraan penduduknya tak lagi cukup dalam batas teritori negara bangsa yang kita miliki saat ini. Hal ini disebabkan oleh pentingnya melakukan sinergi untuk memecahkan persoalan global yang kita hadapi saat ini yang tidak mungkin diselesaikan secara parsial.
Oleh karenanya, diperlukan kerja sama internasional dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat global. Pada tahun 2015, UNESCO telah menawarkan ide mengenai Pendidikan Kewarganegaraan Global (Global Citizenship Education/GCED) yang menekankan pada pentingnya membangun kesadaran setiap individu dalam membentuk identitas dan perannya dalam komunitas global sehingga memiliki tanggung jawab kolektif terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi.
Melalui implementasi GCED ini, setiap individu diharapkan dapat berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas universal seperti perdamaian, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Schattle (2008) bahwa warga dunia selalu memandang manusia lain sebagai anggota komunitas moral yang sama, tidak mengklasifikasikan berdasarkan keragaman etnis dan geografis.
Pendekatan ini juga diharapkan dapat membangun rasa solidaritas lintas budaya yang mampu memperkuat ikatan komunitas global dan mendorong penyelesaian konflik secara menyeluruh. Selain itu, dengan menjadi warga dunia, individu akan lebih menghargai keragaman di tengah masyarakat yang semakin majemuk, karena pemahaman lintas budaya ini merupakan modal dasar dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang rukun dan berkeadilan.
Pendidikan global melatih individu untuk mengasah empati, tolerasi, dan penghargaan terhadap perbedaan (Oxfam, 2006). Nilai-nilai ini merupakan modal sosial yang sangat berharga di tengah gempuran masyarakat yang intoleran dan situasi politik yang diskriminatif dan terpolarisasi.
Selain itu, pendidikan global pun menjadi wadah pengembangan keterampilan berpikir kritis, komunikasi antarbudaya, dan kolaborasi internasional yang merupakan kompetensi utama yang dicari oleh pasar kerja. Dengan demikian, warga dunia tidak hanya memiliki kesadaran moralitas yang tinggi, namun juga menjadi individu yang profesional. Akhirnya, menjadi warga dunia juga berkaitan erat dengan keberlanjutan lingkungan.
Gaya hidup dan konsumsi individu memiliki dampak ekologis yang berskala global. Oleh karena itu, warga dunia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan alam dan mempromosikan pola hidup yang ramah lingkungan (Carter, 2001). Tanggung jawab ini merupakan bagian dari etika global yang mengedepankan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian bumi.
Secara keseluruhan, menjadi warga dunia bukan sekadar idealisme, melainkan suatu keharusan di era modern yang ditandai oleh keterhubungan global. Dengan memelihara kesadaran lintas batas, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal, serta mengambil bagian aktif dalam menyelesaikan tantangan global, warga dunia berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua.
Bagaimana caranya menjadi warga dunia? Sudah saatnya kita memulai proses menemukan jati diri sebagai warga dunia, karena status sebagai warga dunia tidaklah diperoleh begitu saja, namun ia merupakan sebuah identitas yang diperjuangkan melalui kesadaran dan tindakan nyata.
Adapun langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pengetahuan melalui peningkatan literasi global, yaitu kemampuan untuk memahami isu-isu internasional seperti pemanasan suhu bumi, kemiskinan, pembantaian, keberlanjutan lingkungan, dan lain-lain. Upaya seperti mempelajari bahasa asing, mengikuti diskusi internasional, atau sekadar membangun empati terhadap masyarakat dari budaya lain merupakan bentuk nyata dari terbentuknya kesadaran global tersebut.
Selain itu, konsep “berpikir global, bertindak lokal” merupakan prinsip kunci dalam kewarganegaraan global. Individu tidak perlu menunggu untuk memiliki pengaruh internasional agar dapat berkontribusi. Justru, perubahan besar dapat dimulai dari tindakan kecil di lingkungan sekitar yang mencerminkan kepedulian global.
Misalnya, menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, mendukung produk berkelanjutan, serta aktif dalam kegiatan sosial dan edukasi yang mendorong keadilan dan inklusi. Seperti yang dinyatakan oleh Carter (2001), etika kewarganegaraan global mencakup komitmen terhadap keadilan sosial, solidaritas lintas batas, dan keberlanjutan ekosistem dunia. Mengembangkan tanggung jawab sebagai warga dunia juga menuntut refleksi moral terhadap keputusan dan perilaku sehari-hari.
Dalam masyarakat global yang saling terhubung, setiap tindakan individu memiliki potensi dampak global – baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, menjadi warga global berarti menyadari bahwa identitas kita tidak berhenti pada batas geografis negara, tetapi terhubung dengan umat manusia secara keseluruhan. Dengan kesadaran, empati, dan tindakan yang berkelanjutan, setiap individu dapat memulai langkah kecil menuju peran aktif dalam komunitas global yang inklusif dan berkeadilan. (Arini Nurul Hidayati)
Penulis merupakan merupakan Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Siliwangi. Saat ini Arini sedang menjalankan studi doktoral pada School of Education di College of Arts, Social Sciences, and Celtic Studies, University of Galway, Irlandia.