RADAR TASIKMALAYA – Era Globalisasi 5.0 membawa perubahan besar dalam dunia kerja, di mana teknologi seperti kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi semakin mendominasi berbagai sektor industri.
Perubahan ini menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi tenaga kerja, yang harus terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman agar tetap relevan dalam persaingan global. Dalam konteks ini, upskilling, reskilling, dan bahkan deskilling menjadi hal yang krusial. Transformasi industri yang semakin berbasis teknologi menuntut pekerja untuk meningkatkan keterampilan mereka atau bahkan menguasai keahlian baru.
Banyak pekerjaan tradisional yang mulai tergantikan oleh otomatisasi, sementara di saat yang sama, pekerjaan baru berbasis teknologi bermunculan. Tanpa kemampuan untuk beradaptasi, tenaga kerja berisiko mengalami deskilling, yaitu menurunnya nilai keahlian akibat ketertinggalan dari perkembangan industri.
Persaingan tenaga kerja tidak lagi terbatas pada satu negara, tetapi telah meluas ke tingkat global. Mobilitas tenaga kerja yang semakin tinggi memungkinkan perusahaan mencari individu dengan keterampilan terbaik dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, mereka yang memiliki keterampilan terkini lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan berkualitas, sementara mereka yang tidak mampu beradaptasi akan tertinggal.
Pentingnya upskilling dan reskilling tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga berpengaruh terhadap produktivitas dan daya saing ekonomi suatu negara. Negara yang memiliki tenaga kerja yang terampil dan mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi akan lebih unggul dalam persaingan global.
Sebaliknya, negara yang tidak berinvestasi dalam peningkatan keterampilan tenaga kerjanya akan kesulitan menghadapi dinamika ekonomi yang semakin kompleks. Dengan demikian, menghadapi era Globalisasi 5.0, kebutuhan akan peningkatan keterampilan bukan hanya menjadi tanggung jawab individu semata, tetapi juga memerlukan peran aktif dari perusahaan dan pemerintah.
Diperlukan kebijakan dan program yang mendukung pengembangan keterampilan tenaga kerja secara berkelanjutan, sehingga mereka tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat berkembang dalam lanskap kerja yang terus berubah.
Globalisasi 5.0 menandai era baru di mana teknologi digital terintegrasi secara menyeluruh dalam kegiatan ekonomi, sosial, budaya, termasuk dunia kerja.
Menurut Nada & Handayani (2022), konsep Society 5.0 merupakan respons terhadap cepatnya perkembangan teknologi digital dan bertujuan menciptakan masyarakat yang berpusat pada manusia dengan dukungan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan, big data, dan Internet of Things.
Dalam konteks dunia kerja, Society 5.0 membawa perubahan lanskap yang sangat signifikan, di mana pekerjaan-pekerjaan berbasis keterampilan rutin dan manual mulai tergantikan oleh otomatisasi dan robotika. Meskipun demikian, konsep ini juga membuka peluang bagi munculnya jenis-jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada sebelumnya, terutama di sektor digital dan kreatif. Di sisi lain, Pongoh et al. (2023) menekankan bahwa implementasi teknologi dalam dunia kerja di era globalisasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga menyangkut transformasi budaya organisasi, struktur kerja, dan cara manusia menyelesaikan tugas.
Teknologi seperti kecerdasan buatan dan komputasi awan telah memungkinkan kerja menjadi lebih fleksibel dan kolaboratif, termasuk meningkatnya tren kerja jarak jauh. Namun, tantangan seperti keamanan data, ketergantungan digital, dan dampak psikologis terhadap pekerja juga muncul sebagai konsekuensi dari perubahan ini.
Oleh karena itu, dibutuhkan strategi adaptasi yang tidak hanya berfokus pada pemanfaatan teknologi, tetapi juga pada penguatan kesiapan mental dan struktural dalam menghadapi era kerja yang semakin digital dan kompleks.
Perubahan cepat dalam dunia kerja yang didorong oleh teknologi menuntut tenaga kerja untuk terus meningkatkan dan memperbarui keterampilan. Dalam hal ini, upskilling dan reskilling menjadi dua pendekatan utama yang harus dilakukan. Upskilling berarti peningkatan keterampilan dalam bidang kerja yang sama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, sedangkan reskilling adalah pembelajaran keahlian baru agar tenaga kerja bisa berpindah ke bidang pekerjaan lain yang lebih relevan.
Perubahan yang cepat akibat adopsi teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, dan otomasi, menuntut tenaga kerja untuk memiliki keterampilan baru yang relevan agar tetap kompetitif dan produktif. Tanpa peningkatan dan pembaruan keterampilan, banyak pekerjaan konvensional berisiko tergantikan oleh mesin, sehingga pelatihan upskilling dan reskilling menjadi investasi penting bagi perusahaan dan pemerintah.
Fenomena deskilling yaitu penurunan keterampilan karyawan karena otomatisasi, telah muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi digital yang telah mengubah industri media. Transformasi ini, yang dipengaruhi oleh digitalisasi dan konvergensi media, menimbulkan tantangan struktural dan etis bagi mereka yang bekerja di media.
Adapun pandangan dari Mosco, Smythe dan Bhaverman mengungkap cara kapitalisme menggunakan teknologi untuk mengoptimalkan keuntungan sambil mengorbankan kreativitas karyawan. Tidak hanya fenomena ini menyebabkan pekerja kehilangan kontrol atas proses kreatif, tetapi juga meningkatkan ketidaksetaraan dalam dinamika tenaga kerja media.
Pengaruh dari adanya digitalisasi bagi para karyawan yakni hilangnya keterampilan mendalam karena otomatisasi menggantikan keterampilan dasar yang dimiliki. Tidak menutup kemungkinan perubahan teknologi digital telah menciptakan pekerjaan baru, tetapi seringkali pekerjaan tersebut sangat terstruktur, dengan keterampilan pekerja yang semakin spesifik dan mudah diukur, sehingga mengurangi kontrol mereka atas proses kreatif. Selain itu dari adanya deskilling ini bagi para pihak perusahaan memunculkan adanya unsur kapitalisme.
Karena hal tersebut memungkinkan bagi para pihak perusahaan menekan upah dan mengoptimalkan keuntungan. Dengan mereduksi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang sederhana dan dapat diotomatisasi, perusahaan dapat dengan mudah menggantikan pekerjaan dengan teknologi atau dengan pekerja baru yang dilatih dengan cepat.
Selain itu Bravermen beranggapan bahwa kapitalisme mendorong proses deskilling. Karena dari adanya deskilling ini sangat menguntungkan pemilik modal, sementara untuk pekerja dapat mengakibatkan kehilangan otonomi, kreatifitas dan keterampilan yang dulunya menjadi bagian penting dari pekerjaan mereka.
Lulusan akademisi harusnya memiliki kompetensi yang dibutuhkan lapangan pekerjaan sehingga dapat bersaing. Dunia pekerjaan saat ini membutuhkan sumber daya manusia yang melek teknologi dan mampu bersaing secara global.
Oleh karena itu dibutuhkannya sebuah proses pendidikan yang dinamakan life long education (pendidikan sepanjang hayat). Pendidikan sepanjang hayat merupakan proses pembelajaran tanpa batasan usia untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan individu.
Pendidikan sepanjang hayat berguna untuk mengembangkan potensi seseorang yang bermanfaat untuk kemampuan adaptasi di masyarakat. Secara ekonomis, pendidikan sepanjang hayat dapat meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan potensi yang dimiliki.
Di era 5.0, kemajuan teknologi telah mengubah kebutuhan tenaga kerja dan menuntut keterampilan adaptif yang diperoleh melalui pendidikan life long learning. Pendidikan sepanjang hayat atau life long learning merupakan salah satu pilar utama dalam menciptakan tenaga kerja yang kompetitif dan adaptif di era digital. Di Indonesia pendidikan sepanjang hayat dalam konteks kebijakan pendidikan baru diposisikan sebagai daftar filosofis dan prinsip dalam menyelenggarakan pendidikan. Hal tersebut terumuskan secara eksplisit dalam payung hukum yang langsung mengatur kebijakan pendidikan, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pendidikan sepanjang hayat harus mendukung pertumbuhan secara kompetitif yang sehat untuk menunjukkan sumber pembelajaran alternatif bagi masyarakat. Peran pendidikan sepanjang hayat dalam membangun komunitas belajar di era digital sangat penting.
Pendidikan sepanjang hayat membantu individu meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan pasar tenaga kerja, meningkatkan pertumbuhan pribadi, meningkatkan keberhasilan akademik dan meningkatkan inovasi. Oleh karena itu pendidikan sepanjang hayat harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup individu. (Dafid Anugrah)
Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi, Duta KIP Unsil dan Jajaka Kota Tasikmalaya