Inilah kami, wahai Palestina
Kau ajarkan artinya keberanian
Walaupun tak seperti anak-anakmu
Tekad kami tetap s’lalu bersamamu
Bait di atas merupakan penggalan lirik lagu berjudul “Palestina Milik Kita” yang disenandungkan oleh grup musik Islami, Shoutul Harokah. Lagu tersebut mengilustrasikan seruan kepada dunia bahwa Palestina tidak berjuang sendirian.
Pertempuran antara Palestina dan Israel kembali mencuat beberapa hari yang lalu. Tepatnya pada Sabtu 7 Oktober 2023, dunia dihebohkan oleh kabar penyerangan Hamas pada Israel dengan 5000 roket. Serangan ini dikabarkan menyasar sejumlah fasilitas militer dan publik milik negara peganut ideologi Zionisme tersebut.
Tidak seperti biasanya, Hamas yang bermarkas di Gaza menyerang Israel terlebih dahulu. Mereka melakukan aksi ini setelah sekian lama bertahan dari gempuran pesawat tempur dan roket Israel.
Serangan tersebut ditujukan sebagai aksi pembalasan atas kematian beberapa warga Palestina dan penodaan Masjidil Aqsa oleh aparat Israel beberapa waktu sebelumnya. Oleh karenanya, Hamas sebut aksi ini dengan Operasi Badai Al-Aqsa (Taufan Al-Aqsa). Sedangkan, Israel merespon aksi Hamas dengan Operasi Pedang Baja (Operation of Iron Swords).
NYANYIAN SUMBANG
Pertikaian Palestina dan Israel tak luput menjadi tren perbincangan masyarakat global tanpa kecuali Indonesia. Sudah sejak lama, Indonesia menjadi negera yang paling terdepan dan konsisten membela Palestina.
Komitmen terhadap perjuangan Palestina diteguhkan kembali oleh Retno Marsudi selaku Menlu Indonesia, di Sidang Majelis Umum PBB pada Sabtu, 23 September 2023 yang lalu. Dengan nada bicara yang tegas, beliau katakan, “Indonesia will not back an inch in our support for Palestinian statehood.”
Meskipun dukungan untuk Palestina terus mengalir, akhir-akhir ini “nyanyian sumbang” untuk negeri terjajah itu mulai terdengar di Indonesia. Sebagian figur publik Indonesia menilai perlawanan rakyat Palestina yang dimotori oleh Hamas sebagai perjuangan sia-sia dan menyamakan status Hamas dengan organisasi teroris.
Setidaknya terdapat dua buah video yang beredar di linimasa media sosial kita setelah serangan Hamas kepada Israel terjadi. Video yang dimaksud menampilkan dua orang figur publik Indonesia yaitu Permadi Arya alias Abu Janda dan Ustaz Riyadh bin Bajrey. Video yang menampilkan Abu Janda nampaknya adalah video baru, sementara video Ustaz Riyadh Bajrey adalah potongan ceramahnya yang sudah lama diunggah.
TERORIS: PALESTINA ATAU ISRAEL?
Dalam videonya, Abu Janda menyatakan Hamas melakukan berbagai aksi kekerasan pada rakyat sipil Israel seperti membunuh perempuan, manula, dan menyiksa anak-anak. Di akhir video, ia katakan bahwa yang sedang terjadi di Israel adalah aksi terorisme murni.
Ucapan Abu Janda dalam video yang dimaksud tak ayal layaknya agen propaganda negara-negara Barat. Beberapa hari pasca serangan tersebut, AS, Inggris, Prancis, Italia, dan Ukraina kompak mengutuk Hamas dan menjustifikasi tindakan mereka sebagai aksi teror.
Pernyataan Abu Janda maupun negara-negara Barat tersebut sungguh ironis. Mereka begitu bersemangat memvonis Hamas sebagai teroris padahal sesungguhnya motif di balik aksi Hamas ini tiada lain daripada sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan nasib bangsanya agar terbebas dari belenggu penjajahan Israel.
Mereka semua justru bungkam dengan aksi teror yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina. Sejak negara Israel diproklamasikan oleh David Ben Gurion pada 14 Mei 1948, Palestina berdiri di bawah bayang-bayang penjajahan Israel. Artinya sudah 75 tahun rakyat Palestina selalu hidup di bawah ancaman teror!
Selama itulah penduduk Palestina dipaksa berkompromi dengan segala aksi kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Namun, sayang seribu sayang, negara-negara yang konon menempatkan HAM pada tempat yang terhormat justru diam seribu bahasa melihat kebejatan Israel.
Data statistik yang memuat perbandingan korban jiwa akibat penjajahan Israel atas Palestina dapat menjadi tolok ukur pihak mana yang sesungguhnya layak disebut sebagai teroris. Dilansir dari infografis yang diunggah oleh akun Instagram @tirtoid pada 11 Oktober lalu menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir, korban jiwa terbanyak selalu ditanggung oleh Palestina.
Korban jiwa dengan jumlah terbanyak terjadi pada 2018 yakni sebesar 31.599 orang. Pada tahun ini, jumlah korban dari Palestina sementara waktu telah mencapai 8.735 orang. Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, korban jiwa dari Israel selalu berada di bawah angka 500 orang.
Data di atas sudah lebih dari cukup untuk dijadikan indikator penilaian pihak mana yang sebenarnya bertindak sebagai penebar teror. Ada pun soal narasi sentimental Abu Janda, kiranya kita semua perlu sadar bahwa tak sedikit orang-orang yang rela mengorbankan idealisme dan kesucian hati hanya demi sesuap nasi.
HAMAS BONEKA ISRAEL?
Video lainnya yang tak kalah bernada sentimental ialah potongan ceramah dari seorang dai kondang bernama Ustaz Riyadh Bajrey. Dalam kesempatan itu, ia katakan Hamas sebagai boneka Israel yang ditujukan untuk melegitimasi pembunuhan terhadap rakyat Palestina.
Sayang seribu sayang, ustaz yang konon berpaham salafi ini tidak menyebutkan satu pun referensi ilmiah. Ia hanya mengandalkan retorika bernada sentimen untuk mendukung pernyataannya.
Berbagai referensi ilmiah sesungguhnya telah lama mengungkapkan bahwa Harakat Al-Muqawwamah Al-Islamiyah (Hamas) adalah salah satu organisasi perlawanan rakyat Palestina. Embrio organisasi ini beririsan dengan kehadiran aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) yang membuka cabang di Palestina.
Mahlil Idatul Khumairoh dan Abdul Fadhil dalam artikel ilmiah berjudul “Gerakan Intifadhah dan Kemunculan Hamas (1987-1993)” yang diterbitkan Jurnal Periode pada 2019 menyatakan, kelahiran Hamas sangat erat kaitannya dengan gerakan Intifadhah atau aksi perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel pada dasawarsa 1980-an.
Hamas didirikan pada 14 Desember 1987. Kelahiran organisasi ini diinisiasi oleh Syaikh Ahmad Yasin, Abdel Aziz al-Rantissi, Muhammad Taaha, Ibrahim al-Bazuri, Muhammad Syamah, Abdul Fatah Dakhon, Isa an-Nasyr, dan Shalah Syahadah.
Para pendiri Hamas menilai berunding dengan Israel bukanlah strategi perjuangan yang tepat. Mereka memilih berjuang mengangkat senjata secara gerilya dan terkadang frontal untuk menghadapi Israel.
Aksi yang dilancarkan Hamas terbukti meraih dukungan besar dari rakyat Palestina. Organisasi ini dapat mengakar di Palestina karena turut berkecimpung dalam bidang sosial, pendidikan, dan media massa. Berkat program yang berpihak kepada rakyat itulah, Hamas mampu memegang kendali pemerintahan di Palestina setidaknya semenjak gelaran Pemilu 2006 silam sampai hari ini.
Bagi hemat penulis, narasi yang disampaikan Ustaz Riyadh Bajrey merupakan ungkapan kontra-produktif. Sebagai seorang guru agama sekaligus figur publik, seharusnya ia memberikan informasi yang kredibel terkait perjuangan rakyat Palestina bukan malah mengdepankan sentimen pribadi.
JAS MERAH!
Narasi yang dikemukakan oleh dua figur publik Indonesia tersebut memberikan pelajaran pada kita bahwa di balik derasnya dukungan untuk perjuangan Palestina, rupanya selalu ada “nyanyian sumbang” yang berupaya memadamkan tekad perjuangan. Tidak ada ungkapan yang pantas untuk disampaikan dalam kesempatan ini selain doa untuk keselamatan dan kemenangan untuk saudara-saudara kita di Palestina.
Bila raga kita belum mampu memberikan dukungan untuk Palestina, setidaknya jangan pernah sekali-kali membiarkan lisan dan tangan kita meremehkan perjuangan mereka. Ingatlah! Bangsa kita pernah berada di posisi terjajah seperti bangsa Palestina. Oleh karena itu, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! (Naufal Al-Zahra)
Penulis adalah Mahasiswa Sejarah PPG Prajabatan Unsil 2023, Alumni Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Siliwangi