RADAR TASIKMALAYA – KPU resmi menetapkan Prabowo-Gibran, Ganjar Mahpud, dan Anies-Muhamin sebagai Capres-Cawapres 2024. Lolosnya pasangan Prabowo-Gibran seakan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum ‘rule of law” sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun, konsep negara hukum tersebut telah mengesampingkan nila tidak tertulis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni etika.
Roman penuh drama dimulai sejak Mahkamah Konstitusi memberikan tiket khusus pada putra Presiden yang sedang menjabat Wali Kota Solo yang belum berusia 40 tahun tetapi dengan bantuan Sang Paman yang menjabat Ketua MK akhirnya bisa mendaftar sebagai calon Wakil Presiden. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang di luar kewenangan dengan membuat keputusan hukum padahal MK hanya menguji gugatan Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, bukan membuat norma baru.
Perubahan hukum itu adalah tugas pembuat hukum yakni DPR dan Presiden, namun, karena keputusan MK akan bersifat final dan mengikat sebagai pengadilan pertama dan terakhir maka pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden tetap legal secara hukum. Kecuali, Gibran sendiri secara sadar tidak menggunakan tiket tersebut. Tetapi karena siding MK tersebut sengaja untuk memuluskan langkah putra Presiden maka hal itu tetap terjadi.
Respons dari masyarakat atas keputusan MK tersebut ditanggapi oleh MK dengan membentuk Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Persidangan jeruk makan jeruk tersebut, kenapa jeruk makan jeruk? Karena tiga hakim MKMK dilantik oleh ketua MK. Akhirnya, Anwar Usman diberhentikan dari Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik hakim, namun tetap menjadi hakim MK, serta keputusan MKMK tersebut tidak mengubah putusan MK.
Ada apa dengan etika politik di negara kita? Rasa malu yang semakin hilang demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Segala cara yang dilakukan termasuk mengutak-atik aturan sekehendak yang berkuasa. Mungkinkah ada pergeseran nilai etis pada bangsa kita? Hal yang dulu dianggap tabu dan tidak wajar, namun sekarang menjadi tontonan yang sangat vulgar.
Ketika praktik politik jauh dari nilai etik, dan politik itu terus berjalan membuat sebuah produk yang namanya hukum, maka hasilnya pun tidak jauh berbeda. Kebijakan yang baik akan lahir dari proses yang baik, proses yang baik itu pun ketika dijalankan oleh orang-orang baik. Jangan berharap kita akan punya pemimpin yang baik jika lahir dan dipilih dari proses demokrasi politik yang tidak sehat.
Peristiwa lain yang mengganggu kewarasan berpikir dalam kehidupan politik bernegara saat ini yakni adanya pemain yang merangkap sebagai wasit. Tidak adanya aturan cuti total atau mengundurkan diri bagi pejabat yang menjadi calon peserta Pemilu adalah bukti nyata.
Rakyat bingung kepada pejabat yang berbicara netralitas dan menjamin Pemilu akan berjalan baik, apalagi menjadi penaggungjawab masalah politik, hukum dan keamanan bahkan pertahanan negara, sementara orang terebut sebagai pelaku politik.
Biarlah konsep hukum berjalan walau hukum tersebut penuh rekayasa, etika pun akan tetap berjalan pada jalurnya. Sanksi etik akan berlaku jika siapa pun yang menjauh dari nilai moral maka rakyat punya hak untuk memberikan sanksi moral tersebut, yakni memilih atau tidak memilih.
Hal ini pun bukan perkara mudah apalagi para pemilihnya tidak memiliki pertimbangan nilai etis. Namun, jika slogan Pemilu itu berjalan yakni Jurdil (jujur dan adil) maka masyarakat akan memberikan sanksi moral, yakni dengan tidak memilih pemimpin yakni tidak punya rasa malu. Siapa pun nanti yang terpilih dan ditetapkan sebagai pemenang, di situ kita akan sadar level dan kualitas bangsa kita.
Kita pun banyak disuguhkan oleh para pendukung masing-masing calon yang saling serang, hanya calon yang didukungnyalah yang baik dan benar, sementara calon lain adalah orang jahat, pengkhianat dan tidak punya prestasi apa pun.
Alhasil, semua calon pemimpin kita saat ini, adalah orang buruk, sehingga kita hanya bisa memilih minimal mana yang tidak terlalu buruk. Sebagaimana system demokrasi, yang juga bukan system baik, demokrasi adalah sistem yang buruk namun kenapa dipilih? karena yang lain lebih buruk.
Pesta Demokrasi 2024 yang merupakan Pemilu serentak untuk pertama kalinya dan diyakini sebagai jembatan menuju Indonesia emas 2045 idealnya menjadi momentum untuk memilih pemimpin terbaik, bukan sekedar berebut kekuasaan dan bagi-bagi jabatan. Sosok visioner yang punya gagasan besar, bukan hanya keterampilan teknis yang banyak dimiliki oleh juga oleh pada masyarakat umum. (K Adi Saputra SPd MPd)
Penulis adalah Dosen MKWK Pancasila dan Kewarganegaraan Unsil
keren paa