Negara di Meja Makan, Menakar Janji Makan Bergizi Gratis

Kesehatan48 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Pagi ini, di meja makan kebijakan nasional, tersaji sepiring nasi, lauk, sayur, dan buah. Bukan sembarang menu, melainkan simbol program unggulan Presiden Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemerintah menjualnya sebagai investasi masa depan bangsa, obat mujarab untuk stunting, malnutrisi, dan generasi kurang gizi. Sebuah gagasan yang di atas kertas memang menggoda, menargetkan anak-anak kenyang, gizi terpenuhi, daya pikir meningkat, petani lokal untung, dapur berasap, dan lapangan kerja tercipta. Semua senang.

Tapi seperti banyak hal di negeri ini, jarak antara piring konsep dan piring kenyataan sering lebih jauh daripada jarak Jakarta–Merauke. Dalam tahap awal, pemerintah menyebut jutaan anak sudah menerima manfaat, dengan target puluhan juta penerima dalam waktu singkat. Angka-angka ini dibalut narasi heroik bahwa negara hadir sampai ke meja makan anak-anak. Bahkan, jika Anda percaya penuh pada infografis kementerian, MBG akan mengubah wajah bangsa hanya dalam beberapa tahun.

Mari kita akui dulu, niatnya ini tentu baik. Masalah gizi memang nyata dan mengakar. Anak yang tumbuh dengan tubuh kurang gizi akan membawa kerugian jangka panjang, antara lain anak dapat memiliki kecerdasan terbatas, kesehatan rapuh, produktivitas rendah. Memberi makan bergizi di sekolah itu punya landasan ilmiah kuat. Banyak negara melakukannya, dan hasilnya positif. Tapi di Indonesia, niat baik sering harus berjuang melawan musuh lama, seperti birokrasi yang kaku, koordinasi yang remang, logistik yang belepotan, dan, tentu saja, godaan korupsi yang selalu hadir bak sambal di meja makan.

Untuk menyuplai makanan sehat setiap hari bagi puluhan juta penerima, diperlukan ribuan dapur, distribusi segar hingga pelosok, gudang penyimpanan yang layak, tenaga terlatih, dan pengawasan ketat. Semua ini bukan urusan enteng. Indonesia pernah punya proyek-proyek besar yang runtuh bukan karena idenya buruk, tapi karena eksekusi yang tak pernah sampai garis akhir. Kalau yang disasar adalah anak-anak di pelosok, tantangan menjadi berlipat ganda. Di kota, mungkin dapurnya rapi, menunya cantik, fotonya Instagramable. Di pulau terpencil? Bisa jadi lauknya hanyalah telur rebus dua hari lalu.

Lalu soal uang. Anggaran MBG bukan recehan; triliunan rupiah sudah disiapkan, dan jika program berjalan penuh, angka itu bisa berlipat setiap tahun. Pertanyaan sederhana, ini prioritas paling mendesak atau hanya program paling ”terlihat” karena janji politik? Sebab mengatasi stunting tidak cukup dengan sepiring nasi ayam, ada sanitasi, kesehatan ibu hamil, pendidikan gizi keluarga, hingga air bersih yang sering luput dari foto-foto seremoni. Anggaran adalah pilihan nilai; menaruh porsi besar di satu piring berarti mengurangi porsi di piring lain.

Ada pula risiko pasar. Permintaan mendadak dan besar untuk bahan pokok —beras, telur, ayam, sayur— bisa mendorong harga naik. Jika pasokan lokal tidak siap, keluarga miskin yang tidak termasuk penerima MBG justru akan menderita. Pilihan impor untuk menutup kekurangan akan memukul petani lokal. Idealnya, MBG menjadi lokomotif pertanian lokal, beli dari petani setempat, bayar layak, dan menjaga kestabilan harga. Tapi hal ideal itu harus dilawan dengan fakta, bahwa pengadaan besar sering digarap oleh jaringan lama yang lebih piawai memenangi tender daripada menanam padi. 

Dan jangan lupa, di balik aroma masakan, ada bau lain yang sering muncul di proyek berskala nasional, yakni kebocoran anggaran. Dari markup harga, manipulasi data penerima, hingga kolusi pemasok. Sepiring nasi bisa jadi mahal bukan karena lauknya wagyu, tapi karena jalannya berliku penuh pungli. Tanpa pengawasan transparan, audit independen, dan partisipasi publik, MBG bisa berubah menjadi singkatan lain: Makan Bersama Geng.

Dimensi politiknya juga menarik. Sepiring makanan bergizi adalah simbol yang gampang dipahami rakyat. Dalam politik, simbol sederhana dan bisa difoto adalah emas. Anak-anak berbaris menerima makan siang, Presiden tersenyum di dapur umum, dan yakinlah, gambar seperti ini lebih kuat dari ribuan kata. Target besar dan cepat memperkuat narasi ”pemerintah bekerja”, walau risiko tergelincir ke kebijakan performatif yang “hanya” mengejar kuantitas dan sorotan kamera, sementara kualitas dan keberlanjutan jadi bumbu pelengkap, bukan bahan utama.

Padahal, jika ingin meninggalkan warisan jangka panjang, MBG harus dijalankan seperti resep keluarga yang diwariskan turun-temurun; matang dalam perencanaan, sabar dalam proses, dan konsisten dalam rasa. Uji coba dulu di wilayah yang mewakili beragam tantangan, evaluasi, perbaiki, baru perbesar skala. Libatkan komunitas lokal menentukan menu sesuai budaya dan musim. Gunakan kontrak jangka panjang dengan koperasi petani setempat agar mereka berani meningkatkan produksi. Integrasikan dengan pemeriksaan kesehatan rutin dan pendidikan gizi di sekolah.

Dan yang paling penting, ukur keberhasilan bukan hanya dari jumlah perut yang terisi, tetapi dari indikator nyata, apakah angka stunting turun? Apakah berat dan tinggi anak membaik? Apakah prestasi belajar meningkat? Apakah ekonomi desa penghasil bahan pangan ikut tumbuh? Jika indikator ini bergerak positif, barulah kita bisa bilang sepiring nasi ayam itu benar-benar bekerja.

Satirnya begini, negara boleh saja menabuh genderang program makan gratis, tapi rakyat akan menilai dari rasa di mulut anak-anak. Kalau nasinya keras, lauknya basi, atau programnya berhenti begitu ganti menteri, genderang itu cuma bising di telinga. Sepiring masa depan tak boleh hanya jadi properti panggung politik, ia harus menjadi bagian dari keseharian, yang esok, lusa, dan tahun-tahun berikutnya tetap hadir di meja makan anak bangsa.

Kalau itu bisa dijaga, MBG bukan sekadar singkatan program pemerintah. Ia bisa menjadi simbol bahwa negara ini, untuk sekali ini, benar-benar serius mengurus rakyatnya sampai ke urusan piring. Dan itu, di negeri yang sering lapar bukan hanya karena perut, tapi juga karena kebijakan yang setengah matang, adalah kemewahan yang pantas kita perjuangkan bersama. (Aye Rakhmat Hidayat)

Aye Rakhmat Hidayat adalah kolumnis dan esais Tasikmalaya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *