RADAR TASIKMALAYA – Selalu ada duka yang bersemayam dalam jiwa manusia, dan untuk menghibur diri, manusia seringkali berlindung dalam teodisi. Namun, Voltaire menyindir teodisi semacam itu dengan sinis, “semuanya baik, semuanya perlu.” “Tout est bien, dites-vous, et tout est nécessaire.” Manakah yang lebih mungkin diterima manusia, tentu beragam jenis jawabnya. Tetapi otoritas agama (atau dogma) yang kokoh, menjawab pertanyaan itu.
Sebagaimana Nietzsche, Marx, atau para filsuf spektis lain, kita mungkin pernah meragukan “desain adil” dari Tuhan dalam hidup yang cidera. Kita bisa membayangkan, misalnya, direnggutnya indra pendengaran bagi seorang musikus mungkin mirip sebuah kiamat, dan hal itu mungkin merupakan duka terbesar tak terbayangkan yang dialami oleh komposer besar yang lahir di Bonn, Jerman, Ludwig van Beethoven.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya di tahun 1801 ketika berusia 31 tahun, Beethoven memang sudah mengalami gangguan pendengaran akibat penyakit otosleorosis, lantas karena keadaan itu, ia pun menjauh dari “lingkaran” pergaulan para musikus. Namun baru pada tahun 1817, di usia 47 tahun, ia mengalami ketulian total. Kita mungkin berpikir, apabila seorang musikus sudah tidak bisa lagi mendengar, maka mustahil ia bisa menciptakan musik. Dunianya berhenti berputar. Namun dalam ketulian total itu, Beethoven justru tetap mampu menulis banyak komposisinya yang terkenal di kemudian hari. “Heiliger Dankgesang” (kuartet senar No. 15, Opus 132), misalnya.
Dalam hal ini, Beethoven justru mampu bernegosiasi dengan “kiamat” yang menghampirinya tanpa izin, dan ia pun memformulasikan cara baru untuk “mendengar” musik, yakni dengan “melihatnya”. Bebunyian yang terstruktur sebagai irama, kini seolah-olah menjadi objek visual di hadapannya.
Pada suatu rekaman video, yang dibuat untuk suatu keperluan promosi produk sampo dengan judul “The Deaf Violin Player”, saya melihat kisah serupa. Di sana ada seorang gadis bisu-tuli yang ingin belajar bermain biola. Namun teman sebayanya, seorang pemain piano, justru menolak (dan bahkan mempersekusi) dirinya. Intinya, dalam pandangan gadis pemain piano itu, tidak ada masa depan bagi seorang bisu-tuli untuk menjadi seorang musikus. Tapi si gadis bisu-tuli tidak menyerah, dan sikap keras kepala itu membuat teman sebayanya kesal. Dalam keterasingan si gadis bisu-tuli, ia mencari alternatif. Kehendaknya ingin melampaui ketidakmungkinan. Lantas, di suatu jalanan yang ramai, ia meminta dijadikan murid kepada seorang pengamen yang memainkan biola—yang ternyata memiliki kondisi serupa dengannya.
Setelah diterima sebagai murid, si gadis bisu-tuli bertanya dengan bahasa isyarat sambil menangis, “kenapa aku berbeda dengan yang lain?” Lalu si pengamen bisu-tuli balik bertanya, juga dengan bahasa isyarat, “kenapa kita harus sama dengan yang lain?” Pengamen bisu-tuli itu lantas berucap, “musik adalah sesuatu yang dapat kita lihat”. “Music is a visible thing.” Di sinilah, barangkali, sensasi identik saya tangkap dari si gadis bisu-tuli dan Beethoven. Keduanya masih percaya pada harapan. Mungkin juga saat itu, mereka menyadari musik sebagai “lanskap yang bergerak dan bergetar”.
Kembali ke si gadis bisu-tuli. Seperti Beethoven, ia menemukan kembali gairah dan rasa cinta yang nyaris patah itu pada musik setelah perbincangannya dengan si pengamen bisu-tuli, dan si gadis bisu-tuli itu pun bekerja keras—dalam keterbatasannya yang memilukan—untuk berlatih memainkan biola. Tentu ada banyak gangguan, terutama dari “yang lain” itu, sebab—ujar Canetti—“tidak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tak-dikenal.” Ketakutan dari “yang lain” ini mungkin muncul dari ketidaksiapan melihat ketidakmungkinan melampaui dirinya, yang membuatnya menjadi sekadar debu dengan segala kelengkapannya. Menjelang akhir video itu juga diperlihatkan si pengamen bisu-tuli yang terkapar di rumah sakit, karena diserang oleh “yang lain” itu.
Lalu setelah sekian waktu, kerja keras, juga tangisan, si gadis bisu-tuli berdiri di pentas, memainkan melodi “Cannon Rock” gubahan Jerry C. dengan atraktif. Penonton tercengang, terpesona—juga tidak menduga—sesuatu yang indah dapat disajikan oleh seseorang yang mereka anggap tidak mungkin melakukannya. Mereka takjub atas kontradiksi di hadapannya.
Dalam konteks ini, barangkali teodisi Leibniz dapat dipertimbangkan kembali, bahwa bila ada durjana dan aniaya, malapetaka dan kepedihan, itu tentu berdasarkan asas alasan Tuhan yang cukup. Asas “alasan yang cukup” mengindikasikan latar belakang berupa rahmat dan desain indah yang disiapkan Tuhan setelah kehidupan yang pedih, sebab—seperti ucapan Chrysippus—“hewan yang buas ada untuk menguji kekuatan manusia.” Pandangan seperti ini barangkali ilusif, tetapi manusia memang memerlukan penghiburan epistemis untuk tetap bisa bertahan hidup dengan bahagia.
Perspektif yang dualis semacam ini memberikan kita pilihan untuk memilih melihat mawar dari durinya atau dari kelopaknya yang merah semerbak. Lantas bila kita coba “melihat mawar dari kelopaknya”, maka dalam hidup yang begini terbatas, ternyata keajaiban masih tersedia, setidaknya sebagai suatu pilihan, dan ketidakmungkinan ternyata masih selalu terbuka untuk dinegosiasi. (Candrika Adhiyasa)
Penulis dan alumni Pendidikan Geografi, FKIP, Universitas Siliwangi.