Merawat Kewiraan Guru

Pendidikan33 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA –  “….Kalau di antara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti?….

….Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu….

….seorang guru adalah kurban — kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat — membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa.” Pramoedya Ananta Toer dalam Bukan Pasar Malam

Secara etimologis, istilah “guru” terdiri dari dua komponen yaitu ‘gu’ yang berarti kegelapan, dan ‘ru’ yang bermakna pemusnah atau penyingkir. Dengan demikian, kata “guru” dapat dipahami sebagai sosok yang menghilangkan kegelapan, atau dengan kata lain, sebagai pembawa cahaya.

Beratnya tantangan untuk menjadi seorang guru pernah dengan tajam Pramoedya Ananta Toer soroti dalam novelnya Bukan Pasar Malam, “Kalau di antara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru,” pertanyaan itu menggugah kesadaran kita: siapakah yang akan mendidik dan membimbing anak-anak generasi mendatang? Dalam pandangan banyak orang, profesi guru kadang dianggap sepele, padahal merekalah yang memegang kunci masa depan bangsa. Tanpa guru, bagaimana kita bisa berharap meraih cita-cita dan menginspirasi perubahan?

Menjadi guru bukan sekadar pengantar materi di kelas, melainkan sebuah pengabdian yang memerlukan keberanian untuk berkorban. Seorang guru adalah sosok yang terus menerus berjuang demi menciptakan ruang aman bagi muridnya. Dengan penuh dedikasi, mereka membuka pikiran dan hati, menanamkan nilai-nilai kebaikan yang akan tumbuh di dalam jiwa anak-anak itu. Seperti apa yang dikatakan Pramoedya juga, “seorang guru adalah kurban — kurban untuk selama-lamanya.” Ini menunjukkan betapa dalamnya komitmen yang mereka jalani, berkorban waktu, tenaga, dan cinta tanpa pamrih.

Namun, di balik pengabdian mulia ini, masih terdapat tantangan yang sangat berat, yakni kriminalisasi guru. Kasus-kasus yang mengejutkan banyak orang, seperti yang dialami Supriyani, seorang guru honorer yang dikriminalisasi lalu dimintai uang damai hingga Rp 50 juta, serta insiden tragis di Bengkulu di mana seorang guru mengalami kebutaan akibat ditegur oleh wali murid, menunjukkan betapa rentannya posisi guru di masyarakat.

Ini adalah gambaran nyata dari ketidakadilan yang harus dihadapi oleh para pendidik dalam menjalankan perannya. Ditambah lagi, kasus Khusnul Khotimah yang ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap lalai dalam menjaga keselamatan muridnya, menjadi pelajaran bagi kita bahwa seharusnya guru mendapat perlindungan, bukan hukuman. Keberanian mereka untuk mendidik seharusnya diapresiasi, bukan menjadi alasan untuk kriminalisasi.

Ada baiknya kita juga merenungkan hikam Syaikh Ali Thantawi sebagai berikut.

“Tidak anakku, jangan engkau berobsesi dengan profesi ini. Tinggalkanlah jika engkau mampu, karena itu adalah ujian bukan kerjaan. Dia adalah kematian yang lambat, bukan kehidupan. Sesungguhnya seorang guru adalah orang mati syahid yang tidak dikenal, hidup dan mati namun tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, dan tidaklah manusia mengingatnya melainkan untuk menertawakan keanehan dan kedunguannya.”

Syaikh Ali Thanthawi, seorang ulama dan sastrawan Islam dari Mesir, mengingatkan kita dengan tegas bahwa profesi guru bukan sekadar pilihan karier, melainkan ujian berat yang penuh pengorbanan tanpa imbalan yang setimpal. Ia menggambarkan tugas ini sebagai “kematian yang lambat,” menyoroti betapa seringnya dedikasi guru terlupakan dan tidak dihargai. Meskipun begitu, perspektif ini bisa jadi suatu dorongan untuk merenungkan kembali niat seseorang dalam memilih profesi ini. Jika seseorang memilih jadi guru, harus ada ketulusan dan kemauan untuk berkontribusi, meskipun tantangannya besar. Ini bisa jadi refleksi bagi calon guru untuk memikirkan apakah mereka siap menghadapinya dengan sepenuh hati.

Sejatinya, guru adalah manifestasi kewiraan. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang tak pernah lelah berjuang demi menciptakan generasi penerus yang cerdas dan berkarakter. Dalam setiap interaksi, mereka tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun jati diri dan mendorong impian. Melalui usaha dan pengorbanan mereka, dibukalah sumber kebajikan yang tersembunyi dalam diri setiap anak bangsa.

Guru adalah simbol keberanian dan pengabdian dalam menciptakan masa depan yang lebih baik. Kewiraan bisa diartikan sebagai semangat dan sikap yang mencerminkan keberanian, pengorbanan, dan dedikasi kepada bangsa. Ini tidak hanya berkaitan dengan tindakan heroik di medan perang. Kewiraan dalam pendidikan memanifestasikan diri melalui pengajaran nilai-nilai moral dan karakter yang akan membentuk masyarakat yang lebih baik. Guru yang mendorong siswa untuk terus belajar dan berkembang, meskipun menghadapi kesulitan, adalah wujud nyata dari manifestasi kewiraan.

Tidak sedikit guru yang telah mengubah hidup siswa dengan dedikasi dan keberanian mereka. Misalnya, ada kisah guru yang rela berperang melawan kebodohan dan kemiskinan di daerah terpencil. Dengan segala keterbatasan, mereka tetap mengajarkan ilmu dengan sepenuh hati. Tindakan heroik mereka, seperti melindungi siswa di saat krisis, juga menjadi bukti nyata bahwa guru adalah pahlawan masa kini.

Di tengah gempuran perubahan zaman, guru tetap menjadi pahlawan yang tak terlihat, mengukir karakter dan membentuk masa depan lewat dedikasi dan cinta pada ilmu. Mereka bukan sekadar pengajar, melainkan penuntun yang memberi harapan dan inspirasi bagi generasi muda untuk bermimpi dan berjuang. Setiap pelajaran yang mereka berikan adalah benih masa depan.

Merawat kewiraan guru adalah suatu tindakan yang sangat krusial dalam membangun generasi yang berkualitas. Para guru merupakan pilar utama dalam pendidikan, yang bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai moral siswa. Dengan merawat kewiraan mereka, kita menunjukkan penghargaan atas dedikasi dan pengorbanan yang telah mereka lakukan. Hal ini bisa dilakukan melalui pemberian dukungan, pengakuan akan prestasi, serta menciptakan lingkungan belajar yang inspiratif. Ketika kita menghargai dedikasi mereka, kita tidak hanya mengenang pengorbanan, tapi juga memastikan warisan inspirasi terus hidup. Sudahkah kita berperan dalam meneruskan semangat itu?  (Sri Maryani)

Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *