Meneguhkan Jati Diri Tasik Kota Santri (2): Restorasi Spirit Santri dalam Kebijakan Publik

Pendidikan13 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Tulisan sebelumnya telah memotret wajah paradoks Tasikmalaya: kota dengan ratusan pesantren dan simbol religius yang kuat, tetapi menghadapi tantangan serius di bidang kriminalitas, kenakalan remaja, kemiskinan, dan infrastruktur yang tertinggal. Kini, saatnya membahas langkah perbaikan: bagaimana ”Kota Santri” bisa kembali meneguhkan identitasnya—bukan sekadar lewat slogan, tapi melalui laku kolektif dan kebijakan nyata. 

Menguatkan Peran Pesantren dalam Pemberdayaan

Tasikmalaya memiliki lebih dari 800 pesantren dengan ribuan santri dari berbagai penjuru. Tapi jumlah itu belum berbanding lurus dengan kontribusi pada pembangunan sosial akar rumput. Banyak pesantren lebih sibuk mengurusi legalitas kelembagaan ketimbang membangun ketahanan komunitas (Data Kemenag, 2023).

Padahal, sebagaimana ditulis Karel Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Sekolah (1986), pesantren di masa lalu merupakan simpul utama solidaritas sosial, pengendali konflik lokal, dan pusat ekonomi berbasis wakaf. Kini, sejumlah pesantren kehilangan fungsi sosialnya karena terlalu terpusat pada akademik formal.

Dalam studi lapangan oleh Kumparan Edukasi (2022), Pesantren Nurul Huda Cibalong mampu menurunkan kenakalan remaja dengan metode halaqah reflektif dan penguatan nilai. Namun Jurnal Pos Media (2024) menyoroti bahwa sebagian besar pesantren urban cenderung pasif terhadap masalah sosial sekitar mereka, terutama yang tidak memiliki divisi pengabdian masyarakat. 

Baca juga: Meneguhkan Jati Diri Tasik Kota Santri (1): Dari Kriminalitas ke Krisis Karakter

Dari Kota Santri ke Kota Berkarakter

Gagasan “Kota Santri” harus melampaui simbol dan narasi. Seperti ditegaskan oleh KH Ma’ruf Amin dalam Muktamar RMI 2023: “Pesantren jangan sekadar mencetak hafizh, tapi pelopor perubahan sosial yang santun dan membumi.” Pernyataan itu sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) bahwa keislaman harus terwujud dalam keadaban sosial, bukan semata-mata ritual keagamaan.

Pemerintah daerah bisa mulai dengan mengembangkan Kawasan Edukasi Religius Terpadu di titik strategis. Di Kabupaten Pekalongan, model ini telah terbukti menurunkan konflik antar-remaja (Bappeda Jateng, 2022). Pesantren menjadi pusat rekonsiliasi nilai, bukan sekadar lokasi mondok.

Lebih jauh, perlu dibentuk Forum Kolaborasi Moral Kota yang melibatkan sekolah, pesantren, Dinas Pendidikan, Kemenag, dan kepolisian. Tujuannya: membentuk sistem karakter yang hidup, mulai dari kurikulum sekolah, penguatan adab digital, hingga layanan konseling masjid berbasis komunitas. 

Infrastruktur dan Etika Pembangunan

Kritik atas jalan rusak di Tasikmalaya tak bisa hanya dijawab dengan tambal sulam anggaran. Dalam perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas, pembangunan tanpa etika hanya melahirkan kemajuan fisik yang hampa nilai (Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 1995). Jalan ke pesantren rusak, air bersih sulit, dan birokrasi lambat, bukanlah hal teknis semata, melainkan soal kehendak moral pemerintahan.

Beberapa laporan dari warga Singaparna dan Salopa (Mei 2025) menunjukkan bahwa pembangunan lebih cepat menjangkau lokasi wisata daripada pesantren dan kampung-kampung santri. Jika pemerintah betul ingin menjaga ruh Kota Santri, maka pembangunan harus dimaknai sebagai zikir sosial: keadilan, keterbukaan, dan keberpihakan pada yang lemah. 

Spirit Santri di Tengah Arus Zaman

Santri masa kini tak cukup hanya bisa membaca kitab. Ia harus mampu membaca dunia. Sebagaimana ditulis oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), santri adalah sosok yang lentur dalam dialog, tangguh dalam perjuangan, dan kokoh dalam nilai.

Tasikmalaya perlu membentuk wajah santri baru: santri digital, santri lingkungan, santri pendamping perempuan korban kekerasan, santri pembela keadilan publik. Pesantren tidak boleh menjadi ruang yang asing dari problem sosial kota. Justru dari pesantren, seharusnya lahir pemimpin etis dan negarawan masa depan.

Dengan menjadikan pesantren sebagai pusat rekonstruksi nilai, pemerintah dapat meredam fragmentasi identitas remaja sekaligus mengembalikan otoritas moral yang nyaris pudar. Di sinilah makna Kota Santri direstorasi: bukan pada spanduk Maulid, tapi pada kehadiran nyata nilai-nilai Islam di jalanan dan birokrasi.

Penutup

Meneguhkan jati diri Kota Santri tidak bisa hanya melalui seremoni Hari Santri dan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Butuh langkah nyata: audit keadilan sosial, tata kelola beretika, dan pemberdayaan pesantren sebagai pusat nilai.

Jika itu dilakukan, Tasikmalaya tidak hanya menjadi simbol kota seribu pesantren, tetapi juga kota yang menjaga denyut ruh santri dalam pembangunan, tata ruang, hingga kebijakan sosialnya. Sebab ruh santri bukan hanya tentang sarung dan sorban, tetapi tentang adab, amanah, dan keberanian berdiri untuk yang benar. (Budi Rahman Hakim, Ph.D.)

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan alumnus Tilburg University, Belanda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *