RADAR TASIKMALAYA – Di tengah percepatan modernisasi dan derasnya arus urbanisasi, narasi tentang desa sering kali berada dalam posisi marginal: dianggap tertinggal, kurang menjanjikan dan bukan ruang yang relevan bagi masa depan anak-anak.
Pandangan yang reduktif ini perlahan membentuk pola pikir generasi muda, sehingga banyak dari mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa keberhasilan hanya dapat diraih di kota. Padahal, desa menyimpan potensi ekologis, sosial dan budaya yang tidak hanya kaya secara historis, tetapi juga sangat strategis dalam mendukung orientasi ekonomi berkelanjutan.
Karena itu, menanamkan budaya mencintai desa sejak usia dini menjadi agenda penting dalam membentuk karakter generasi muda yang peka terhadap lingkungan, bangga terhadap identitas lokal, sekaligus inovatif dalam memajukan ruang hidupnya.
Menanamkan cinta desa sejak dini bukan sekadar mengajak anak-anak untuk mengenal tempat tinggalnya, tetapi juga mengarahkan mereka untuk memahami keterhubungan mendasar antara manusia, alam dan budaya.
Desa merupakan ruang pembelajaran pertama bagi seorang anak, mulai dari suara alam, ritme musim, hingga nilai gotong royong dan solidaritas sosial. Semua ini merupakan “kurikulum alam” yang kaya, yang pada hakikatnya dapat menumbuhkan kecerdasan ekologis, empati sosial, serta kepekaan budaya.
Namun pengalaman ini akan kehilangan maknanya jika tidak disertai pendampingan yang tepat. Kesadaran kolektif perlu dibangun bahwa pendidikan berbasis desa bukan nostalgia romantik, melainkan pendekatan pedagogis yang memiliki dasar teoretis kuat dalam psikologi perkembangan, pendidikan karakter, serta kajian identitas lokal.
Ketika anak sejak dini diperkenalkan pada cara bercocok tanam, diajak menyadari pentingnya menjaga kebersihan sungai atau mengikuti kegiatan sosial desa, mereka secara tidak langsung sedang dibentuk menjadi individu dengan tanggung jawab ekologis dan sosial yang tinggi.
Keterpaparan pada lingkungan alam yang luas dihapkan mampu meningkatkan relasi emosional anak dengan ruang hidupnya dan relasi ini berpengaruh pada perilaku mereka di masa dewasa. Generasi yang memahami nilai tanah kelahirannya akan tumbuh dengan keyakinan bahwa desa bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas yang harus dijaga dan dikembangkan. Mereka belajar bahwa melestarikan lingkungan bukanlah tugas sesaat, melainkan etika hidup yang melekat sepanjang hayat.
Lebih jauh, cinta desa sejak dini dapat membentuk orientasi ekonomi yang berkelanjutan. Desa merupakan ruang yang kaya akan sumber daya baik pertanian, air, hutan, kerajinan, kuliner tradisional dan potensi wisata.
Sayangnya, potensi ini sering tidak dimanfaatkan secara optimal. Generasi muda yang tumbuh tanpa rasa memiliki cenderung memandang semua itu sebagai hal biasa, bahkan tidak menarik. Namun ketika kecintaan pada desa sudah tertanam sejak masa kecil, mereka mulai melihat potensi-potensi tersebut sebagai peluang ekonomi.
Mereka akan lebih mudah mengembangkan ekonomi kreatif, mengubah kerajinan lokal menjadi produk bernilai tambah atau menjadikan desa sebagai destinasi wisata edukatif yang mempertemukan alam, budaya dan pengalaman khas pedesaan. Di era digital seperti sekarang, kombinasi antara cinta desa, kreativitas dan teknologi dapat menjadi sumber inovasi luar biasa bagi kebangkitan ekonomi lokal.
Generasi muda yang fasih teknologi dapat mempromosikan produk desa melalui media sosial, membangun branding desa, menciptakan platform pemasaran digital untuk UMKM lokal atau mengembangkan konsep smart farming.
Inovasi yang dipadukan dengan identitas lokal tidak hanya menciptakan nilai ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan sosial dan ekologis. Dengan demikian, pendidikan cinta desa memiliki implikasi langsung terhadap peningkatan ekonomi desa, penguatan UMKM dan berkembangnya ekowisata berbasis komunitas.
Dari perspektif pembangunan berkelanjutan, desa memegang peran vital sebagai penjaga ketahanan pangan nasional, ruang konservasi air dan tanah, serta benteng terakhir keberlanjutan ekologi. Generasi muda yang mencintai desa memiliki pemahaman lebih baik bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan.
Mereka akan mencari solusi inovatif yang memadukan teknologi dengan kearifan lokal, menghasilkan praktik ekonomi yang efisien sekaligus ramah lingkungan. Inilah esensi ekonomi hijau dengan mengembangkan potensi dengan cara yang tidak merusak, mengelola sumber daya secara cerdas dan memastikan kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan kerusakan ekologis.
Karakter generasi muda yang terbentuk dari budaya cinta desa juga memiliki keunggulan lain, seperti ketangguhan dan identitas yang kuat. Lingkungan desa mengajarkan ketekunan melalui aktivitas bertani, mengajarkan kerja sama melalui gotong royong, serta mengajarkan makna kesederhanaan melalui kehidupan yang dekat dengan alam.
Semua nilai ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global yang penuh ketidakpastian. Generasi yang memiliki akar kuat akan lebih mampu menemukan arah, bahkan ketika dunia berubah cepat. Mereka tidak takut pada modernitas, tetapi dapat menyaring mana yang bermanfaat bagi desa mereka.
Karena itu, upaya menanamkan budaya mencintai desa harus dilakukan secara sistematis melalui peran keluarga, sekolah, pemerintah desa dan komunitas. Orang tua dapat memperkuat ikatan anak dengan desa melalui aktivitas sederhana, sekolah dapat memfasilitasi pembelajaran kontekstual berbasis desa dan pemerintah desa perlu membuka ruang partisipasi generasi muda dalam kegiatan sosial dan ekonomi.
Dengan sinergi ini, cinta desa tidak hanya menjadi konsep, tetapi menjadi budaya hidup yang tumbuh secara konsisten dalam keseharian anak.
Pada akhirnya, membangun cinta desa sejak dini berarti menanam sebuah benih yang kelak tumbuh menjadi pohon masa depan bangsa. Dari akar yang tertanam dalam tanah desa inilah lahir generasi yang tidak terpengaruh oleh modernitas, tetapi mampu mengubahnya menjadi energi inovasi.
Mereka bukan sekadar anak-anak yang mengenang masa kecil di desa, tetapi arsitek masa depan yang memahami bahwa keberlanjutan bukan angan-angan, melainkan amanah peradaban. Jika kita ingin Indonesia berdiri kokoh di tengah dunia yang terus berubah, maka jawabannya bukan hanya berada di gedung tinggi kota, tetapi di tangan anak-anak desa yang hari ini sedang belajar mencintai tanahnya. Sebab ketika desa mencintai masa depan melalui generasi mudanya, Indonesia justru sedang menyiapkan lompatan kemajuan yang paling autentik, paling murni dan paling berkelanjutan. (Syamsu Nurkarim)
Penulis merupakan Dosen Universitas Mayasari Bakti (UMB) Tasikmalaya








