RADAR TASIKMALAYA – Anggota dewan, baik pusat ataupun daerah dalam mekanisme sistem politik di negara demokrasi berasal dari partai politik. Partai politik dalam konteks ini mengajukan calon pemimpin dalam legislatif melalui rekrutmen politik yang menjadi salah satu fungsinya. Pada prinsipnya siapa pun figurnya yang memang mampu memimpin dan mendapat mandat dalam pemilihan (terpilih lewat mekanisme Pemilu) berhak untuk menjadi wakil rakyat untuk wilayah pemilihan tertentu.
Kultur di Indonesia mekanisme para calon wakil rakyat untuk menyosialisasikan visi dan misinya (peningkatan popularitas) dibebankan pada personal yang mencalonkan (Caleg yang bersangkutan) bukan menjadi tanggung jawab negara. Negara hanya memberikan anggaran secukupnya pada partai yang menjadi peserta Pemilu.
Oleh karena itulah, selalu mereka yang mencalonkan menjadi anggota dewan, baik daerah, maupun pusat sebagian besar dikuasai oleh orang yang mampu secara finansial, jika pun dari golongan menengah ke bawah mereka biasanya membiayai kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas dengan cara menghutang pada pihak lain ataupun dengan cara lainnya.
Bagi mereka yang kurang mampu, namun memiliki lobi yang kuat dan jaringan dengan pengusaha biasanya mendapat donasi dari para pengusaha, walaupun terkadang dengan cara “menggadaikan” independensi personalnya.
Uang dan Calon Legislatif
Secara kasat mata kebutuhan akan uang untuk seorang calon legislatif untuk daerah kabupaten/kota pengeluaran biasanya meliputi biaya kunjungan, biaya iklan, stiker, banner, kaos dan sebagainya. Pastinya dana kampanye untuk seorang Caleg sangatlah mahal. Biaya kampanye yang mahal ini telah menjadi mekanisme tersendiri dalam politik prosedural di Indonesia saat ini. Seolah-olah mereka yang ingin menjadi anggota DPRD/DPR harus memiliki modal besar atau kalah tidak dapat sponsor dari para pemodal atau jalan terakhir menjual hak milik sendiri seperti rumah sekalipun atau juga meminjam kepada pengusaha atau pihak lain.
Kebiasaan ini membentuk satu pola tersendiri dalam mekanisme politik prosedural yakni money centris mechanism. Tidak hanya sudah menjadi kesepakatan bagi subjek yang berkampanye dan tim sukses atau lingkungan pemerintahan, namun juga pola pikir masyarakat menjurus ke arah money centris. Para anggota dewan yang datang ke kampung atau desa mereka diterima dengan “diperas” dengan dalih untuk kepentingan umum, lebih parahnya lagi diperas untuk kepentingan personal belaka.
Hal di atas yang menjadikan politik Indonesia bagaikan tercengkram oleh uang. Kondisi ini kalau digambarkan bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk dihindari. Akibat terburuknya adalah anggota dewan yang terpilih menjadi rakus dan orientasi pasca dia terpilihpun terkonsentrasi pada bagaimana mengganti uang dan semua kekayaan yang sudah mereka keluarkan semasa kampanye. Hal ini tentunya mengkhawatirkan, bahkan kemungkinan meningkatnya angka korupsi di tingkat pejabat dan legislatif akan semakin besar.
Akibat lainnya adalah banyaknya calon anggota dewan yang tertekan ketika tidak terpilih. Hal ini terjadi karena para calon anggota dewan tersebut sudah habis-habisan mengeluarkan uangnya, bahkan dari hutang dan menjual rumah, mobil dan barang berharga lainnya. Akibatnya karena mental yang lemah dan kerugian pribadi (habis segalanya) yang sangat besar, mereka jadi miskin dan merasa tidak mendapat apa-apa dari proses yang sudah mereka perjuangkan. Sehingga terjadilah guncangan jiwa, stress dan sebagainya .
Inisiasi
Ada beberapa tawaran inisiasi dari problem di atas: pertama, membentuk jiwa pemimpin dan pengabdian kepada masyarakat sejak dari tingkat keluarga. Konsep popularitas (popularity) sebenarnya memiliki banyak faktor penyebabnya. Bisa karena peran dan kontribusinya di masyarakat yang sudah teruji dalam jangka waktu tertentu, dijalankan secara konsisten sehingga masyarakat sekitar kemudian bisa menilai dan mengenal akan kiprahnya.
Jika konsep ini dijalankan maka ketika dia memasuki panggung politik mencalonkan diri lewat partai tertentu sebagai calon legislatif, maka cost yang akan dia keluarkan untuk mendongkrak popularitas tidaklah terlalu berat, dikarenakan orang tersebut sudah memiliki investasi sosial. Kampanye pun dilakukan hanya untuk lebih memantapkan dan memasifkan visi misi ke masyarakat.
Politisi yang memiliki background yang seperti inilah yang memang pantas memasuki panggung politik Indonesia saat ini.
Jika hal tersebut digalakkan dan menjadi pola dalam model rekruitment calon pemimpin yang berkualitas, maka tidak akan ada cerita anggota dewan malas bersidang, anggota dewan kerjanya hanya terkantuk-kantuk saat bersidang sampai anggota dewan tidak mengerti kerja dan perannya karena kerjanya cuman tidur, dan tidak akan ada anggota dewan hanya diam ketika aspirasi rakyat dan kebutuhan banyak orang dipertaruhkan.
Politisi yang tidak teruji dalam persoalan pengabdian dan kiprahnya di masyarakat (apa pun bidang kehidupannya) kalaupun menang dalam pemilihan, hanya karena disebabkan backing uang yang kuat dan hanya akan melahirkan politisi yang karbitan, politik sebagai ajang “mencari uang”, bukan sebagai ajang pengabdian kepada negara. Akibat yang sangat buruk adalah melahirkan politisi yang bermegah-megahan, jauh dari kehidupan rakyatnya yang serba kekurangan, masa kampanye hanya dijadikan sebagai ajang jualan, kalau sudah laku, ditinggal begitu saja.
Setelah mereka duduk ‘empuk’ di kursi kehormatan, mereka enggan untuk melihat, merasakan apalagi memperjuangkannya. Karena yang mereka perjuangkan adalah gaji yang “melambung” dan kedudukan. Mereka akan respek jika pembahasan dalam lembaganya menyangkut kepentingan mereka semisal kenaikan gaji, selain itu mereka enggan dan malas untuk membahasnya.
Kedua, anggapan dan kultur masyarakat itu sendiri yang ‘setali tiga uang’ mengembangkan money process mechanism. Masyarakat seperti yang biasa kita lihat dalam setiap kampanye meminta segalanya kepada calon yang akan bertarung dalam Pemilu.
Masih mending jika untuk kepentingan umum, tidak sedikit juga yang memanfaatkannya untuk kepentingan perutnya sendiri. Pada musim kampanye, masyarakat biasanya beranggapan bahwa mereka akan membohongi para caleg yang selama ini dianggap membohongi mereka.
Dalam banyak kasus “pemerasan” rakyat terhadap Caleg dengan iming-iming memberikan suara saat Pemilu biasa dijadikan ajang “balas dendam” untuk saling membohongi. Mekanisme ini berlaku dikarenakan kembali kepada perilaku anggota dewan yang sebelumnya (sejarah sebelumnya) yang mengecewakan para konstituen. Mereka mengecewakan dikarenakan ketidaksiapan dan ketidaklayakan mereka dalam membawa amanah rakyat. Jika tidak di cut lingkaran ini akan melahirkan mekanisme politik demokrasi yang cacat.
Begitu pula dengan media setali tiga uang, karena tidak sedikit mereka yang hanya memanfaatkan uang dari para calon. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga civil society, tidak sedikit menggadaikan independensinya karena bayaran yang sangat menggiurkan, sehingga masuk menjadi bagian “tim sukses siluman” yang mampu mindset perilaku memilih masyarakat, tanpa melihat kemampuan dan track record calon.
Memang selama masih dalam wilayah kerja sama sesuai fungsinya hal tersebut sangat wajar dan sehat, namun jikalau melampaui sampai masuk menjadi “tim sukses yang tersembunyi” karena bayaran inilah yang membuat mekanisme politik mengalami kecacatan. Semoga dengan upaya semuanya dari elemen bangsa ini, hajatan Pilkada serentak 2024 yang akan datang terhindar dari kecacatan-kecacatan yang membahayakan negeri kita tercinta. Amin. (Subhan Agung MA)
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi