RADAR TASIKMALAYA – ”Sejarah adalah cerita versi pemenang. Jangan terima secara letterlijk. Selalu berpikir kritis menerima cerita apa pun dan dari siapa pun”. Wejangan dari almarhum guru ketika saya membuka lembaran-lembaran pledoi kasus Malari. Pada masa Orde Baru berkuasa, membaca hal-hal serupa itu bisa menjadi masalah besar.
Sejarah, sebagaimana didefinisikan J Bank adalah semua kejadian atau peristiwa masa lalu. Sejarah berfungsi untuk memahami perilaku masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, karena sejarah harus memberi informasi cara menghadapi kondisi-kondisi tertentu. Sementara Sir Charles Firth menekankan bahwa sejarah merekam kehidupan manusia, perubahan yang terus-menerus, merekam ide-ide, dan merekam kondisi-kondisi material yang telah membantu atau merintangi perkembangannya. John Tosh menekankan sejarah sebagai memori kolektif maupun pengalaman melalui pengembangan suatu rasa identitas sosial manusia dan prospek manusia tersebut pada masa yang akan datang.
Sartono Kartodirjo lebih lengkap menjelaskan bahwa sejarah adalah gambaran masa lalu manusia dan lingkungan sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap. Sejarah meliputi urutan fakta suatu masa tertentu dengan tafsiran dan penjelasan yang memberikan pengertian pemahaman tentang sesuatu yang telah berlalu.
Sejarah harus mampu memberikan gambaran peristiwa di masa lalu dan cara menghadapinya jika terjadi di kemudian hari.
Sejarah memanjang dalam urutan waktu, meskipun dibatasi secara periode tertentu, namun seiring berjalannya waktu, sejarah akan terus berlanjut. Di sisi lain, ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari sesuatu secara luas dalam kurun waktu yang pendek. Sejarah sebisa mungkin melukiskan fakta-fakta secara mendetail. Ilmu sosial akan menjelaskan permasalahan dengan mencari hukum-hukum atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum.
Misalnya sejarah perjuangan kemerdekaan Peristiwa 10 November. Ilmu sejarah akan mencari fakta-fakta mendetail tentang semua peristiwa yang berhubungan dengan bagian waktu tersebut di Surabaya, sementara ilmu sosial akan mencari hukum-hukum mengenai terjadinya perjuangan kemerdekaan, tidak hanya di Surabaya, bahkan secara lintas negara.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia meminta pengorbanan para pahlawan dari berbagai tempat, suku bangsa, agama, usia, dan jenis kelamin. Semua perbedaan disatukan dengan tujuan bersama: kemerdekaan.
Sebagaimana dijelaskan Wikipedia, pahlawan berasal dari bahasa Persia: پهلوان ”pejuang; pahlawan”, wira, wirawan (bahasa Inggris: hero), atau wirawati (bahasa Inggris: heroine), kita lebih akrab dengan istilah perwira, adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Diyakini juga bahwa kata pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta ”phala” yang berarti hasil atau buah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani.
Pemberian gelar pahlawan nasional diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Undang-Undang ini mengatur proses pengusulan sampai penetapan pemberian gelar pahlawan nasional, yaitu penghargaan yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Pemberian gelar pahlawan nasional adalah kebanggaan bagi keturunan orang tersebut dan masyarakat yang mengusulkannya. Gelar pahlawan tidak diminta oleh orang yang berjuang. Tapi itu diusulkan oleh orang yang memahami dan menghargai perjuangannya sebagai bentuk penghormatan. Berbagai pertimbangan dari pemberi gelar dilakukan sebelum menetapkan gelar pahlawan nasional kepada seseorang.
Raden Dewi Sartika ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 1 Desember 1966 sementara Raden Ajeng Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tanggal 2 Mei 1964. Kedua tokoh pejuang perempuan tersebut membuktikan bahwa berjuang dan membela tanah air tidak harus dilakukan dengan berperang. Keberadaan perempuan pada sektor pendidikan yang secara khusus mendidik perempuan pada masa itu memerlukan keberanian luar biasa. Karena kondisi saat itu masih menempatkan perempuan sebagai kelas kedua, tidak memiliki hak untuk berkiprah di ranah publik.
Sejarah sebagaimana dijelaskan di awal, harus memberikan panduan atau gambaran mengenai kondisi yang akan dihadapi dan cara menghadapinya. Selayaknya cerita yang berulang, masalah-masalah yang dihadapi relatif sama, perbedaan terjadi pada pelaku dan kasus-kasusnya. Hal yang paling dekat adalah pandemi 100 tahunan. Pada abad XIX kita mengalami pandemi flu spanyol dan pada abad XX kita menghadapi pandemi Covid-19. Kedua pandemi mengajarkan bahwa kesehatan penting dan tenaga medis menjadi pahlawan di garda depan menyelamatkan umat manusia.
Penelitian tentang sejarah menemukan data bahwa pemerintah Hindia Belanda memberikan bayaran para pekerja yang membangun jalan Anyer-Panarukan, lengkap dengan bukti pembayaran dari Pemerintahan Hindia Belanda kepada Wedana setempat sejumlah setidaknya 3.000 ringgit. Padahal ketika mempelajari sejarah di sekolah, kita diinformasian bahwa rakyat dipaksa kerja rodi tanpa dibayar. Penelitian-penelitian sejarah yang dilengkapi fakta dan data menunjukkan hal sebaliknya. Ada pelaku korupsi yang mengorbankan rakyat untuk keuntungan pribadi sejak masa penjajahan. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebutkan bahwa Jalan Raya Pos era Daendels ini sudah diteliti oleh sejarawan Djoko Marihandono utuk disertasi doktoralnya. Daendels dikirim ke Jawa oleh pemerintah Prancis yang sedang menduduki Belanda. Daendels melaporkan dan tercatat dalam arsip Prancis. Fakta ini jelas membuat kaget. Dr Djoko pasti memiliki semangat membuka kebenaran yang bukan tidak mungkin ditolak karena bertentangan dengan yang diyakini selama ini.
Menyampaikan kebenaran, apa pun risikonya, memerlukan keberanian yang luar biasa. Dan ini adalah salah satu kualitas seorang pahlawan. Kita, apa pun dan siapa pun, dapat menyampaikan kebenaran dan berjuang untuk kebenaran, tidak melawan aturan. Dengan itulah, kita berjuang di masa setelah kemerdekaan ini. Sebagai guru, kita mendidik siswa tidak hanya dengan lisan tapi dengan teladan. Sebagai orang tua kita mendidik anak untuk bekal di masa depannya. Sebagai anggota masyarakat kita bisa menjadi warga yang saling bantu saling tolong. Sebagai usahawan kita menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat yang akan membantu mereka mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai pekerja, kita juga akan dikenang oleh rekan-rekan dan junior berdasarkan apa yang kita lakukan, sebagai pekerja profesional yang mengajarkan cara kerja yang baik ataukah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pangkat dan jabatan?
Semua bisa jadi pahlawan, sebagaimana semua bisa menjadi pecundang. Pilihan kembali ke kita. Legacy apa yang mau kita wariskan. Jangan lupa, selain legacy itu menentukan bagaimana masyarakat akan mengenang kita, semua yang kita lakukan juga akan dipertanggungjawabkan pada waktunya. (Mia Wastuti SSos MSc MEng)