Lahirnya Kelas Borjuis dan Kelompok Oligarkis di Indonesia

Politik, Sosial381 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Terminologi oligarki mulai biasa terdengar dalam percakapan, isu dan diskursus publik utamanya dalam interaksi komunikasi di media sosial walaupun diskursus ini hanya sebagai high issue yang diperbincangkan oleh kelas menengah intelektual dan dalam dimensi diskursus “langitan” tetapi isu ini sering kali menyeruak menjadi dinamika ditahun tahun politik menjelang Pemilu.

Kelompok oligarki dalam terminologi yang berkembang hari ini sering kali dituding sebagai kelompok yang memiliki kekuatan konglomerasi, menguasai korporasi besar dan membentuk pola gurita sehingga kekuatan ekonominya mampu mendominasi berbagai lini termasuk mampu mempengaruhi dan mengendalikan bahkan membentuk, melahirkan sebuah rezim kekuasaan.

Pengaruh oligarki sudah tidak lagi bersifat dominasi melainkan hegemoni. Jean Baudrillard dalam bukunya The Agony of Power bahwa hegemoni adalah tingkatan lebih lanjut dari dominasi karena dimensi pengaruhnya tidak hanya fisik melainkan ideologi. Pertanyaan pertama yang harus dijawab sebelum memberikan kesimpulan terkait hegemoni oligarki adalah apakah memang ada kelompok oligarki di Indonesia, dan bagaimana kelompok ini bisa muncul?.

Sebelum terminologi oligarki populer di Indonesia, ada terminologi borjuis yang baik secara teoritis dan konseptual sudah dikenal dan lama dipelajari dalam rumpun ilmu sosial humaniora. Istilah kelas borjuis berasal dari kata Prancis “bourgeoisie” atau “bourgeois” yang dimaknai sebagai kelas menengah atas yang memiliki kapitalisasi modal dan alat produksi.

Terminologi borjuis dalam pandangan Karl Marx merupakan fondasi lahirnya satu teori Marxisme yang menempatkan kelas borjuis sebagai kekuatan kapitalis yang terus menciptakan ketimpangan di atas keringat kelas proletar kelas pekerja buruh dan petani. Pada Tahun 1867 Marx menerbitkan buku Das Capital di Jerman yang kemudian disebut sebagai “kitab suci para pekerja”. Akar teori Marxisme inilah yang kemudian secara tegas menantang praktik dan sistem kapitalisme-borjuis di mana tidak hanya mengkritik praktik kapitalisasi yang melahirkan kelompok borjuasi yang menguasai sumber ekonomi, modal dan alat produksi tetapi melahirkan konsep sistem ekonomi dan politik.

Kritik terbesar Marx  pada sistem kapitalis dalam Das Capital  adalah Dimana Marx menyebut sistem kapitalis sebagi vampir penghisap kelas pekerja, melakukan praktek eksploitatif sehingga menciptakan ketimpangan yang ujungnya melanggengkan kemakmuran segelintir orang yaitu kelompok borjuis.

David Harvey seorang ilmuwan neo-marxis sebagaimana dipaparkan dalam bukunya Herdiawan Junanto, bahwa kapitalisme sudah berada pada tahap yang tidak bisa ditoleransi. Krisis global 2008 dan krisis akibat pandemi Covid  2021  telah menjadikan ketimpangan semakin melebar dan memperkuat posisi para pemilik modal dan alat produksi, kelompok borjuasi terus menggurita, mayoritas rakyat, kelas pekerja semakin menderita.

Lalu bagaimana Indonesia bisa menciptakan kelompok borjuasi yang kemudian mengkristal pada kelompok yang disebut oligarki karena kelompok borjuasi ini terlahir dari sistem kapitalis. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita Kembali pada setting politik pasca kemerdekaan, dalam konteks itu terjadi persaingan ideologis yang menandai transisi kekuasaan pasca kemerdekaan. Kepemimpinan Soekarno menempatkan ideologi moderat yang menggabungkan pandangan pandangan marxisme dengan pandangan pandangan ke-indonesiaan sehingga lahirlah konsep sosialis-marhaenisme.

Prinsip gagasan sosialisme-marhaenisme secara subtansi memiliki pandangan yang sama terhadap “kebencian” praktik borjuasi dan ekploitasi ekonomi oleh segelintir kelompok (asing). Dalam konteks itu Soekarno memadankan kelompok borjuasi-kapitalis sebagai praktek neo-kolonialisme dan neo-imprealisme.  Dalam buku Sarinah, yaitu kumpulan kuliah dan pidato Soekarno tahun 1946, dijelaskan soal sosialisme ala Bung Karno. Menurut Soekarno, substansi dari sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang, dan sebagai syaratnya harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif, ada industrialisme yang kolektif, ada produksi yang kolektif, dan ada distribusi yang kolektif yang diatur secara bersama-sama.

Dalam pandangan lain, pikiran pikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh gagasan gagasan Karl Marx. Soekarno sendiri mengakui bahwa Marx, Engels dan Lenin adalah tiga tokoh yang berpengaruh besar dalam pemikirannya. Lebih jauh ia menjadi anak sungai besar yang mengalirkan paham yang kemudian sohor disebut kiri dalam arus sejarah Indonesia. Sukarno memandang pemikiran kiri adalah api pembakar Revolusi Indonesia.

Paradigma kepemimpinan Soekarno yang mengambil jalan tengah ideologi antara Marxisme dan idealisme ke-Indonesiaan Soekarno menempatkan Indonesia sebagai negara yang diwaspadai Amerika. Situasi politik global pada waktu itu sedang memasuki fase pertarungan ideologi dan teknologi antara blok barat yang dipimpin Amerika dan blok timur yang dipimpin Uni Soviet, masing-masing berkompetisi menyebarluaskan dua ideologi, blok barat dengan ideologi demokrasi-kapitalis-nya dan blok timur dengan ideologi komunisme-nya.

Dalam konteks itu situasi politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh situasi politik global. Amerika sudah mengganggao Soekarno terlalu dekat dengan Komunis dan peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 adalah klimaks yang pada akhirnya menghancurkan kekuasaan Soekarno dan hancurnya komunisme di Indonesia, lahirlah rezim orde baru Soeharto yang dibangun diatas reruntuhan kekuasaan Soekarno (dengan paradigma sosialis-marhaenisnya) dan puing puing komunisme. Dalam kontek perang dingin, Amerika blok barat mendapatkan  kemenangan gemilang.

Soeharto dan orde baru adalah kepanjangan tangan Amerika dalam menyebarkan demokrasi dan kapitalisme di Indonesia, khususnya penguatan kapitalisme. Soeharto terus memperkuat sistem ekonomi berbasis pasar bebas. Salah satu teori yang digunakan adalah konsep ekonomi trickel- down effect, konsep ini diimplementasikan, dirumsukan secara teknis oleh para ekonom lulusan Universitas Berkeley Amerika, Soemitro Djodjohadikusumo, Emil Salim, Widjodjo Nitisastro, Mohammad Sadli, Ali Wardhana, JB Seomarlin adalah ekonom, Menteri dan Akademisi lulusan Berkeley yang merumuskan dan mengarahkan kebijakan ekonomi semakin terbuka dan liberal.

Konsep trickle-down effect adalah mekanisme yang menempatkan keterbukaan akan pasar bebas, investasi dan kapitalisasi sumber daya kepada swasta. Dalam konteks ini negara tidak boleh intervensi terhadap pengelolaan ekonomi mandiri oleh swasta. Negara jangan membatasi investasi (asing) biarkan mereka berkembang, support dengan kebijakan negara yang memudahkan izin izin investasi, maka ketika investasi mengalir pada akhirnya akan dinikmati oleh rakyat dengan salah satunya tercipta banyak lapangan kerja. Analogi dari teori ini adalah Ketika gelas dibiarkan penuh dan meluber maka luberan airnya pada akhirnya dinikmati rakyat akar rumput sampai tetesan terakhir.

Teori ini sekilas terlihat ideal tetapi pada akhirnya membentuk korporasi, borjuasi dan penguasaan sumber daya pada satu kelompok. Sumber daya menjadi terkapitalisasi pada sekelompok orang, karena negara lepas tangan bahkan memberikan supporting sehingga mekanisme predatori terjadi di mana yang kuat semakin kuat dan pada akhirnya memangsa yang lemah. Rahmati Retno Winarni Penasehat kebijakan Keuangan Berkelanjutan mengatakan dalam tulisannya “Teori pertumbuhan ekonomi ternyata gagal menjalankan fungsi trickle down effect. Yang terjadi adalah muncrat ke atas” Mekanisme ini kemudian dituding sebagai praktek ekonomi yang melahirkan kelompok borjuasi di Indonesia, kelompok borjuasi yang akhirnya punya kekuatan hegemonik yang tidak hanya berdimensi ekonomi tetapi politik, kemudian muncul terminologi kelompok yang paling berkuasa di Republik ini yakni kelompok oligarki. (Rino Sundawa Putra SIP MSi)

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *