RADAR TASIKMALAYA – Tidak ada yang berubah seketika, semua bermula dari apa yang sebelumnya sudah ada. Tidak setiap perubahan terjadi sedemikian mulus, setidaknya melewati banyak hambatan dan polemik dari berbagai arus. Karena perubahan sebuah keniscayaan, maka setiap orang (para pemangku kebijakan) berlomba-lomba untuk mencapai itu sebagai jejak rekam keberhasilan. Perubahan itu pasti terjadi mengikuti arus zaman yang tidak akan pernah berhenti. Dampak dari siklus itu, kita akan membaca dua peristiwa dari hasil perubahan, yakni sesuatu yang baru menjadi lebih baik dan bermanfaat dari entitas sebelumnya, atau yang pernah ada sebelumnya jauh lebih memiliki latar filosofis dan historis daripada yang terjadi hari ini.
Perubahan terjadi tidak pernah tanpa ada motif di belakangnya. Karena arus kebijakan dan citra politik, sederet program prioritas pembangunan diatur dalam alokasi anggaran dengan dalih kepentingan publik. Untuk percepatan dan pertumbuhan ekonomi, gunung yang sedianya penyuplai mata air, atau sawah dan kebun sebagai penyokong kebutuhan pangan, disulap jadi tembok-tembok beton yang diharapkan jadi area industri dan pusat bisnis. Setiap rencana seperti contoh dua kasus di atas tidak dapat disalahkan selagi benar-benar sesuai koridor, sesuai dengan asas kebermanfaatan. Yang patut kita waspadai, jika motifnya didasarkan karena utang budi dan kepentingan para kolega.
Tasikmalaya hari ini telah melintasi sekian siklus perubahan dari satu generasi ke generasi, dari satu pemimpin daerah ke pemimpin yang lain. Dalam setiap benak seseorang tentu tersimpan sebuah memori pada sebuah peristiwa, nama, tempat, yang menghantarnya pada sehampar nostalgia sesuai lokus dan tempusnya. Ihwal nostos algos ini, kita akan bertemu dengan tiga tipe seseorang (masyarakat): ada yang cukup tahu dan lupa mengingat-ingatnya, ada yang mengingatnya dan cukup bertahan dalam tradisi oral, ada yang mengingat dan mengenangnya kemudian dengan sadar melakukan transkripsi.
Nunu Nazarudin Azhar seorang budayawan sekaligus wartawan, menurut hemat saya terkategorikan pada tipe seseorang (masyarakat) tipe ketiga. Buku terbarunya HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELEO yang diterbitkan Langgam Pustaka, Mei 2023, adalah buku penting yang wajib dibaca khususnya oleh warga Tasikmalaya. Buku setebal 350 halaman ini telah menyelamatkan arsip ke-Tasikmalaya-an yang tercecar dalam subkultur hiburan sejak kurun 1900-an. Di dalam buku ini, peristiwa-peristiwa penting ‘Hiburan’ di Tasikmalaya tercatat dengan baik dan dapat dijadikan sebagai referensi akademik. Pasalnya, untuk memenuhi hasrat kuriositasnya, Nunu Nazarudin Azhar melakukan seperangkat kajian ilmiah secara empirik, seperti observasi, investigasi, studi literatur, wawancara, dan pendekatan jurnalistik saksi mata, dalam menyusun buku ini. Meski terkesan sangat serius, saya pastikan para pembaca tidak akan cepat bosan membacanya, karena penulis yang juga seorang sastrawan yang telah banyak menyabet anugerah sastra ini, mengemasnya dalam bentuk liris-naratif. Di samping itu, kelengkapan foto-foto dan dokumen lainnya mampu mengajak pembacanya untuk bertamasya ke Tasikmalaya tempo dulu.
Kerja pengumpulan dan mengidentifikasi arsip-arsip tentang ke-Tasikmalaya-an yang dilakukan Nunaz, perlu diacungi jempol. Perlu kesabaran dan ketelitian untuk menyusun sebuah buku yang mengupas risalah panjang sebuah kota. Sabar, karena tidak setiap orang (masih) menyimpan dokumentasi visual tentang Tasikmalaya sejak 1900-an. Teliti, karena foto dan arsip penunjang lain harus sesuai dengan lokus dan tempusnya. Hal-hal semacam ini tentu akan lebih mudah kita dapatkan, jika data-data di dinas kearsipan kota/kabupaten lengkap, atau setidaknya ada dan tersimpan rapi di museum. Faktanya, adakah museum yang benar-benar hadir sebagaimana museum di Tasikmalaya? Maka tidak berlebihan kiranya saya utarakan, jika buku HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE, adalah sebentuk museum alternatif. Buku yang bisa membangkitkan kesadaran kolektif untuk menyusun kembali sebuah kenangan yang cetang perenang, sekaligus sebuah renungan dan epigram Tasikmalaya Dulu-kini-dan nanti.
Modern Sejak Lama
Kata modern merupakan kanonik dari turunan kata lainya. Jika merujuk pada KBBI dalam kelas adjektiva bermakna ‘terbaru, mutakhir’. Sekait dengan buku HIBURAN di TASIKMALAYA KEMARIN DOELOE karya Nunu Nazarudin Azhar, untuk mempredikasi warga Tasikmalaya dapat diberlakukan kelas nomina yang berarti ‘sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntunan zaman’. Perwujudan sikap ini kemudian kita kenal sebagai habitus modernisasi.