Kiai Menjadi Subordinasi atau Mitra Elite Politik?

Politik188 Dilihat

SISTEM desentralisasi dan Pemilu secara langsung menjadi ruang berpolitik yang sangat terbuka, ada relasi politik yang setara di antara para aktor lokal. Namun sistem politik di era reformasi ini tidak hanya menjadi pengharapan konsolidasi demokratisasi. Tetapi semakin menguatnya komunitas-komunitas sosial di luar lembaga pemerintahan, mereka makin bebas menekan dan mempengaruhi proses kebijakan pemerintah. Kebangkitan entitas sosial seperti kehadiran local strongman, bossism, the big man, atau para oligark berlomba-lomba menguatkan legitimasi, posisi, jaringan, dan status politiknya agar bisa berkuasa di wilayah teritorialnya untuk mengendalikan kebijakan politik dan masyarakat. (Nordholt dan Klinken, 2007; Zuhro, 2009; Agustino; 2011; Rahmawati 2015; Rozaki, 2016;)

Kebebasan berpolitik belum linier dengan pendistribusian kekuasaan bagi semua aktor lokal, meskipun proses politik elektoral semakin demokratis. Kekuasaan lokal di Tasikmalaya sebagaimana pembahasan ini tidak lagi didominasi elit jaringan patronase Soeharto, namun pemilik kekuasaan masih dinikmati segelintir aktor kuat lokal dengan sumber daya lebih. Elit kuat ini memiliki kesempatan lebih besar untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi – politik publik.

Figur elit kuat lokal ini tidak hanya muncul dari kalangan pejabat negara, elit parpol atau kalangan pengusaha, namun bisa muncul dari kalangan tokoh agama atau pemimpin informal lainnya. Asalkan elit kuat ini memiliki kendali dan pengaruh dibandingkan orang yang menduduki posisi puncak jabatan dalam suatu organisasi sosial – politik. Oleh karena itu, kemunculan elit kuat ini bisa dari mana saja, dan dari komunitas apa saja.

Namun ada yang menarik dari hasil riset yang telah diungkap mengenai peran kuasa dan posisi kiai yang telah menjadikan wilayah Tasikmalaya terkenal dengan pelabelan “Kota Santri”. Figuritas kiai yang kharismatik memiliki sumber daya simbolik dan kultural untuk dijadikan kekuatan sosial – politik dalam mempengaruhi arah kebijakan politik pemerintahan Tasikmalaya. Meskipun kiai tidak memiliki jabatan di pemerintahan, parpol, ataupun kekuatan materi seperti pengusaha. Sumber dayanya mampu mempengaruhi perilaku politik para pemilih ketika politik elektoral digelar di Tasikmalaya. (Alfarisi, 2007; Subhan, 2013; Nurohman, 2014; Kusmayadi dkk, 2016)

Bahkan kekuatan dan pengaruh kiai sebagai sumber dayanya mampu membentuk pilihan politik masyarakat. Hegemoni doktrin dari ilmu agama Islam mampu merasuk ke dalam struktur kesadaran masyarakat dan mempengaruhi arah perpolitikan lokal. Meski bukan elit politik, kiai mampu memposisikan dirinya sebagai mitra politik elit parpol, pejabat birokrasi, atau para pengusaha dalam perebutan kekuasaan. Dalam hasil riset Azizah (2013) dan Rozaki (2004 & 2016) di Madura, pengaruh dan kendali kuasa kiai menjadikannya sanggup meraih jabatan politik dan menjadi local strongman dalam membentuk oligarki.

Relasi kiai dan politik memang entitas yang tidak bisa dipisahkan, figuritasnya tidak hanya terbatas pada urusan agama dalam membentuk akidah masyarakat, tapi mampu menjelajah urusan sosial – politik. Keterlibatan kiai ini dalam arena politik untuk memperjuangkan nilai – nilai dan aspirasi umat Islam agar bisa diakomodir dalam kebijakan politik pemerintah. Sehingga kapasitas kekuatan kiai harus diperhitungkan dalam kompetisi politik yang makin kompleks dan plural dalam politik elektoral langsung. (Horikoshi, 1987; Alfarisi, 2007; Nasir, 2015)

Menurut Horikoshi (1987), meskipun figuritas kiai yang kharismatik sangat sentral di tengah masyarakat, posisinya bersifat sementara dan cepat berakhir ketika dirinya telah wafat. Karena pengaruh dan kekuatan kiai tergantung pada kualitas pribadi, kemampuan, dan kedinamisannya. Sumber daya ini tidak bisa diturunkan melalui putera atau keturunannya, harus berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan agama yang dimilikinya. Jika puteranya tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan, maka posisi dan peran ayahnya sebagai kiai sebelumnya tidak akan sama dengan posisi dan kedudukannya di masyarakat.

Namun demikian, apakah sumber daya yang dimiliki kiai di Tasikmalaya bisa disebut figur local strongman atau elit kuat lokal ?. Ataukah peran kiai hanya irisan politik dari kepentingan parpol, pejabat negara, atau pengusaha yang saling berbenturan memperebutkan kekuasaan. Asalkan kepentingan ekonomi – politik para kiai ketika memperjuangkan nilai – nilai Islam ke dalam kebijakan pemerintah bisa di akomodir oleh para elit partai dan pejabat daerah.

Berdasarkan hasil penelitian, sumber daya dan kekuatan elit agama Islam ini hanya dijadikan determinan para elit partai ataupun calon kepala daerah untuk memenangkan perebutan kekuasaan, untuk mempengaruhi sikap perilaku politik pemilih. Calon pejabat politik yang didukung dan direstui kiai mampu mendulang suara politik atau elektabilitas masyarakat muslim yang mayoritas bermukim di Tasikmalaya. Bahkan ketika salah satu kiai menjabat sebagai legislator ataupun di dalam parpol, tidak sepenuhnya memperjuangkan nilai – nilai politik Islam. Para kiai telah mengalami pergeseran politik, dan hanya memenuhi ambisinya mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.

Paradigma dan perilaku politik kiai dalam beberapa periode politik elektoral terakhir di Tasikmalaya makin dilingkupi sikap oportunis dan pragmatis. Permainan politik uang yang pernah terjadi pada pemilu 2019 lalu, turut berperan merusak potensi dan kekuatan potensial yang dimiliki kiai, bahkan tidak sedikit sejumlah tokoh agama turut menjadi bagian permainan politik uang yang digelontorkan para oligark. Figuritasnya yang potensial ini hanya dijadikan sebagai “bumbu penyedap” dalam arena politik dan telah terjebak dalam pusaran kekuasaan oligarki. Sehingga para tokoh agama Islam ini hanya dijadikan mitra politik, bahkan menjadi subordinasi para elit parpol dan para oligark. Bukan lagi elit kuat lokal yang berani menunjukkan kekuatan potensialnya untuk mempertahankan nilai – nilai akidah dan syariah Islam di Tasikmalaya.

Komunitas keagamaan terutama para kiai atau ulama yang sudah memiliki kekuatan potensial di bidang agama, sosial, ataupun politik. Seharusnya di era reformasi ini bisa menjadi bagian dalam mendukung pembelajaran politik rakyat. Kekuatannya harus menjadi agen sosial – politik untuk kepentingan rakyat dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Bukan sekedar menjadi bagian dari kepentingan politik parpol, pejabat negara, ataupun para oligark. Para kiai juga memiliki peran politik yang sama dengan para elit kuat lokal lainnya dalam memperebutkan kekuasaan. Para tokoh agama ini harus memiliki daya tawar politik yang lebih baik, ketika akan menjadi pendukung politik parpol, atau kepentingan politik calon pejabat politik ketika gelaran pemilu ataupun pilkada, bukan sebaliknya hanya dimanfaatkan meraup suara masyarakat muslim di Tasikmalaya. (Dr Mohammad Ali Andrias SIP MSi)

Penulis adalah Dosen, Sekretaris Jurusan FISIP Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *