RADAR TASIKMALAYA – Saat ini orientasi roadmap reformasi birokrasi untuk tahun 2020-2024 telah ditetapkan melalui peraturan Kementerian PANRB Nomor 3 Tahun 2023 tentang perubahan peraturan Kementerian PANRB Nomor 25 tahun 2020.
Regulasi ini untuk menjawab isu reformasi birokrasi di tingkat hulu dan hilir. Apabila dilihat dari fenomena reformasi birokrasi pada tingkat hulu tentunya berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, misalnya budaya birokrasi, integritas penyelenggaraan pemerintahan, dan birokrasi dan proses transformasi yang lambat. Sementara pada tingkat hilir sebagai dampak dari permasalahan tingkat hulu yang belum dapat diselesaikan. Misalnya masalah yang dapat ditemui di masyarakat berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan yang tidak sebanding dengan output dan lokus kegiatan, masalah izin usaha dan investasi yang rumit, dan tantangan perubahan global yang memiliki ciri VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
Tantangan global ini tentunya harus bisa dihadapi oleh birokrasi dengan menghindari cara kerja yang ”bermental silo”, agar setiap kegiatan memiliki kesamaan tujuan antar Lembaga/instansi. Sebagai contoh dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada level pemerintah daerah, tentunya setiap instansi/dinas memiliki program masing-masing untuk percepatan penanggulangan kemiskinan. Sehingga sulit bagi daerah untuk melakukan sinergisitas data kemiskinan tersebut. Pada akhirnya akan berdampak pada data kemiskinan daerah yang beragam. Program yang memiliki tujuan sama tersebut memiliki konsekuensi tidak memberikan pengurangan angka signifikan untuk keluar dari masalah kemiskinan. Oleh karena itu, menjawab tantangan global dengan konsep agile menuntut adanya pola kerja yang kolaboratif dan bersinergi.
Penerapan agile governance ini sejalan dengan semangat reformasi birokrasi. Pemerintah Indonesia berupaya Menyusun grand design upaya melakukan reformasi birokrasi baik pada level nasional maupun level instansi. Kemampuan instansi untuk menerjemahkan prioritas kebijakan nasional perlu disusun dalam berbagai kegiatan utama yang efektif untuk mencapai tujuan dan strategi Reformasi Birokrasi. Pada arah kebijakan reformasi birokrasi yang telah disusun secara nasional tahun 2020-2024 salah satu strategi untuk mencapainya adalah melalui transformasi birokrasi digital. Beberapa isu yang menjadi kebijakan strategis reformasi birokrasi nasional antara lain; pembangunan manajemen pelayanan publik berbasis digital, organisasi berbasis kinerja, layanan digital yang terintegrasi, penguatan kinerja yang kolaboratif, pentingnya penguatan sistem pengawasan dan proses kebijakan publik yang menggunakan big data. Konsep reformasi birokrasi seyogianya juga memperhatikan aspek pengentasan tindak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada kalangan birokrasi. Sehingga cita-cita reformasi birokrasi dapat berjalan lebih substantif sesuai dengan prioritas pembangunan. Penulis mencatat setidaknya terdapat prioritas utama pembangunan reformasi birokrasi yang ideal, diantaranya, peningkatan investasi, digitalisasi administrasi pemerintahan, dan pengendalian inflasi.
Sebagai salah satu strategi dalam menjawab tantangan reformasi maka diperlukan perluasan dan implementasi agile governance. Menurut Halim, F. R., Astuti, F., & Umam, K. (2021), agile governance salah satu bentuk capaian pemerintahan yang gesit dalam menghadapi perubahan yang tidak terduga. Tindakan yang tepat dan tentunya inovatif akan menjadi bagian dalam menjawab tantangan tersebut. Terdapat konsep agile governance yang bisa diterapkan baik pada pemerintah daerah maupun nasional. 6 prinsip ini diungkapkan oleh Luna, Kruchten, dan Moura (2015). Pertama, Good enough governance: perlu ada kesesuaian tata Kelola dengan kondisi organisasi. Kedua, Business driven: keputusan maupun program yang dibuat disesuaikan dengan proses bisnis. Ketiga, Human focused: adanya peluang bagi partisipasi masyarakat dalam mendukung tata Kelola pemerintah. Keempat, Based on quick wins: capaian kinerja harus terus didorong agar mendapatkan hasil yang lebih dan memiliki nilai manfaat. Kelima, Systematic and Adaptive approach: perlu pengembangan kemampuan tim misalnya dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Keenam, Simple design and continuous refinement: perlu ada peningkatan kinerja pada sebuah tim.
Berdasarkan prinsip tersebut maka pemerintah pusat maupun daerah harus dengan tangkas menemukan inovasi-inovasi baru dalam upaya menghadapi situasi yang terjadi dan bahkan mampu memprediksi peluang ke depannya. Pada akhirnya agile governance akan mendukung tujuan dan tata Kelola pemerintahan yang berkelas dunia. Penerapan meritokrasi menjadi penting dilakukan sebagai dasar birokrasi yang sehat dan menjamin memiliki kinerja pelayanan publik yang unggul. Namun disisi lain, penerapan agile governance yang menuntut pemerintahan untuk bertindak cepat memiliki dilematis bagi pemerintah daerah. Mengapa tidak, hal ini karena banyaknya regulasi nasional yang harus disesuaikan oleh pemerintah daerah. Bahkan beberapa inovasi yang ingin dilakukan seakan takut menyalahi aturan di atasnya.
Sebagai upaya untuk mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat daerah, maka setiap program dan kebijakan yang dilakukan harus berorientasi pada bukti untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah daerah mengejar peluang kesempatan dalam meningkatkan mutu pelayanan publik dan pemerintahan digital. Melalui semangat reformasi birokrasi dengan mengedepankan konsep agile governance maka akan membentuk penguatan kerja yang terarah dan terukur capaiannya. (Riska Sarofah, S.IP., M.I.P.)
Riska Sarofah, S.IP., M.I.P. adalah Dosen FISIP, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi.