Judi Orla, Judi Orba dan Judi Online

RADAR TASIKMALAYA – Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang gencar mengampanyekan Gerakan anti judi online. Gerakan yang bertajuk “tetap anti judi online” menyasar anak muda untuk mulai memahami dan memberi kesadaran bahwa judi online akan merusak masa depan, dan judi online adalah sistem algoritma yang pemenangnya sudah diatur. Mau tidak mau, suka tidak suka judi online adalah efek samping dari perkembangan teknologi informasi. Munculnya terminologi smart device, smartphone, gadget menggambarkan bagaimana segala aktivitas manusia bisa dilakukan dengan satu perangkat, termasuk judi.

Berbicara judi adalah berbicara sejarah Indonesia itu sendiri. Lagi lagi mau tidak mau, suka tidak suka kita harus jujur dan mengakui ada realitas di mana judi pernah menjadi perbuatan yang legal di negara ini  tentu dengan kontroversi dan pro-kontra yang mengikutinya. Tulisan ini bukan menjadi dasar argumen yang mendukung  legalisasi judi online hari ini di Indonesia, ini hanya sekedar mengajak kita kembali menelaah sejarah bangsa kita, bagaimana judi adalah persoalan problematik yang dialami bangsa ini  dari setiap rezim yang berkuasa.

Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta di penghujung kekuasaan Soekarno pada 28 April 1966. Pandangan Soekarno yang melihat sosok Ali Sadikin sebagai orang dengan karakter keras dan gigih dirasa cocok untuk memimpin Jakarta. Pandangan Soekarno terbukti, tidak lama setelah pelantikannya Ali Sadikin membuat kebijakan yang sangat kontroversi, ya legalisasi judi di Jakarta. Ali Sadikin mengabaikan kontroversi publik, dia dituntut membangun ibu kota dengan bermodalkan anggaran DKI Jakarta yang hanya 66 juta. Atas dasar itu dia tetap nekat melakukan legalisasi judi sebagai salah satu pemasukan pajak daerah.

Ali Sadikin melegalkan judi pada tahun 1967 dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 805/A/k/BKD/1967. Lahirnya Surat Keputusan Gubernur DKI secara yuridis memiliki konsiderasi pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah di mana secara normatif ada ruang untuk memungut pajak dari judi, di sinilah Ali Sadikin secara yuridis menemukan peluang hukum untuk melegalkan judi. Pada dasarnya Ali Sadikin membuat legalisasi Judi terbatas semacam lokalisasi perjudian yang hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu. Beberapa spot judi yang dibuat dan terkenal pada waktu itu adalah Copacabana di Ancol dan PIX di daerah Hayam Wuruk. Dua kasino legal pertama dalam sejarah judi di Indonesia.

Dalam pandangan Ali Sadikin yang dimuat dalam majalah Tempo edisi Juli tahun 2000 judi ibarat kanker yang menyebar tidak terarah, maka legalisasi judi terbatas adalah cara untuk melokalisasi judi agar dampaknya terlokalisir dan bisa dipantau sekaligus juga ada pajak yang mengalir ke kas negara. Dikutip dari Tirto.id pendapatan pajak dari legalisasi dan lokalisasi judi di Jakarta mencapai Rp 20 miliar dan di akhir masa jabatan Ali Sadikin 1977 APBD Jakarta mencapai Rp 122 miliar, 1.800 kali lipat dari APBD ketika pertama kali Ali menjabat.

Legalisasi judi di Jakarta berjalan dengan berbagai reaksi, bagi yang menolak mereka menyebut Ali Sadikin sebagai Gubernur maksiat. Ali Sadikin menjawab ringan “Bapak-bapak kalau mau tinggal di Jakarta sebaiknya beli helikopter karena jalan-jalan di Jakarta dibangun dari pajak Judi”. Dalam ulasan Kompas, Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2.400 gedung termasuk Taman Ismail Marzuki dan 1.200 KM jalan di Jakarta dari hasil pajak Judi.

Orde Baru memiliki perspektif lain dalam mendefinisikan judi. Soeharto pada waktu itu memiliki pandangan abu-abu terhadap judi. Di satu sisi judi tetap ditempatkan tetap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain program dan kebijakan yang pada hakikatnya judi tidak didefinisikan sebagai judi. Orde baru ingin mengambil pundi-pundi keuangan untuk negara dari judi tapi satu sisi tetap mempertahankan citra rezim yang harus tetap “bermoral dan berketuhanan” maka lahirlah Porkas atau SDSB sebuah undian skala nasional.

Pemerintah orde baru tidak mau menyebut Porkas atau SDSB sebagai judi tetapi Program Olahraga Ketangkasan dan SDSB adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah. Pada dasarnya baik Porkas atau SDSB adalah tebak skor hasil pertandingan sepak bola dan undian di mana orang membeli kupon dan menunggu angka keluar, tidak ada bedanya dengan togel, tetapi berbungkus program sosial maka pada waktu itu Porkas dan SDSB dikatakan pemerintah bukanlah judi. Bahkan Porkas selalu disosialisasikan oleh Menteri Sosial pada waktu itu Nani Soedarsono. Aturan Porkas dan SDSB diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS-10-12 /85.

Sama dengan legalisasi judi di DKI Jakarta pada masa Ali Sadikin, Porkas dan SDSB membuat reaksi beragam dan kontroversi, pada waktu itu MUI bahkan dengan lantang memberikan surat kepada Presiden Soeharto untuk meninjau ulang program tersebut.

Memahami sejarah judi sejak republik ini berdiri kita akan menemukan ambiguitas dari dua rezim yang pernah berkuasa. Ambiguitas karena negara tidak mau melepaskan norma moral dan norma ketuhanan sebagai prinsip bernegara tetapi satu sisi melihat judi sebagai potensi yang bisa dikumpulkan sebagai pundi-pundi keuangan negara. Ini adalah pertarungan antara citra yang harus tetap dianggap mengacu pada nilai-nilai moral dan pragmatisme yang mengacu pada pencapaian pembangunan sebuah rezim.

Hari ini, kalau mengingat apa yang disampaikan Ali Sadikin bahwa judi ibarat kanker maka judi online adalah kanker stadium 4. Satu sisi pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena secara teknis berkaitan dengan kemampuan cyber dan pengelolaan IT yang sangat globalistik, cepat berkembang, melibatkan pemain global jauh di luar kemampuan sumber daya pemerintah. Dalam situasi ini terbentuk jejaring oknum penegakan hukum yang justru berkongsi dengan jaringan judi online, menggunakan kewenangan yang justru digunakan untuk melindungi pemain besar judi online. Judi online hari ini adalah problematika antara aturan larangan judi online itu sendiri dan ketidakmampuan negara dalam proses penegakan hukumnya yang belum mampu meringkus pemain besarnya. Judi hari ini bahkan  tetap menjadi ambiguitas yang terkungkung dalam norma moral dan hukum positif tetapi punya nilai pragmatis yang menguntungkan bagi beberapa oknum yang mempunyai kewenangan. (Rino Sundawa Putra SIP MSI)

Penulis merupakan dosen FISIP Universitas Siliwangi (Unsil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *