Isu Bisnis Modern: Agency Problem Tak Pernah Hilang, GCG Jadi Penyeimbang

Ekonomi99 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Di balik gemerlapnya gedung pencakar langit, laporan laba triliunan, dan rapat umum pemegang saham yang penuh jargon, ada satu persoalan klasik dalam dunia bisnis yang terus menghantui perusahaan modern: agency problem.

Secara sederhana, agency problem adalah konflik kepentingan antara pemegang saham (owner/principal) dengan manajer (agent). Agency problem muncul ketika pemilik modal (principal) dan pengelola perusahaan (agent) tidak selalu punya kepentingan yang sama. Pemegang saham ingin perusahaan tumbuh, laba naik, dividen lancar. Sementara manajer, kadang lebih fokus pada bonus tahunan, citra pribadi, atau proyek jangka pendek yang cepat terlihat hasilnya.

Jika bicara soal kepemimpinan manajerial di perusahaan, banyak orang langsung membayangkan CEO karismatik yang pandai memberi arahan, memotivasi karyawan, atau menciptakan strategi jitu. Itu memang benar, tapi ada sisi lain yang sering luput: bagaimana kepemimpinan manajerial menjaga kepercayaan antara pemegang saham dengan pengelola perusahaan.

Fenomena ini bukan sekadar teori. Dari skandal Enron di Amerika Serikat tahun 2001 silam yang CEO dan eksekutifnya memanipulasi laporan keuangan demi menjaga harga saham tetap tinggi—hasilnya, investor rontok dan reputasi hancur. Hingga kasus Jiwasraya tahun 2020 silam.

Manajemen Jiwasraya terbukti melakukan investasi berisiko tinggi dan tidak prudent. Alih-alih mengamankan dana nasabah, keputusan itu justru memberi keuntungan jangka pendek pada pihak tertentu. Skandal tersebut berakar dari hal yang sama yaitu agency problem: keputusan manajemen yang tidak lagi selaras dengan kepentingan pemilik dan pemangku kepentingan lainnya.

Mengapa fenomena agency problem begitu rentan di perusahaan? Pertama, adanya asimetri Informasi di mana manajer tahu jauh lebih banyak tentang kondisi internal perusahaan daripada pemegang saham. Kadang mereka bisa “mengatur angka” agar terlihat bagus, padahal performa sebenarnya tidak sebaik itu. Kedua, adanya Keterpisahan peran dan kontrol antara pricipal dan agent.

Pemegang saham jarang terlibat operasional, justru manajer yang memegang kontrol operasional punya ruang lebih besar untuk keputusan sepihak. Karena kontrolnya lemah, manajer punya ruang lebih besar untuk mengambil keputusan sepihak. Ketiga, adanya faktor insentif jangka pendek. Banyak manajer fokus pada target tahunan agar dapat bonus, insentif, atau pengakuan. Padahal, keputusan yang sehat seharusnya memperhatikan keberlanjutan jangka panjang.

Isu ini bukan hal baru melainkan sudah dikaji puluhan tahun yang lalu. Tahun 1932, Berle & Means menulis The Modern Corporation and Private Property, menunjukkan bahwa semakin besar perusahaan, semakin renggang hubungan antara pemilik dan pengelola. Puluhan tahun kemudian, Jensen & Meckling (1976) memformulasikan agency theory, menjelaskan biaya agensi (agency costs) yang muncul ketika manajer bertindak oportunis.

Contoh nyatanya? Manajer dapat melakukan manajemen laba agar kinerja terlihat bagus, berinvestasi pada proyek prestisius tapi tidak menguntungkan, atau mengambil fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi.

Tanpa mekanisme pengawasan, agency problem bisa menurunkan kinerja dan bahkan menghancurkan reputasi perusahaan. Dari sinilah lahir konsep Good Corporate Governance (GCG)—sebuah sistem untuk memastikan bahwa perusahaan dikelola secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, independen, dan adil.

Sejarahnya, istilah GCG menguat setelah krisis finansial Asia 1997–1998. Lembaga internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menetapkan prinsip GCG yang hingga kini jadi rujukan global: 1)Transparansi – Dengan laporan keuangan yang terbuka, audit independen, dan akses informasi yang jelas, peluang manipulasi oleh manajer bisa ditekan. 2) Akuntabilitas – Struktur organisasi yang jelas, pembagian tugas yang transparan, serta evaluasi kinerja berbasis indikator yang objektif akan memperkuat tanggung jawab manajer terhadap pemegang saham.

3) Responsibilitas – Perusahaan harus taat pada regulasi dan menjaga etika bisnis. Bukan hanya mengejar profit, tapi juga memperhatikan dampak sosial.

4) Independensi – pengelolaan profesional tanpa intervensi kepentingan tertentu. Kehadiran dewan komisaris yang independen berfungsi sebagai watchdog bagi keputusan manajerial. Komite audit juga memastikan laporan keuangan mencerminkan realitas.

5) Fairness – perlakuan adil bagi seluruh pemegang saham.
Di Indonesia, prinsip ini diterjemahkan ke dalam regulasi OJK dan Kementerian BUMN, misalnya POJK No. 21/2015. Pertanyaannya adalah apakah GCG hanya jargon manis? Tidak. Banyak riset dan data mendukung efektivitasnya. Salah satunya penelitian yang dilakukan Claessens & Yurtoglu (2013) menyatakan Perusahaan di emerging markets dengan GCG baik memiliki valuasi lebih tinggi dan biaya modal lebih rendah.

Lebih lanjut, data ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) juga memperlihatkan: perusahaan dengan skor GCG tinggi (misalnya Jasa Armada Indonesia, Bank Mandiri dan BNI konsisten berada di jajaran Top 5 Indonesia dengan skor di atas 90 termasuk “Very Good”, serta PGN yang masuk daftar perusahaan dengan GCG terbaik di ASEAN 2025) cenderung mendapat kepercayaan investor lebih tinggi dibanding perusahaan dengan skor rendah.

Sebaliknya, kasus Garuda Indonesia tahun 2018 silam yang ketahuan memanipulasi laporan laba hingga akhirnya ditegur OJK membuktikan betapa fatalnya jika GCG diabaikan.
Nah, di titik ini, jelas terlihat bahwa kepemimpinan manajerial bukan sekadar soal visi atau strategi bisnis, tetapi juga kemampuan menjaga tata kelola.

Seorang CEO atau direktur yang memimpin perusahaan dengan prinsip GCG akan lebih dipercaya oleh investor, lebih mudah mendapatkan pendanaan, dan lebih mampu menjaga keberlanjutan perusahaan. Sebaliknya, pemimpin yang abai pada tata kelola bisa membawa perusahaan jatuh, meski punya strategi bisnis yang hebat. Dengan kata lain, GCG adalah fondasi kepemimpinan modern—ia mengikat manajer agar tidak tergelincir ke dalam jebakan agency problem, dan memastikan perusahaan berjalan di jalur yang selaras dengan kepentingan semua pemangku kepentingan.
Agency problem mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, karena konflik kepentingan adalah bagian alami dari organisasi. Tapi GCG memberi “pagar” agar konflik itu tidak merusak perusahaan. Pada akhirnya, keberhasilan perusahaan di era modern bukan lagi ditentukan hanya oleh seberapa besar laba yang dicetak, tetapi juga seberapa kuat ia membangun kepemimpinan manajerial yang transparan, akuntabel, dan berintegritas.

Dengan kata lain, kepemimpinan manajerial yang baik tidak hanya soal hasil, tapi soal bagaimana membangun dan menjaga kepercayaan semua pihak—melalui tata kelola yang baik dan komitmen nyata.

Seperti halnya dalam pepatah bisnis: “Trust takes years to build, seconds to break, and forever to repair.” Dan trust inilah yang menjadi mata uang utama dalam bisnis modern.
Di level global, GCG kini tidak lagi berdiri sendiri. GCG bertransformasi menjadi bagian dari Environmental, Social, dan Governance (ESG) Perusahaan multinasional seperti IKEA, Unilever, dan Enel mengaitkan pembiayaan dengan kinerja ESG mereka. Investor institusional besar seperti BlackRock bahkan hanya mau menanam modal di perusahaan yang punya standar governance dan sustainability yang jelas. Artinya, tata kelola bukan sekadar kepatuhan, tapi tiket masuk ke ekosistem investasi global. (Miranda Seni Amara)

Penulis merupakan Dosen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *