Hegemoni Prestise Lembaga Dalam Bargaining Upeti Pendidikan

Pendidikan166 Dilihat

RADAR TASIKMALAYA – Berdasarkan data dari BPS (2023) pada Tahun Ajaran 2023/2024 jumlah sekolah dasar di Jawa Barat sudah mencapai 17.000 lebih yang terdiri dari sekolah negeri dan swasta. Dalam dinamika Pendidikan di Indonesia, salah satu yang menarik perhatian adalah eksistensi dari sekolah swasta yang awalnya sebagai alternatif, bahkan sebagai solusi terakhir mendapatkan pengajaran, kini memiliki citra yang semakin baik di mata masyarakat.

Bahkan kini mulai nampak kecenderungan sekolah swasta menjadi pilihan pertama bagi orang tua untuk pendidikan putra-putrinya sekalipun biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit.

Di setiap musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), tidak jarang kita temukan headline berita baik di surat kabar cetak maupun online yang memberitakan tentang kondisi PPDB di Sekolah Dasar (SD) Negeri. Seperti Detik.com pada tanggal 14 Juni 2023 menyampaikan berita yang berjudul “Miris! SD di Cirebon ini Kekurangan Murid Tiap Tahun”. Judul serupa datang dari BeritaJateng.id yang menyuguhkan judul headline “Miris, Sejumlah SD di Kendal Masih Kekurangan Siswa”, berita ini dirilis tanggal 18 Juli 2024. Bahkan detikNews yang memberitakan pada tanggal 16 Juli 2024 melalui headline beritanya SD di Gresik mendapatkan hanya 4 siswa dari PPDB tahun 2024.

Empat potongan berita online tersebut pada umumnya memberitakan hal yang sama, yaitu tren menyekolahkan anak di sekolah dasar umum atau negeri semakin bergeser ke sekolah dasar yang memiliki ciri atau kekhasannya, seperti sekolah dasar berbasis agama ataupun sekolah swasta. Pada tulisan ringan ini kita akan membahas mengapa kecenderungan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah dasar umum atau negeri semakin berkurang, lebih jauh lagi kita akan membahas tentang bagaimana pengelolaan Lembaga Pendidikan khususnya sekolah swasta lebih mampu meraih hati masyarakat dalam tawar menawar (bargaining) pemberian layanan Pendidikan.

Sekolah Swasta dalam Balutan Edupreneurship
Suharto (2000) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20 sekolah-sekolah swasta berdiri di Indonesia di antaranya Taman Siswa yang didirikan oleh Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, Indonesisch Nederlandsche School oleh Mohammad Sjafei, Ksatrian Instituut oleh E.F.E. Douwes Dekker, Sekolah-sekolah Sarekat Islam oleh Tan Malaka, dan Sekolah-sekolah Pasundan oleh Paguyuban Pasundan. Tiap-tiap sekolah swasta itu mempunyai ciri khas masing-masing, sesuai dengan pandangan pendirinya. Sekolah-sekolah swasta ini lahir sebagai bentuk sikap atas isi pendidikan sekolah-sekolah pemerintah kolonial saat itu yang dinilai intelektulistis, diskriminatif, tidak demokratis, dan menjauhkan siswa dari kebudayaan sendiri.

Sekolah swasta pada awalnya merupakan alternatif, tidak jarang mendapat stigma kurang positif dari masyarakat. Mulai dari istilah “sekolah khusus orang berduit”, “sekolah siswa buangan”, “sekolah limpahan siswa dari sekolah negeri”, dan stigma kurang postif lainnya. Namun kini stigma itu sudah memudar bahkan berganti dengan stigma positif. Banyak orang tua yang menjadikan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama sebagai pilihan pertama untuk pendidikan putra putrinya. Sekolah swasta mampu menerapkan edupreneurship dalam pengelolaan lembaganya.

Edupreneurship merupakan istilah dari education dan entrepreneurship. Edupreneurship merujuk pada penerapan prinsip-prinsip kewirausahaan dalam dunia pendidikan. Seorang edupreneur bukan hanya seorang pemimpin pendidikan yang berfokus pada kualitas akademis, tetapi juga seorang inovator yang mampu menciptakan nilai melalui manajemen yang efektif, pemasaran, serta integrasi teknologi dalam pembelajaran. Edupreneur harus mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan.

Peran edupreneur dalam pengelolaan lembaga Pendidikan dimulai dari inovasi kurikulum, di mana edupreneur memiliki tanggung jawab besar dalam pengembangan kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan zaman. Kurikulum harus terus diperbarui agar relevan dengan tren industri, teknologi, dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Edupreneur dapat memperkenalkan pembelajaran berbasis proyek, keterampilan digital, dan pengajaran kewirausahaan dalam kurikulum untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan di dunia nyata.

Selanjutnya edupreneur juga harus memiliki keterampilan dalam mengelola anggaran, memaksimalkan penggunaan sumber daya, dan mencari sumber pendanaan alternatif. Ini termasuk menjalin kemitraan dengan sektor swasta, mendapatkan dukungan dari donatur, dan memanfaatkan beasiswa atau program hibah yang tersedia. Keberlanjutan finansial menjadi salah satu kunci dalam menjaga kualitas pendidikan.

Dalam dunia pendidikan yang kompetitif, edupreneur sangat memahami bahwa pemasaran dan branding sangat penting untuk menarik siswa baru. Edupreneur harus mampu mengelola citra lembaga pendidikan dan memanfaatkan media sosial serta platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Edupreneur juga harus fokus pada pembuatan konten yang relevan dan inovatif untuk meningkatkan daya tarik lembaga di mata calon siswa dan orang tua.

Pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran dan administrasi menjadi salah satu ciri utama edupreneurship. Edupreneur harus mampu mengintegrasikan teknologi seperti platform e-learning, alat kolaborasi digital, dan perangkat lunak manajemen pendidikan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran.

Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk memperluas akses pendidikan, memungkinkan pembelajaran jarak jauh, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih dinamis.
Selain itu, edupreneur berperan penting dalam menciptakan budaya kerja yang inovatif dan kolaboratif. Mereka harus mampu mengelola tenaga pengajar dan staf dengan baik, memastikan pengembangan profesional berkelanjutan, serta menciptakan lingkungan kerja yang mendukung inovasi. Kemampuan untuk memotivasi, menginspirasi, dan memimpin perubahan adalah kunci sukses seorang edupreneur dalam mengelola lembaga pendidikan.

Sekolah swasta yang saat ini menjadi primadona para orang tua, umumnya memiliki kualitas sarana dan prasarana yang lebih unggul. Para edupreneur di sekolah tersebut paham benar salah aspek yang dapat memastikan kepuasan siswa dan orang tua adalah kualitas infrastruktur yang mendukung proses Pendidikan, berkualitas dan sesuai dengar harapan siswa serta orang tua. Sehingga focus utama bagi para edupreneur sekolah swasta adalah meningkatkan kualitas layanan Pendidikan sebagai alat tawar menawar kepada masyarakat.

Edupreneur sekolah swasta sudah terbiasa membangun kemitraan strategis dengan berbagai pihak, termasuk sektor bisnis, komunitas, dan institusi lain, baik di tingkat lokal maupun internasional. Kemitraan ini dapat membuka peluang magang bagi siswa, memperluas akses ke sumber daya, dan menciptakan peluang kolaborasi yang lebih luas.

Pengelolaan Lembaga Pendidikan : Negeri vs Swasta
Pandemi Covid-19 empat tahun lalu ikut andil dalam pergeseran perspektif masyarakat khususnya orang tua dalam memandang keberadaan sekolah negeri dan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama yang berujung pada penilaian dan pemilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Di saat sekolah-sekolah dasar negeri masih meraba-raba bahkan “hibernasi” dalam melaksanakan proses pembelajaran, banyak sekolah swasta dan sekolah berbasis agama yang justru dengan berani dan kreatif menjawab tantangan pembelajaran di tengah pandemi Covid. Pembelajaran daring sederhana (melalui chat wa) sampai mencoba google classroom serta fasilitas pembelajaran door to door yang diupayakan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama membuka pandangan orang tua tentang “upaya lebih” di tengah keterpurukan.

Sekolah swasta atau sekolah berbasis agama pada umumnya memiliki “sesuatu” yang bisa ditawarkan kepada orang tua dan di sinilah letak alasan utama orang tua lebih memilih sekolah swasta atau sekolah berbasis agama dibanding sekolah negeri. Orang tua semakin kritis dalam memilih. Ditambah lagi sebagian besar orang tua masih menganggap pendidikan sebagai “investasi” keluarga, dan di sinilah “mekanisme pasar bekerja”.

Pengelolaan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama lebih peka dalam menjawab harapan orang tua. Program pembelajaran yang variatif dan proporsional (intra dan ekstra), program ko-kurikuler yang terasa lebih mengena seperti shalat berjamaah, teman asuh, parenting ataupun kegiatan lain yang memiliki dampak besar dalam pengembangan karakter siswa. Fasilitas yang lebih lengkap, jumlah siswa dalam kelas ataupun jumlah guru kelas juga menjadi isu dan bahan pertimbangan bagi orang tua dalam menentukan pilihan.

Strategi dalam memaksimalkan pengelolaan sekolah baik itu dalam proses, sarana prasaran, program sekolah menjadikan sekolah swasta atau sekolah berbasis agama mampu berbicara maksimal dalam tawar menawar. Orang tua rela membayar lebih agar anaknya mendapatkan yang terbaik, meski mereka harus menanggung konsekuensi secara finansial. “Upeti Pendidikan” merujuk pada besaran nominal yang harus orang tua keluarkan sebagai konsekuensi finansial dalam memperoleh “Pendidikan terbaik”. Sekolah swasta umumnya memiliki digdaya dalam penentuan besaran biaya, dimulai dari biaya pendaftaran, biaya pemeliharaan bangunan, biaya seragam, biaya buku, SPP bulanan, biaya ekstrakurikuler dan biaya lainnya.

Orang tua tidak keberatan dengan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan selama kualitas dan kepuasan dalam pemerolehan pelayanan Pendidikan bagi anaknya terpenuhi. Dan di sinilah edupreneurship sebenarnya telah secara nyata dipraktikkan oleh sekolah swasta atau sekolah berbasis agama.

Eduprenuer yakni pelaku edupreneurship pada sekolah swasta atau sekolah berbasis agama menyadari betul untuk dapat tetap mempertahankan eksistensi, mengembangkan sekolah perlu upaya lebih tidak hanya fokus pada proses pendidikan, tetapi juga pada inovasi, manajemen, dan keberlanjutan lembaga pendidikan secara keseluruhan. Edupreneur di sekolah swasta atau sekolah berbasis agama telah berhasil dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan dalam pendidikan khususnya dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

Mereka telah mengerti manfaat dan cara mengoptimalkan selling poin. Jika hal ini tidak segera diikuti oleh sekolah dasar negeri atau umum, maka fenomena kekurangan siswa yang terjadi di beberapa sekolah dasar negeri akan terus berlanjut dan mengancam eksistensi sekolah dasar negeri.

Fenomena anomali jumlah siswa di sekolah dasar umum dibandingkan di sekolah swasta atau sekolah berbasis agama harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Dinas Pendidikan sebagai kepanjangtanganan pemerintah bisa menyentuh melalui pengoptimalan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) sebagai edupreneur di sekolahnya masing. Jadikan para edupreneur ini berdaya dalam mengembangkan sekolahnya.

Alternative solusi lainnya adalah optimalkan peran pengawas sekolah sebagai konsultan Pendidikan dan program School Sister, di mana sekolah yang telah sukses menerapkan prinsip-prinsip edupreneurship mampu mengimbaskan ke sekolah lain. Tidak hanya sekadar mensosialisasikan teori melalui program-program namun juga mendampingi dan menjadi mitra untuk berkembang. (Anti Wijayanti)
Penulis merupakan Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 komentar

  1. Sangat bagus karyanya ,melejitnya swasta menjadi alternatif utama pilihan Sekolah Dasar.Semoga sukses Aamiin.

  2. Topik yang bagus untuk diangkat,sehingga pemerintah kedepan bisa menyusun muatan kurikulum yang lebih adaptif

  3. Topik dan pembahasan sangat bagus, semoga menginspirasi para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Semoga sukses dan terus berkarya, Aamiin….

  4. Semoga pemerintah dan masyarakat menyamaratankan persepsi tentang sekolah swasta, walaupun tetap sebagian besar masyarakat menganggap branding sekolah negeri nomor satu, kepiawaian stokholder dan manajerial mengelola sekolah swasta memang memerlukan enterpreneur yang hebat .. salut ibu anti orang negeri memberikan karya topik yang bagus diangkat ke publik

  5. Pada dasarnya orang tua menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang memiliki nilai lebih diantaranya nilai-nilai agama.

  6. Pembahasan yang menarik di era gempuran sekolah swasta saat ini, bahasa yang digunakan pun juga ringan dan tidak berbelit sehingga saya bisa dengan mudah mencerna maksud yg ingin disampaikan penulis.